Kekayaan, Korupsi, dan Kesadaran Diri
loading...
A
A
A
Via Nurita Dolok Saribu
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Widya Dharma, Pontianak
TERNYATA, kaya itu ada skemanya. Di dalam film The Wolf of The Wall Street (Martin Scorsese, 2013) yang diangkat dari kisah nyata, diceritakan Jordan Belfort, pria licik dan suka menipu. Jordan menghasilkan uang dalam jumlah banyak secara ilegal dengan menjadi broker saham.
Ketika gelagatnya mulai menjadi perhatian FBI, Jordan membuka rekening bank di Swiss untuk melakukan pencucian uang. Namun, sekuat apa pun menghindar, ia akhirnya tertangkap juga.
Baca Juga: koran-sindo.com
Dalam hal korupsi di investasi keuangan, kisah Jordan Belfort mirip dengan cerita Indra Kenz. Indra memperkenalkan investasinya melalui influencer dan orang-orang yang digelari “sultan” di Indonesia. Ia membuat masyarakat membangun stigma yang baik terhadap dia: anak muda yang sukses. Padahal, dia seorang afiliator, dalam hal itu juga bisa dikatakan mirip Jordan Belfort. Ia juga melakukan tindakan pencucian uang.
Setelah ia tertangkap, publik pun jadi sadar bahwa Indra hanyalah anak muda ambisius yang ingin cepat kaya-raya dengan cara dan tindakan yang tidak wajar.
Korupsi dan Sisi-Sisi Kehidupan
Korupsi tak hanya terjadi di lembaga-lembaga pemerintahan, tapi di segala bidang kehidupan manusia. Di kisah Jordan dan Indra di atas kita menyaksikan korupsi dilakukan melalui pencucian uang. Korupsi semakin hari semakin berkembang dalam berbagai bentuk. Yang paling banyak disiarkan adalah korupsi yang melibatkan pejabat publik.
Belakangan, korupsi yang dilakukan Gubernur Papua menyita perhatian publik. Wakil Ketua DPR Papua Yunus Wonda diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri menyatakan bahwa Yunus Wonda sedang diselidiki, antara lain terkait dengan pembahasan penganggaran untuk APBD, termasuk dana otonomi khusus di Provinsi Papua (Sindonews, 21/1/2023).
Pencucian uang, penggunaan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya—begitulah, korupsi dapat menjelma dalam berbagai bentuk. Tampaknya korupsi sudah begitu terbiasa kita dengar setiap hari. Baru-baru ini, yang juga cukup menyita perhatian publik adalah korupsi melalui gratifikasi dengan luxury brand.
Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh KPK melalui Twitter (https://twitter.com/KPK_RI) pada 16 Januari 2022, di tahun 2022 KPK menerima 3.625 laporan gratifikasi nilai total Rp3,8 miliar.
Budaya saling memberi dan menerima di Indonesia adalah hal yang lazim. Namun, hal itu bisa menjadi musibah juga. Gratifikasi dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas seseorang. Karena penerima gratifikasi dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berisiko pidana.
Misalkan saja seseorang memberi ikat pinggang luxury brand, bentuknya memang sederhana tetapi dampaknya ternyata negatif. Gratifikasi bisa diartikan sebagai “suap yang tertunda” atau “suap terselubung” karena sebenarnya lebih bersifat inventif (tanam budi) dan gratifikasi tidak membutuhkan kesepakatan.
Adapun dasar hukum yang mengatur tentang gratifikasi adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di pasal 16 disebutkan bahwa setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut: a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat : 1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5) nilai gratifikasi yang diterima.
Dengan demikian, gratifikasi atau pemberian hadiah bisa menjadi suatu perbuatan pidana suap, khususnya pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri ketika menerima pemberian hadiah yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.
Korupsi dan Kesadaran Publik
Indeks korupsi yang setiap tahunnya diumumkan oleh Transparency International Indonesia (www.ti.or.id) apakah hanya sebuah formalitas belaka? Fokus dalam penanganan korupsi sebenarnya bukan hanya naik turunnya Indeks Persepsi Korupsi. Fokus yang perlu menjadi perhatian bersama adalah pertanyaan: bagaimana KPK dan instansi terkait yang memberantas korupsi bisa selangkah lebih maju dari motif korupsi yang dilakukan oleh para koruptor itu?
