Piala Dunia 2022, Strategi Qatar Lawan Propaganda Anti-Islam di Eropa
loading...
A
A
A
Aurelia Abida Kurniawan
Mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang
PERHELATAN Piala Dunia 2022 yang berakhir tepat pada bulan Desember lalu masih menyisakan euforia bagi para penikmat sepakbola. Turnamen sepakbola bergengsi yang selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat dunia ini sukses diselenggarakan oleh Qatar.
Qatar secara resmi dipilih oleh FIFA pada tahun 2010 untuk menjadi tuan rumah pertama Piala Dunia yang diselenggarakan pertama kali dalam sejarahnya oleh negara Muslim. Tentunya, pada awal keputusan tersebut terdapat pro-kontra hingga adanya ancaman pemboikotan oleh negara-negara barat, termasuk Eropa.
Isu kontroversial mulai dilayangkan kepada Qatar terhadap pertimbangan suhu di Timur Tengah yang mencapai 40 derajat. Sehingga, hal itu dinilai dapat mengganggu kesehatan para atlet. Isu-isu peperangan di Timur Tengah, hingga penolakan terhadap Qatar yang memberlakukan hukum Islam di negaranya.
Menjadi sorotan oleh berbagai aktor di Dunia, tentunya menjadikan tantangan tersendiri oleh Qatar. Tujuan lain Qatar bersedia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 selain mempromosikan negaranya, Qatar juga ingin memperkenalkan budaya Islam kepada Dunia, bahwa ajaran Islam tidak seburuk apa yang selama ini tersebar di media barat.
Strategi ini diperkuat dengan maskot Piala Dunia yang dipilih yaitu La’eeb. Maskot ini divisualisasikan dari ciri khas penutup kepala yang digunakan oleh masyarakat Timur Tengah mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW yang kita kenal sebagai sorban. Tidak ada filosofi spesifik mengenai La’eeb, karena arti La’eeb dalam bahasa arab adalah pemain dengan kemampuan super. Sehingga siapapun dengan bebas berspekulasi mengenai maskot Qatar.
Tidak berhenti di situ, media-media barat yang sejatinya pesimis dengan pelaksanaan Piala Dunia 2022 menggunakan headline berita yang cukup kontroversial dengan dugaan penelantaran pekerja hingga memakan korban ratusan. Hal ini dibantah langsung oleh Nasser al Khater, CEO Piala Dunia yang mengecam media barat yang hiperbola dan terlalu memojokkan Qatar.
Dengan dibantahnya statement tersebut oleh sang CEO Piala Dunia, media barat tak kehilangan headline berita yang menyebarkan propaganda dugaan penyuapan dan pemalsuan jumlah penonton yang hadir. Pada saat penyelenggaraan Piala Dunia, Qatar mengeluarkan beberapa aturan yang harus dipatuhi baik para atlet maupun penonton yang hadir.
Beberapa peraturan yang tertulis yaitu larangan penjualan minuman keras saat pertandingan berlangsung, larangan penggunaan pakaian minim/terbuka, larangan satu kamar hotel bagi pasangan non suami-istri, dan larangan yang cukup sensasional menuai kritikan pedas dari berbagai kalangan yaitu larangan untuk menyerukan, berkampanye mengenai LGBT.
Sontak peraturan tersebut menjadikan negara-negara barat dan Eropa semakin gencar menekan Qatar. Hal ini karena kebijakan yang diterapkan Qatar sangat bersinggungan dengan nilai-nilai liberal atau kebebasan yang dianut oleh negara-negara barat. Sebagai negara Adidaya, Barat tidak terima jika mereka diatur oleh negara ketiga. Sebagian klub sepak bola Eropa pun turut menolak peraturan tersebut. Klub sepak bola asal Jerman salah satu contohnya.
