Mengungkit Industri Perikanan
Rabu, 15 Juli 2020 - 06:26 WIB
Saat berkunjung ke negara-negara tetangga yang berbatasan laut dengan Indonesia, kami dapat menyaksikan bahwa industri perikanan Indonesia memang masih jauh dari tertangani dengan rapi dan sistematis. Dari hal sederhana seperti tempat pelelangan ikan, misalnya, kondisinya di Indonesia tidak tampak seperti pusat industri perikanan tangkap. Rata-rata masih suram, standar kebersihannya terbelakang, dan tidak dilengkapi pendingin ataupun alat fillet dan processing. Semakin jauh dari ibu kota, semakin pula ikan-ikan segar dibawa langsung kepada pengepul yang langsung menjualnya ke pasar-pasar di dalam maupun di luar negeri.
Seorang narasumber kami yang beroperasi di wilayah perikanan 715 mengatakan bahwa nelayan-nelayan Indonesia punya keterbatasan dana dan pelatihan. Mereka secara turun-temurun belajar tentang cara menangkap tuna dan cakalang dengan satu jenis alat saja, padahal nelayan-nelayan dari Filipina menguasai cara tangkap yang lebih modern. Untuk mendapatkan perizinan, mereka membatasi diri hanya mencari ikan ke wilayah laut teritorial Indonesia. Karena selain kapal mereka relatif kecil untuk melaut ke lautan dalam, jika melaut ke perbatasan dengan negara lain perlu izin sampai ke Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membutuhkan biaya mahal. Hal ini kontras dengan kondisi nelayan-nelayan Filipina yang juga melaut dengan kapal-kapal kecil, tetapi relatif lebih berani dan kerap luput dari perhatian otoritas penjaga perbatasan karena memang jarang ada penjaga.
Kerentanan para nelayan ini kontras dengan begitu semangatnya negara-negara dunia yang bahkan bukan negara maritim seperti China dan Singapura untuk memperkuat daya saing mereka di sektor perikanan. Mereka memperkokoh industrinya dengan alat-alat modern atau kapasitas ekspor yang kuat. Sebagian pihak mengatakan bahwa ada siklus bisnis yang merugikan untuk pengusaha lokal dan Pemerintah Indonesia karena nelayan-nelayan tradisional kesulitan melaporkan hasil tangkapnya dan dengan demikian tidak bisa dikenai pajak. Daya tawar pemerintah daerah dan pusat yang memberikan izin kepada para pengepul pun ternyata masih rendah. Akibatnya akumulasi dana untuk perbaikan nasib industri perikanan Indonesia masih memprihatinkan.
Sebenarnya regulasi antarnegara sudah menentukan kemajuan sektor perikanan tangkap ini haruslah memperhitungkan faktor keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan pekerja di sektor ini. Sejumlah negara sudah menerapkan standar sertifikasi untuk menjamin bahwa produk yang diimpor oleh negaranya bebas dari penggunaan alat-alat tangkap yang merugikan lingkungan hidup dan bebas dari perbudakan dan penyiksaan para pekerja di sektor ini. (Lihat videonya: Bawa Lima Gadis di Bawah Umur, Warga Amankan Amor)
Masih dicari formulanya bagaimana caranya agar siklus tidak menguntungkan ini bisa diputus. Yang makin jelas adalah bahwa modernisasi sektor perikanan Indonesia tidak bisa ditunda lagi. Perlu ada percepatan signifikan untuk meredakan kerentanan dalam industri di sektor yang strategis ini.
Seorang narasumber kami yang beroperasi di wilayah perikanan 715 mengatakan bahwa nelayan-nelayan Indonesia punya keterbatasan dana dan pelatihan. Mereka secara turun-temurun belajar tentang cara menangkap tuna dan cakalang dengan satu jenis alat saja, padahal nelayan-nelayan dari Filipina menguasai cara tangkap yang lebih modern. Untuk mendapatkan perizinan, mereka membatasi diri hanya mencari ikan ke wilayah laut teritorial Indonesia. Karena selain kapal mereka relatif kecil untuk melaut ke lautan dalam, jika melaut ke perbatasan dengan negara lain perlu izin sampai ke Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membutuhkan biaya mahal. Hal ini kontras dengan kondisi nelayan-nelayan Filipina yang juga melaut dengan kapal-kapal kecil, tetapi relatif lebih berani dan kerap luput dari perhatian otoritas penjaga perbatasan karena memang jarang ada penjaga.
Kerentanan para nelayan ini kontras dengan begitu semangatnya negara-negara dunia yang bahkan bukan negara maritim seperti China dan Singapura untuk memperkuat daya saing mereka di sektor perikanan. Mereka memperkokoh industrinya dengan alat-alat modern atau kapasitas ekspor yang kuat. Sebagian pihak mengatakan bahwa ada siklus bisnis yang merugikan untuk pengusaha lokal dan Pemerintah Indonesia karena nelayan-nelayan tradisional kesulitan melaporkan hasil tangkapnya dan dengan demikian tidak bisa dikenai pajak. Daya tawar pemerintah daerah dan pusat yang memberikan izin kepada para pengepul pun ternyata masih rendah. Akibatnya akumulasi dana untuk perbaikan nasib industri perikanan Indonesia masih memprihatinkan.
Sebenarnya regulasi antarnegara sudah menentukan kemajuan sektor perikanan tangkap ini haruslah memperhitungkan faktor keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan pekerja di sektor ini. Sejumlah negara sudah menerapkan standar sertifikasi untuk menjamin bahwa produk yang diimpor oleh negaranya bebas dari penggunaan alat-alat tangkap yang merugikan lingkungan hidup dan bebas dari perbudakan dan penyiksaan para pekerja di sektor ini. (Lihat videonya: Bawa Lima Gadis di Bawah Umur, Warga Amankan Amor)
Masih dicari formulanya bagaimana caranya agar siklus tidak menguntungkan ini bisa diputus. Yang makin jelas adalah bahwa modernisasi sektor perikanan Indonesia tidak bisa ditunda lagi. Perlu ada percepatan signifikan untuk meredakan kerentanan dalam industri di sektor yang strategis ini.
(ysw)
tulis komentar anda