Mengungkit Industri Perikanan
Rabu, 15 Juli 2020 - 06:26 WIB
Dinna Prapto Raharja, PhD
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
Indonesia adalah negara maritim dengan sektor perikanan sebagai sektor ekonomi strategis yang menentukan hajat hidup banyak orang di bidang ketersediaan pangan dunia dan menjadi sumber pendapatan sekaligus. Menjadi wilayah pertemuan antara dua samudra, Pasifik dan Hindia, Indonesia termasuk lahan yang subur untuk perikanan tangkap dunia. Meskipun sejumlah negara mulai menggiatkan perikanan budi daya, para konsumen di Eropa, Jepang, bahkan Amerika Serikat tetap memberikan nilai jual yang lebih tinggi pada produk-produk perikanan tangkap, terutama yang berasal dari perairan Indonesia.
Ironisnya, sektor ini bisa sangat menguntungkan, tetapi juga bisa sangat rentan bagi para pelakunya. Sebagian besar pekerja di sektor ini adalah nelayan tradisional dengan kapal kecil dan mesin tempel luar. Bahkan sebagian tanpa motor (antara 60–65%). Padahal wilayah yang dijelajahi sangatlah luas dan banyak di antaranya merupakan laut dalam. (Baca: Iran dan Pakistan Dukung Turki Ubah Hagia Sophia Jadi Masjid)
Dari yang saya amati akhir-akhir ini tampak adanya ketimpangan antara sumber daya manusia dengan sumber daya alam yang besar. Ketimpangan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh negara lain.
Saya dan tim dalam proses melakukan pemetaan kerentanan pelaku sektor perikanan. Pemetaan ini akan berguna untuk mencermati mengapa sektor perikanan ini termasuk yang sulit diungkit daya tawarnya di tingkat internasional meskipun Indonesia notabene adalah penghasil ikan-ikan tangkap mahal untuk konsumsi dunia. Kami melakukan wawancara mendalam dan studi literatur tentang wilayah pengelolaan perikanan 711 (daerah Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan), wilayah pengelolaan perikanan 715 (Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau), dan wilayah pengelolaan perikanan 716 (Laut Sulawesi dan Utara Pulau Halmahera). Wilayah ini dipilih karena merupakan wilayah perbatasan laut di mana lautnya dalam, ikannya melimpah tetapi secara geografis terletak sangat jauh dari ibu kota.
Para nelayan di wilayah pengelolaan perikanan 711, misalnya, rata-rata merupakan nelayan tradisional dengan kapasitas kapal tangkap berbobot 10-20 GT yang mempekerjakan 5–6 awak kapal dan melaut selama 5–15 hari. Kapal-kapal ini relatif kecil dan terbelakang karena di wilayah tersebut ada masa-masa di mana ombak bisa mencapai 5–6 meter dan cuaca menjadi sangat ekstrem. Pada bulan September–Maret inilah kapal-kapal asing kerap ditemui masuk ke perairan Indonesia. Rata-rata kapal asing tersebut berbobot lebih dari 30 GT dan selain dilengkapi dengan alat-alat tangkap yang dilarang seperti pukat harimau, juga dilengkapi radar pelacak posisi ikan. Tidak jarang pula kapal-kapal asing itu merupakan kapal nelayan tradisional, tetapi mereka dikawal oleh kapal-kapal militer negara mereka.
Pada masa kebijakan Indonesia yang keras terhadap kegiatan pencurian ikan, jumlah pencuri ikan bisa ditekan walaupun praktisi di lapangan mengatakan bahwa pencurian itu tidak hilang sepenuhnya. Masalahnya kapal-kapal patroli kita terbatas jumlahnya dan kapasitasnya pun kalah besar daripada kapal-kapal pencuri ikan tersebut.
Pada saat masa gelombang tinggi ini nelayan-nelayan tradisional Indonesia tidak melaut dan mengandalkan pinjaman uang dari para pengepul yang pada masa melaut kerap menerapkan harga jual yang rendah dan semena-mena karena jalur ekspor dikuasai para pengepul tersebut. Margin keuntungan yang diambil para pengepul bisa mencapai 50%. Saat pandemi korona (Covid-19), kerentanan para nelayan tradisional Indonesia semakin terasa. Harga jual tangkapan mereka anjlok karena bahkan koperasi yang biasanya menjadi alternatif tujuan penjualan tidak mampu mengalirkan hasil tangkapan untuk pasar-pasar di Jawa. Pada bulan Juli ini stok ikan dari bulan Maret kabarnya masih menumpuk. (Baca juga: Berikut Sejumlah Penyebab Tumbuhnya Politik Dinasti)
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
Indonesia adalah negara maritim dengan sektor perikanan sebagai sektor ekonomi strategis yang menentukan hajat hidup banyak orang di bidang ketersediaan pangan dunia dan menjadi sumber pendapatan sekaligus. Menjadi wilayah pertemuan antara dua samudra, Pasifik dan Hindia, Indonesia termasuk lahan yang subur untuk perikanan tangkap dunia. Meskipun sejumlah negara mulai menggiatkan perikanan budi daya, para konsumen di Eropa, Jepang, bahkan Amerika Serikat tetap memberikan nilai jual yang lebih tinggi pada produk-produk perikanan tangkap, terutama yang berasal dari perairan Indonesia.