Jerman yang dikenal sebagai negara yang sangat mendukung hak kebebasan termasuk LGBT tidak ingin merusak citra negara multikulturalisme Jerman dengan hanya mengikuti peraturan Qatar. Tidak butuh waktu lama, berita tersebut menjadi trending di berbagai media sosial, salah satunya yaitu Twitter. Hal ini dibantu oleh para Social Justice Warrior (SJW).
Peraturan Qatar yang disetujui oleh FIFA ini menjadikan pemain mau tak mau harus mengikuti peraturan tersebut. Tetapi seperti dugaan banyak masyarakat dunia bahwa akan ada tim atau para fans club yang akan mengadakan gerakan yang "menolak". Saat laga pertandingan timnas Jerman vs Jepang, para panser kompak menutup mulut sebagai aksi penolakan terhadap peraturan yang telah membatasi gerak kampanye “one love” milik Jerman.
Kampanye One Love di sini diartikan sebagai bentuk dukungan terhadap kaum LGBT. Gerakan ini didukung langsung oleh Menteri Dalam Negeri Jerman, Nancy Faeser menggunakan ban one love di lengannya dan berjabat tangan langsung dengan Presiden FIFA di tribun VIP.
Hal ini sebagai bentuk hipokrit Jerman terhadap gerakan anti-Islam dan secara terang-terangan mengakui bahwa negaranya merupakan Islamophobia terbesar kedua setelah Perancis di benua Eropa. Tak mau kalah, negara-negara Uni Eropa pun turut melakukan ban di lengan masing-masing kapten timnas sepak bolanya seperti Inggris dan Denmark.
FIFA pun melihat kampanye hitam ini melarang keras Eropa untuk melanjutkan aksinya di lapangan. Qatar yang sedang ingin berfokus pada kesuksesan perhelatan Piala Dunia ini hanya menyerahkan kepada FIFA untuk hukum pelanggaran dan pemboikotan.
Seakan lupa bahwa Uni Eropa lah yang seharusnya dapat memanfaatkan perhelatan ini membangun komunikasi diplomatik yang baik dengan negara-negara Timur Tengah yang telah berjasa bagi pasokan sumber energi di Eropa. Eropa yang sempat mengalami krisis energi tidak akan berhasil survive jika tidak mendapat suntikan energi dari negara Timur Tengah, terutama Qatar.
Dan uniknya, pada laga-laga berikutnya timnas yang berasal dari Uni Eropa gugur dalam pertandingan melawan timnas dari Asia dan Timur Tengah bahkan sebelum babak penyisihan Semifinal Piala Dunia 2022. Hal ini menjadi tamparan keras bagi negara-negara Eropa yang telah "beraksi" melawan peraturan Qatar.
Menurut penulis, Tujuan Qatar mengambil kesempatan menjadi tidak lain untuk tujuan nasionalnya yang ingin melebarkan sayap pada soft powernya melalui bidang olahraga. Selain itu, sebagai perwakilan negara ketiga, Qatar mampu membuktikan bahwa mereka juga tidak kalah hebat dengan negara hegemon.
Piala Dunia tiap empat tahun sekali tak lain hanyalah ajang unjuk politik identitas masing-masing negara. Qatar pada kali ini mengusung politik identitas Islam yang cinta damai dan mengampanyekan pembebasan palestina untuk merdeka. Dan politik identitas yang berseberangan dengan Qatar adalah Politik identitas yang ingin memperjuangkan hak kebebasan individu.
Maroko yang berhasil lolos pada babak semifinal diselebrasikan dengan pengibaran bendera Palestina membuat surat kabar partai kiri Jerman menduga bahwa Qatar dan Maroko sedang mengkampanyekan anti-semitisme yang mendukung terhadap permusuhan pada entitas zionis Israel. Dugaan yang tidak memiliki bukti kuat tersebut dengan mudah dibantah oleh Qatar.