Salah satu strategi yang sudah dilakukan oleh KPK melalui Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat adalah melaksanakan berbagai program untuk mewujudkan lingkungan antikorupsi di berbagai tingkatan pendidikan.
Pada 2022, 72,5% pemerintah daerah telah memiliki regulasi pendidikan antikorupsi dan 22.138 sekolah telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi melalui pembelajaran yang interaktif (www.kpk.go.id).
Ke depan, perlu ada survei yang berkelanjutan tentang bagaimana perkembangan dari program pendidikan antikorupsi tersebut. Apakah sudah efektif atau belum, apa saja cara yang perlu dikembangkan atau ditingkatkan, semuanya perlu dievaluasi dan disurvei. Karena pendidikan antikorupsi adalah tindakan preventif yang hasilnya bisa dilihat dalam jangka waktu yang cukup lama.
Membangun budaya antikorupsi sungguh tidaklah mudah dan merupakan pekerjaan yang membutuhkan upaya sangat besar; bangsa kita, terutama para pejabat dan wakil rakyat, sudah terbiasa dengan korupsi sejak zaman Orde Baru.
Adanya pendidikan antikorupsi juga menjadi angin segar bagi Indonesia, bahwa selain pemberantasan, pencegahan adalah hal yang harus untuk membangun budaya antikorupsi sedini mungkin melalui dunia pendidikan. Korupsi melahirkan manusia-manusia egoistis yang tidak menghargai hak orang lain, suka melakukan jalan pintas, dan melakukan apa saja yang dilarang—baik oleh hukum, standar moral, maupun agama—untuk kepuasan diri sendiri.
Mungkinkah Indonesia suatu hari bebas dari korupsi? Hal itu susah dijawab untuk saat ini, walaupun tentunya banyak pihak berharap bahwa jawabannya adalah mungkin. Hal itu menjadi mungkin jika masyarakat Indonesia memiliki kesadaran bersama untuk membangun budaya antikorupsi.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Widya Dharma, Pontianak
TERNYATA, kaya itu ada skemanya. Di dalam film The Wolf of The Wall Street (Martin Scorsese, 2013) yang diangkat dari kisah nyata, diceritakan Jordan Belfort, pria licik dan suka menipu. Jordan menghasilkan uang dalam jumlah banyak secara ilegal dengan menjadi broker saham.
Ketika gelagatnya mulai menjadi perhatian FBI, Jordan membuka rekening bank di Swiss untuk melakukan pencucian uang. Namun, sekuat apa pun menghindar, ia akhirnya tertangkap juga.
Baca Juga: koran-sindo.com
Dalam hal korupsi di investasi keuangan, kisah Jordan Belfort mirip dengan cerita Indra Kenz. Indra memperkenalkan investasinya melalui influencer dan orang-orang yang digelari “sultan” di Indonesia. Ia membuat masyarakat membangun stigma yang baik terhadap dia: anak muda yang sukses. Padahal, dia seorang afiliator, dalam hal itu juga bisa dikatakan mirip Jordan Belfort. Ia juga melakukan tindakan pencucian uang.
Setelah ia tertangkap, publik pun jadi sadar bahwa Indra hanyalah anak muda ambisius yang ingin cepat kaya-raya dengan cara dan tindakan yang tidak wajar.
Korupsi dan Sisi-Sisi Kehidupan
Korupsi tak hanya terjadi di lembaga-lembaga pemerintahan, tapi di segala bidang kehidupan manusia. Di kisah Jordan dan Indra di atas kita menyaksikan korupsi dilakukan melalui pencucian uang. Korupsi semakin hari semakin berkembang dalam berbagai bentuk. Yang paling banyak disiarkan adalah korupsi yang melibatkan pejabat publik.
Belakangan, korupsi yang dilakukan Gubernur Papua menyita perhatian publik. Wakil Ketua DPR Papua Yunus Wonda diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri menyatakan bahwa Yunus Wonda sedang diselidiki, antara lain terkait dengan pembahasan penganggaran untuk APBD, termasuk dana otonomi khusus di Provinsi Papua (Sindonews, 21/1/2023).