Ironisnya, sektor ini bisa sangat menguntungkan, tetapi juga bisa sangat rentan bagi para pelakunya. Sebagian besar pekerja di sektor ini adalah nelayan tradisional dengan kapal kecil dan mesin tempel luar. Bahkan sebagian tanpa motor (antara 60–65%). Padahal wilayah yang dijelajahi sangatlah luas dan banyak di antaranya merupakan laut dalam. (Baca: Iran dan Pakistan Dukung Turki Ubah Hagia Sophia Jadi Masjid)
Dari yang saya amati akhir-akhir ini tampak adanya ketimpangan antara sumber daya manusia dengan sumber daya alam yang besar. Ketimpangan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh negara lain.
Saya dan tim dalam proses melakukan pemetaan kerentanan pelaku sektor perikanan. Pemetaan ini akan berguna untuk mencermati mengapa sektor perikanan ini termasuk yang sulit diungkit daya tawarnya di tingkat internasional meskipun Indonesia notabene adalah penghasil ikan-ikan tangkap mahal untuk konsumsi dunia. Kami melakukan wawancara mendalam dan studi literatur tentang wilayah pengelolaan perikanan 711 (daerah Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan), wilayah pengelolaan perikanan 715 (Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau), dan wilayah pengelolaan perikanan 716 (Laut Sulawesi dan Utara Pulau Halmahera). Wilayah ini dipilih karena merupakan wilayah perbatasan laut di mana lautnya dalam, ikannya melimpah tetapi secara geografis terletak sangat jauh dari ibu kota.
Para nelayan di wilayah pengelolaan perikanan 711, misalnya, rata-rata merupakan nelayan tradisional dengan kapasitas kapal tangkap berbobot 10-20 GT yang mempekerjakan 5–6 awak kapal dan melaut selama 5–15 hari. Kapal-kapal ini relatif kecil dan terbelakang karena di wilayah tersebut ada masa-masa di mana ombak bisa mencapai 5–6 meter dan cuaca menjadi sangat ekstrem. Pada bulan September–Maret inilah kapal-kapal asing kerap ditemui masuk ke perairan Indonesia. Rata-rata kapal asing tersebut berbobot lebih dari 30 GT dan selain dilengkapi dengan alat-alat tangkap yang dilarang seperti pukat harimau, juga dilengkapi radar pelacak posisi ikan. Tidak jarang pula kapal-kapal asing itu merupakan kapal nelayan tradisional, tetapi mereka dikawal oleh kapal-kapal militer negara mereka.
Pada masa kebijakan Indonesia yang keras terhadap kegiatan pencurian ikan, jumlah pencuri ikan bisa ditekan walaupun praktisi di lapangan mengatakan bahwa pencurian itu tidak hilang sepenuhnya. Masalahnya kapal-kapal patroli kita terbatas jumlahnya dan kapasitasnya pun kalah besar daripada kapal-kapal pencuri ikan tersebut.
Pada saat masa gelombang tinggi ini nelayan-nelayan tradisional Indonesia tidak melaut dan mengandalkan pinjaman uang dari para pengepul yang pada masa melaut kerap menerapkan harga jual yang rendah dan semena-mena karena jalur ekspor dikuasai para pengepul tersebut. Margin keuntungan yang diambil para pengepul bisa mencapai 50%. Saat pandemi korona (Covid-19), kerentanan para nelayan tradisional Indonesia semakin terasa. Harga jual tangkapan mereka anjlok karena bahkan koperasi yang biasanya menjadi alternatif tujuan penjualan tidak mampu mengalirkan hasil tangkapan untuk pasar-pasar di Jawa. Pada bulan Juli ini stok ikan dari bulan Maret kabarnya masih menumpuk. (Baca juga: Berikut Sejumlah Penyebab Tumbuhnya Politik Dinasti)
tulis komentar anda