Dari sini dapat kita temui bahwa skeptisme barat dan Eropa terhadap negara dunia ketiga sangatlah tinggi. Dan adanya Piala Dunia 2022 yang berhasil Qatar laksanakan menjadikan sedikit gertakan "power" bagi gerakan anti-Islam yang masih mencoba untuk mispersepsi mengenai agama Islam.
Mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang
PERHELATAN Piala Dunia 2022 yang berakhir tepat pada bulan Desember lalu masih menyisakan euforia bagi para penikmat sepakbola. Turnamen sepakbola bergengsi yang selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat dunia ini sukses diselenggarakan oleh Qatar.
Qatar secara resmi dipilih oleh FIFA pada tahun 2010 untuk menjadi tuan rumah pertama Piala Dunia yang diselenggarakan pertama kali dalam sejarahnya oleh negara Muslim. Tentunya, pada awal keputusan tersebut terdapat pro-kontra hingga adanya ancaman pemboikotan oleh negara-negara barat, termasuk Eropa.
Isu kontroversial mulai dilayangkan kepada Qatar terhadap pertimbangan suhu di Timur Tengah yang mencapai 40 derajat. Sehingga, hal itu dinilai dapat mengganggu kesehatan para atlet. Isu-isu peperangan di Timur Tengah, hingga penolakan terhadap Qatar yang memberlakukan hukum Islam di negaranya.
Menjadi sorotan oleh berbagai aktor di Dunia, tentunya menjadikan tantangan tersendiri oleh Qatar. Tujuan lain Qatar bersedia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 selain mempromosikan negaranya, Qatar juga ingin memperkenalkan budaya Islam kepada Dunia, bahwa ajaran Islam tidak seburuk apa yang selama ini tersebar di media barat.
Strategi ini diperkuat dengan maskot Piala Dunia yang dipilih yaitu La’eeb. Maskot ini divisualisasikan dari ciri khas penutup kepala yang digunakan oleh masyarakat Timur Tengah mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW yang kita kenal sebagai sorban. Tidak ada filosofi spesifik mengenai La’eeb, karena arti La’eeb dalam bahasa arab adalah pemain dengan kemampuan super. Sehingga siapapun dengan bebas berspekulasi mengenai maskot Qatar.
Tidak berhenti di situ, media-media barat yang sejatinya pesimis dengan pelaksanaan Piala Dunia 2022 menggunakan headline berita yang cukup kontroversial dengan dugaan penelantaran pekerja hingga memakan korban ratusan. Hal ini dibantah langsung oleh Nasser al Khater, CEO Piala Dunia yang mengecam media barat yang hiperbola dan terlalu memojokkan Qatar.
Dengan dibantahnya statement tersebut oleh sang CEO Piala Dunia, media barat tak kehilangan headline berita yang menyebarkan propaganda dugaan penyuapan dan pemalsuan jumlah penonton yang hadir. Pada saat penyelenggaraan Piala Dunia, Qatar mengeluarkan beberapa aturan yang harus dipatuhi baik para atlet maupun penonton yang hadir.
Beberapa peraturan yang tertulis yaitu larangan penjualan minuman keras saat pertandingan berlangsung, larangan penggunaan pakaian minim/terbuka, larangan satu kamar hotel bagi pasangan non suami-istri, dan larangan yang cukup sensasional menuai kritikan pedas dari berbagai kalangan yaitu larangan untuk menyerukan, berkampanye mengenai LGBT.
Sontak peraturan tersebut menjadikan negara-negara barat dan Eropa semakin gencar menekan Qatar. Hal ini karena kebijakan yang diterapkan Qatar sangat bersinggungan dengan nilai-nilai liberal atau kebebasan yang dianut oleh negara-negara barat. Sebagai negara Adidaya, Barat tidak terima jika mereka diatur oleh negara ketiga. Sebagian klub sepak bola Eropa pun turut menolak peraturan tersebut. Klub sepak bola asal Jerman salah satu contohnya.