Pencucian uang, penggunaan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya—begitulah, korupsi dapat menjelma dalam berbagai bentuk. Tampaknya korupsi sudah begitu terbiasa kita dengar setiap hari. Baru-baru ini, yang juga cukup menyita perhatian publik adalah korupsi melalui gratifikasi dengan luxury brand.
Berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh KPK melalui Twitter (https://twitter.com/KPK_RI) pada 16 Januari 2022, di tahun 2022 KPK menerima 3.625 laporan gratifikasi nilai total Rp3,8 miliar.
Budaya saling memberi dan menerima di Indonesia adalah hal yang lazim. Namun, hal itu bisa menjadi musibah juga. Gratifikasi dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas seseorang. Karena penerima gratifikasi dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berisiko pidana.
Misalkan saja seseorang memberi ikat pinggang luxury brand, bentuknya memang sederhana tetapi dampaknya ternyata negatif. Gratifikasi bisa diartikan sebagai “suap yang tertunda” atau “suap terselubung” karena sebenarnya lebih bersifat inventif (tanam budi) dan gratifikasi tidak membutuhkan kesepakatan.
Adapun dasar hukum yang mengatur tentang gratifikasi adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di pasal 16 disebutkan bahwa setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut: a. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi. b. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat : 1) nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; 2) jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara; 3) tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; 4) uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan 5) nilai gratifikasi yang diterima.
Dengan demikian, gratifikasi atau pemberian hadiah bisa menjadi suatu perbuatan pidana suap, khususnya pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri ketika menerima pemberian hadiah yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.
Korupsi dan Kesadaran Publik
Indeks korupsi yang setiap tahunnya diumumkan oleh Transparency International Indonesia (www.ti.or.id) apakah hanya sebuah formalitas belaka? Fokus dalam penanganan korupsi sebenarnya bukan hanya naik turunnya Indeks Persepsi Korupsi. Fokus yang perlu menjadi perhatian bersama adalah pertanyaan: bagaimana KPK dan instansi terkait yang memberantas korupsi bisa selangkah lebih maju dari motif korupsi yang dilakukan oleh para koruptor itu?
Salah satu strategi yang sudah dilakukan oleh KPK melalui Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat adalah melaksanakan berbagai program untuk mewujudkan lingkungan antikorupsi di berbagai tingkatan pendidikan.
Pada 2022, 72,5% pemerintah daerah telah memiliki regulasi pendidikan antikorupsi dan 22.138 sekolah telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi melalui pembelajaran yang interaktif (www.kpk.go.id).
Ke depan, perlu ada survei yang berkelanjutan tentang bagaimana perkembangan dari program pendidikan antikorupsi tersebut. Apakah sudah efektif atau belum, apa saja cara yang perlu dikembangkan atau ditingkatkan, semuanya perlu dievaluasi dan disurvei. Karena pendidikan antikorupsi adalah tindakan preventif yang hasilnya bisa dilihat dalam jangka waktu yang cukup lama.
Membangun budaya antikorupsi sungguh tidaklah mudah dan merupakan pekerjaan yang membutuhkan upaya sangat besar; bangsa kita, terutama para pejabat dan wakil rakyat, sudah terbiasa dengan korupsi sejak zaman Orde Baru.
Adanya pendidikan antikorupsi juga menjadi angin segar bagi Indonesia, bahwa selain pemberantasan, pencegahan adalah hal yang harus untuk membangun budaya antikorupsi sedini mungkin melalui dunia pendidikan. Korupsi melahirkan manusia-manusia egoistis yang tidak menghargai hak orang lain, suka melakukan jalan pintas, dan melakukan apa saja yang dilarang—baik oleh hukum, standar moral, maupun agama—untuk kepuasan diri sendiri.
Mungkinkah Indonesia suatu hari bebas dari korupsi? Hal itu susah dijawab untuk saat ini, walaupun tentunya banyak pihak berharap bahwa jawabannya adalah mungkin. Hal itu menjadi mungkin jika masyarakat Indonesia memiliki kesadaran bersama untuk membangun budaya antikorupsi.
(bmm)