Komnas HAM Minta Panglima TNI dan MA Awasi Sidang Kasus Mutilasi di Mimika

Sabtu, 21 Januari 2023 - 20:25 WIB
“Temuan hasil pemantauan sidang tersebut, didapati bahwa Sidang dapat dihadiri dan diikuti oleh keluarga korban dan masyarakat secara langsung dengan pengamanan dari Kepolisian dan TNI. Namun, proses persidangan tidak berjalan dengan efektif karena minimnya kesiapan perangkat pengadilan," kata Atnike.

Minim kesiapan itu antara lain, jadwal sidang yang tidak jelas dan kurang transparan. Hal itu tidak sesuai dengan jadwal yang tertera di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara/SIPP. Kondisi itu menyebabkan keluarga korban kesulitan mengetahui jadwal pasti guna mengikuti dan memastikan seluruh tahapan persidangan berjalan dengan baik.

Lalu pemeriksaan saksi pelaku sipil yang dihadirkan melalui daring menjadi tidak efektif karena permasalahan jaringan internet. Hal ini berbeda dengan saksi dari keluarga korban yang bersedia hadir dari Kabupaten Mimika ke Jayapura guna memberikan kesaksiannya secara langsung.

"Pemeriksaan barang bukti dilakukan secara daring menjadi tidak efektif karena permasalahan jaringan internet. Ruang sidang kurang proporsional untuk mengakomodasi jumlah keluarga korban dan masyarakat yang ingin mengikuti proses persidangan mencapai 50- 100 orang. Sehingga, bagi lansia dan kelompok rentan yang terpaksa berdiri di luar ruangan," ungkapnya.

Atnike juga menilai, proses peradilan mengabaikan aksesibilitas bagi keluarga untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan. Terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.

Selain itu, kata Atnike, proses pertanggungjawaban pidana tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah, saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI.

"Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum dan informasi terakhir berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika," katanya.

Atnike juga mengungkapkan, keluarga korban tidak puas dengan konstruksi dakwaan Oditurat Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki karena menempatkan Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan premier. Termasuk Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair, sedangkan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsidair.

Hal itu berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali. "Keluarga korban dan pengacara korban menilai proses persidangan terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki terkesan dilakukan maraton, padahal proses tahapan persidangan harus memberikan waktu yang cukup agar seluruh fakta dapat diuji dengan detil," jelasnya.

Atas temuan awal hasil pemantauan sidang di Pengadilan Militer III/19 Jayapura, Komnas HAM pun mendesak agar persidangan dilakukan secara independen dan imparsial sesuai dengan prinsip persidangan yang adil (fair trial) menurut UU HAM dan Konvenan Hak Sipil dan Politik. "Komnas HAM RI meminta Panglima TNI untuk melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum agar berjalan efektif dan akuntabel," kata Atnike.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More