Piala Dunia 2022, Strategi Qatar Lawan Propaganda Anti-Islam di Eropa

Jum'at, 20 Januari 2023 - 14:00 WIB
Beberapa peraturan yang tertulis yaitu larangan penjualan minuman keras saat pertandingan berlangsung, larangan penggunaan pakaian minim/terbuka, larangan satu kamar hotel bagi pasangan non suami-istri, dan larangan yang cukup sensasional menuai kritikan pedas dari berbagai kalangan yaitu larangan untuk menyerukan, berkampanye mengenai LGBT.

Sontak peraturan tersebut menjadikan negara-negara barat dan Eropa semakin gencar menekan Qatar. Hal ini karena kebijakan yang diterapkan Qatar sangat bersinggungan dengan nilai-nilai liberal atau kebebasan yang dianut oleh negara-negara barat. Sebagai negara Adidaya, Barat tidak terima jika mereka diatur oleh negara ketiga. Sebagian klub sepak bola Eropa pun turut menolak peraturan tersebut. Klub sepak bola asal Jerman salah satu contohnya.

Jerman yang dikenal sebagai negara yang sangat mendukung hak kebebasan termasuk LGBT tidak ingin merusak citra negara multikulturalisme Jerman dengan hanya mengikuti peraturan Qatar. Tidak butuh waktu lama, berita tersebut menjadi trending di berbagai media sosial, salah satunya yaitu Twitter. Hal ini dibantu oleh para Social Justice Warrior (SJW).

Peraturan Qatar yang disetujui oleh FIFA ini menjadikan pemain mau tak mau harus mengikuti peraturan tersebut. Tetapi seperti dugaan banyak masyarakat dunia bahwa akan ada tim atau para fans club yang akan mengadakan gerakan yang "menolak". Saat laga pertandingan timnas Jerman vs Jepang, para panser kompak menutup mulut sebagai aksi penolakan terhadap peraturan yang telah membatasi gerak kampanye “one love” milik Jerman.

Kampanye One Love di sini diartikan sebagai bentuk dukungan terhadap kaum LGBT. Gerakan ini didukung langsung oleh Menteri Dalam Negeri Jerman, Nancy Faeser menggunakan ban one love di lengannya dan berjabat tangan langsung dengan Presiden FIFA di tribun VIP.

Hal ini sebagai bentuk hipokrit Jerman terhadap gerakan anti-Islam dan secara terang-terangan mengakui bahwa negaranya merupakan Islamophobia terbesar kedua setelah Perancis di benua Eropa. Tak mau kalah, negara-negara Uni Eropa pun turut melakukan ban di lengan masing-masing kapten timnas sepak bolanya seperti Inggris dan Denmark.

FIFA pun melihat kampanye hitam ini melarang keras Eropa untuk melanjutkan aksinya di lapangan. Qatar yang sedang ingin berfokus pada kesuksesan perhelatan Piala Dunia ini hanya menyerahkan kepada FIFA untuk hukum pelanggaran dan pemboikotan.

Seakan lupa bahwa Uni Eropa lah yang seharusnya dapat memanfaatkan perhelatan ini membangun komunikasi diplomatik yang baik dengan negara-negara Timur Tengah yang telah berjasa bagi pasokan sumber energi di Eropa. Eropa yang sempat mengalami krisis energi tidak akan berhasil survive jika tidak mendapat suntikan energi dari negara Timur Tengah, terutama Qatar.

Dan uniknya, pada laga-laga berikutnya timnas yang berasal dari Uni Eropa gugur dalam pertandingan melawan timnas dari Asia dan Timur Tengah bahkan sebelum babak penyisihan Semifinal Piala Dunia 2022. Hal ini menjadi tamparan keras bagi negara-negara Eropa yang telah "beraksi" melawan peraturan Qatar.

Menurut penulis, Tujuan Qatar mengambil kesempatan menjadi tidak lain untuk tujuan nasionalnya yang ingin melebarkan sayap pada soft powernya melalui bidang olahraga. Selain itu, sebagai perwakilan negara ketiga, Qatar mampu membuktikan bahwa mereka juga tidak kalah hebat dengan negara hegemon.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More