Preseden Justice Collaborator dalam Peradilan Pidana
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PERADILAN pidana atas perkara pembunuhan Brigadir Yosua oleh Ferdy Sambo telah meletakkan suatu pembaruan pemikiran bahwa seorang terdakwa pembunuhan tidak selalu serta merta harus dijatuhi hukuman maksimal sesuai ancaman di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Putusan Majelis Hakim dalam perkara aquo sepatutnya diberikan apresiasi tinggi di tengah kegamangan aparat penegak hukum menyikapi perkara pidana yang melibatkan seorang pejabat tinggi yang tengah berkuasa. Hampir dipastikan bahwa asas persamaan bagi semua orang di muka hukum tidak berlaku bagi pihak pencari keadilan yang rentan dan lemah.
Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com
Pada perkara pembunuhan Yosua-- seorang ajudan dari Ferdy Sambo yang juga seorang jenderal polisi dan atasan langsung korban, telah terjadi suatu keajaiban. Keajaiban dalam perkara aquo pertama, yakni skenario awal yang dibangun oleh Ferdy Sambo dan para ajudan yang sangat rapi dan mustahil gagal, justru terbukti sebaliknya. Seorang ajudan yakni, Richard Eliezer, telah membuka kasus pembunuhan sebenarnya.
Kedua, fungsi dan peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terbukti efektif di luar perkiraan masyarakat yang sejak awal sidang selalu pesimistis. Ketiga, hak pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk banding tidak digunakan dalam perkara aquo.
Keempat, putusan majelis hakim terhadap kelima terdakwa bervariasi dari yang maksimal jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa, kecuali terhadap satu terdakwa, yakni Richard Elizer yang melakukan penembakan, karena ditetapkan sebagai justice collaborator, dijatuhi hukuman jauh lebih rendah dari keempat terdakwa lain.
Kelima, diakuinya justice collaborator di dalam putusan pengadilan. Keenam, limpah ruahnya simpati dan empati masyarakat luas terhadap terdakwa justice collaborator atau “pembuka” kasus atau “sahabat pengadilan”, sangat luar biasa.
Ketujuh, keistimewaan penanganan perkara aquo ini adalah dirasakan sejalan dengan aspirasi masyarakat luas dan rasa haus akan keadilan dan peradilan yang jujur (fair trial) yang hampir tidak pernah ditemukan sejak dan selama selama proses peradilan KUHAP diberlakukan.
Pertanyaan yang perlu dikemukakan, akankah ditemukan lagi model sikap majelis hakim seperti kasus Ferdy Sambo yang menjunjung tinggi kepastian hukum dalam keadilan? Dalam penanganan kasus Ferdy Sambo, telah terdapat pembaruan KUHAP secara tidak langsung, di antaranya adalah: Pertama, putusan pengadilan yang bersifat ultra petita tidak berpengaruh terhadap ketentuan hukum acara yang berlaku.
Asas unnus testis nullus testis tidak diterapkan, yang mana keterangan seorang diri dari terdakwa justice collaborator, Richard Eliezer--pembuka kasus yang berbeda keterangan dengan terdakwa KM dan RR--diyakini kebenarannya oleh majelis hakim.
Hal itu ikut menentukan serta berpengaruh dan dimasukkan ke dalam pertimbangan putusan pengadilan. Motivasi pembunuhan berencana tidak perlu dibuktikan lagi dengan telah diperoleh dua alat bukti cukup yang dikuatkan keyakinan hakim.
Pertanyaan yang meragukan dari cara penanganan kasus Ferdy Sambo adalah, apakah telah terjadi fair trial atau trial by the press sehingga putusan pengadilan sangat berpihak terhadap pelaku penembakan terhadap korban Yosua sekaligus justice collaborator?
Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 KUHP yang baru diundangkan pada Januari 2023, cara penanganan kasus Yosua sudah tepat dengan pertimbangan antara lain, (1) terdapat ketentuan bahwa hakim wajib mempertimbangkan 10 (sepuluh) hal, antara lain, terdapat pemaafan dari keluarga korban terhadap pelaku, (2) jika terdapat konflik antara kepastian dan keadilan maka Hakim wajib mengutamakan keadilan, dan (3) hakim wajib mempertimbangkan nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan fakta empirik di atas dapat disimpulkan bahwa putusan pengadilan dalam perkara Yosua merupakan simbol dan cermin dari wujud tujuan hukum pidana nasional yang cocok dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil.
