Kekayaan, Korupsi, dan Kesadaran Diri
Rabu, 25 Januari 2023 - 17:34 WIB
Belakangan, korupsi yang dilakukan Gubernur Papua menyita perhatian publik. Wakil Ketua DPR Papua Yunus Wonda diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri menyatakan bahwa Yunus Wonda sedang diselidiki, antara lain terkait dengan pembahasan penganggaran untuk APBD, termasuk dana otonomi khusus di Provinsi Papua (Sindonews, 21/1/2023).
Pencucian uang, penggunaan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya—begitulah, korupsi dapat menjelma dalam berbagai bentuk. Tampaknya korupsi sudah begitu terbiasa kita dengar setiap hari. Baru-baru ini, yang juga cukup menyita perhatian publik adalah korupsi melalui gratifikasi dengan luxury brand.
Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh KPK melalui Twitter (https://twitter.com/KPK_RI) pada 16 Januari 2022, di tahun 2022 KPK menerima 3.625 laporan gratifikasi nilai total Rp3,8 miliar.
Budaya saling memberi dan menerima di Indonesia adalah hal yang lazim. Namun, hal itu bisa menjadi musibah juga. Gratifikasi dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas seseorang. Karena penerima gratifikasi dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berisiko pidana.
Misalkan saja seseorang memberi ikat pinggang luxury brand, bentuknya memang sederhana tetapi dampaknya ternyata negatif. Gratifikasi bisa diartikan sebagai “suap yang tertunda” atau “suap terselubung” karena sebenarnya lebih bersifat inventif (tanam budi) dan gratifikasi tidak membutuhkan kesepakatan.
Adapun dasar hukum yang mengatur tentang gratifikasi adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di pasal 16 disebutkan bahwa setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut: a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat : 1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5) nilai gratifikasi yang diterima.
Dengan demikian, gratifikasi atau pemberian hadiah bisa menjadi suatu perbuatan pidana suap, khususnya pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri ketika menerima pemberian hadiah yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.
Korupsi dan Kesadaran Publik
Indeks korupsi yang setiap tahunnya diumumkan oleh Transparency International Indonesia (www.ti.or.id) apakah hanya sebuah formalitas belaka? Fokus dalam penanganan korupsi sebenarnya bukan hanya naik turunnya Indeks Persepsi Korupsi. Fokus yang perlu menjadi perhatian bersama adalah pertanyaan: bagaimana KPK dan instansi terkait yang memberantas korupsi bisa selangkah lebih maju dari motif korupsi yang dilakukan oleh para koruptor itu?
Pencucian uang, penggunaan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya—begitulah, korupsi dapat menjelma dalam berbagai bentuk. Tampaknya korupsi sudah begitu terbiasa kita dengar setiap hari. Baru-baru ini, yang juga cukup menyita perhatian publik adalah korupsi melalui gratifikasi dengan luxury brand.
Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh KPK melalui Twitter (https://twitter.com/KPK_RI) pada 16 Januari 2022, di tahun 2022 KPK menerima 3.625 laporan gratifikasi nilai total Rp3,8 miliar.
Budaya saling memberi dan menerima di Indonesia adalah hal yang lazim. Namun, hal itu bisa menjadi musibah juga. Gratifikasi dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas seseorang. Karena penerima gratifikasi dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berisiko pidana.
Misalkan saja seseorang memberi ikat pinggang luxury brand, bentuknya memang sederhana tetapi dampaknya ternyata negatif. Gratifikasi bisa diartikan sebagai “suap yang tertunda” atau “suap terselubung” karena sebenarnya lebih bersifat inventif (tanam budi) dan gratifikasi tidak membutuhkan kesepakatan.
Adapun dasar hukum yang mengatur tentang gratifikasi adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di pasal 16 disebutkan bahwa setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut: a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat : 1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5) nilai gratifikasi yang diterima.
Dengan demikian, gratifikasi atau pemberian hadiah bisa menjadi suatu perbuatan pidana suap, khususnya pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri ketika menerima pemberian hadiah yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.
Korupsi dan Kesadaran Publik
Indeks korupsi yang setiap tahunnya diumumkan oleh Transparency International Indonesia (www.ti.or.id) apakah hanya sebuah formalitas belaka? Fokus dalam penanganan korupsi sebenarnya bukan hanya naik turunnya Indeks Persepsi Korupsi. Fokus yang perlu menjadi perhatian bersama adalah pertanyaan: bagaimana KPK dan instansi terkait yang memberantas korupsi bisa selangkah lebih maju dari motif korupsi yang dilakukan oleh para koruptor itu?
tulis komentar anda