Lihat Juga: Bharada E Nikahi Kekasihnya di Manado, Netizen: Puji Tuhan, Langgeng Ichat dan Ling Ling
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
PERADILAN pidana atas perkara pembunuhan Brigadir Yosua oleh Ferdy Sambo telah meletakkan suatu pembaruan pemikiran bahwa seorang terdakwa pembunuhan tidak selalu serta merta harus dijatuhi hukuman maksimal sesuai ancaman di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Putusan Majelis Hakim dalam perkara aquo sepatutnya diberikan apresiasi tinggi di tengah kegamangan aparat penegak hukum menyikapi perkara pidana yang melibatkan seorang pejabat tinggi yang tengah berkuasa. Hampir dipastikan bahwa asas persamaan bagi semua orang di muka hukum tidak berlaku bagi pihak pencari keadilan yang rentan dan lemah.
Baca berita menarik lainnya di e-paper koran-sindo.com
Pada perkara pembunuhan Yosua-- seorang ajudan dari Ferdy Sambo yang juga seorang jenderal polisi dan atasan langsung korban, telah terjadi suatu keajaiban. Keajaiban dalam perkara aquo pertama, yakni skenario awal yang dibangun oleh Ferdy Sambo dan para ajudan yang sangat rapi dan mustahil gagal, justru terbukti sebaliknya. Seorang ajudan yakni, Richard Eliezer, telah membuka kasus pembunuhan sebenarnya.
Kedua, fungsi dan peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terbukti efektif di luar perkiraan masyarakat yang sejak awal sidang selalu pesimistis. Ketiga, hak pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk banding tidak digunakan dalam perkara aquo.
Keempat, putusan majelis hakim terhadap kelima terdakwa bervariasi dari yang maksimal jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa, kecuali terhadap satu terdakwa, yakni Richard Elizer yang melakukan penembakan, karena ditetapkan sebagai justice collaborator, dijatuhi hukuman jauh lebih rendah dari keempat terdakwa lain.
Kelima, diakuinya justice collaborator di dalam putusan pengadilan. Keenam, limpah ruahnya simpati dan empati masyarakat luas terhadap terdakwa justice collaborator atau “pembuka” kasus atau “sahabat pengadilan”, sangat luar biasa.
Ketujuh, keistimewaan penanganan perkara aquo ini adalah dirasakan sejalan dengan aspirasi masyarakat luas dan rasa haus akan keadilan dan peradilan yang jujur (fair trial) yang hampir tidak pernah ditemukan sejak dan selama selama proses peradilan KUHAP diberlakukan.
Pertanyaan yang perlu dikemukakan, akankah ditemukan lagi model sikap majelis hakim seperti kasus Ferdy Sambo yang menjunjung tinggi kepastian hukum dalam keadilan? Dalam penanganan kasus Ferdy Sambo, telah terdapat pembaruan KUHAP secara tidak langsung, di antaranya adalah: Pertama, putusan pengadilan yang bersifat ultra petita tidak berpengaruh terhadap ketentuan hukum acara yang berlaku.
Asas unnus testis nullus testis tidak diterapkan, yang mana keterangan seorang diri dari terdakwa justice collaborator, Richard Eliezer--pembuka kasus yang berbeda keterangan dengan terdakwa KM dan RR--diyakini kebenarannya oleh majelis hakim.
Hal itu ikut menentukan serta berpengaruh dan dimasukkan ke dalam pertimbangan putusan pengadilan. Motivasi pembunuhan berencana tidak perlu dibuktikan lagi dengan telah diperoleh dua alat bukti cukup yang dikuatkan keyakinan hakim.
Pertanyaan yang meragukan dari cara penanganan kasus Ferdy Sambo adalah, apakah telah terjadi fair trial atau trial by the press sehingga putusan pengadilan sangat berpihak terhadap pelaku penembakan terhadap korban Yosua sekaligus justice collaborator?
Jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 KUHP yang baru diundangkan pada Januari 2023, cara penanganan kasus Yosua sudah tepat dengan pertimbangan antara lain, (1) terdapat ketentuan bahwa hakim wajib mempertimbangkan 10 (sepuluh) hal, antara lain, terdapat pemaafan dari keluarga korban terhadap pelaku, (2) jika terdapat konflik antara kepastian dan keadilan maka Hakim wajib mengutamakan keadilan, dan (3) hakim wajib mempertimbangkan nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan fakta empirik di atas dapat disimpulkan bahwa putusan pengadilan dalam perkara Yosua merupakan simbol dan cermin dari wujud tujuan hukum pidana nasional yang cocok dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) bahwa setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil.
Lihat Juga: Bharada E Nikahi Kekasihnya di Manado, Netizen: Puji Tuhan, Langgeng Ichat dan Ling Ling
(bmm)