Jerman yang dikenal sebagai negara yang sangat mendukung hak kebebasan termasuk LGBT tidak ingin merusak citra negara multikulturalisme Jerman dengan hanya mengikuti peraturan Qatar. Tidak butuh waktu lama, berita tersebut menjadi trending di berbagai media sosial, salah satunya yaitu Twitter. Hal ini dibantu oleh para Social Justice Warrior (SJW).
Peraturan Qatar yang disetujui oleh FIFA ini menjadikan pemain mau tak mau harus mengikuti peraturan tersebut. Tetapi seperti dugaan banyak masyarakat dunia bahwa akan ada tim atau para fans club yang akan mengadakan gerakan yang "menolak". Saat laga pertandingan timnas Jerman vs Jepang, para panser kompak menutup mulut sebagai aksi penolakan terhadap peraturan yang telah membatasi gerak kampanye “one love” milik Jerman.
Kampanye One Love di sini diartikan sebagai bentuk dukungan terhadap kaum LGBT. Gerakan ini didukung langsung oleh Menteri Dalam Negeri Jerman, Nancy Faeser menggunakan ban one love di lengannya dan berjabat tangan langsung dengan Presiden FIFA di tribun VIP.
Hal ini sebagai bentuk hipokrit Jerman terhadap gerakan anti-Islam dan secara terang-terangan mengakui bahwa negaranya merupakan Islamophobia terbesar kedua setelah Perancis di benua Eropa. Tak mau kalah, negara-negara Uni Eropa pun turut melakukan ban di lengan masing-masing kapten timnas sepak bolanya seperti Inggris dan Denmark.
FIFA pun melihat kampanye hitam ini melarang keras Eropa untuk melanjutkan aksinya di lapangan. Qatar yang sedang ingin berfokus pada kesuksesan perhelatan Piala Dunia ini hanya menyerahkan kepada FIFA untuk hukum pelanggaran dan pemboikotan.
Seakan lupa bahwa Uni Eropa lah yang seharusnya dapat memanfaatkan perhelatan ini membangun komunikasi diplomatik yang baik dengan negara-negara Timur Tengah yang telah berjasa bagi pasokan sumber energi di Eropa. Eropa yang sempat mengalami krisis energi tidak akan berhasil survive jika tidak mendapat suntikan energi dari negara Timur Tengah, terutama Qatar.
Dan uniknya, pada laga-laga berikutnya timnas yang berasal dari Uni Eropa gugur dalam pertandingan melawan timnas dari Asia dan Timur Tengah bahkan sebelum babak penyisihan Semifinal Piala Dunia 2022. Hal ini menjadi tamparan keras bagi negara-negara Eropa yang telah "beraksi" melawan peraturan Qatar.
Menurut penulis, Tujuan Qatar mengambil kesempatan menjadi tidak lain untuk tujuan nasionalnya yang ingin melebarkan sayap pada soft powernya melalui bidang olahraga. Selain itu, sebagai perwakilan negara ketiga, Qatar mampu membuktikan bahwa mereka juga tidak kalah hebat dengan negara hegemon.
Piala Dunia tiap empat tahun sekali tak lain hanyalah ajang unjuk politik identitas masing-masing negara. Qatar pada kali ini mengusung politik identitas Islam yang cinta damai dan mengampanyekan pembebasan palestina untuk merdeka. Dan politik identitas yang berseberangan dengan Qatar adalah Politik identitas yang ingin memperjuangkan hak kebebasan individu.
Maroko yang berhasil lolos pada babak semifinal diselebrasikan dengan pengibaran bendera Palestina membuat surat kabar partai kiri Jerman menduga bahwa Qatar dan Maroko sedang mengkampanyekan anti-semitisme yang mendukung terhadap permusuhan pada entitas zionis Israel. Dugaan yang tidak memiliki bukti kuat tersebut dengan mudah dibantah oleh Qatar.
Dari sini dapat kita temui bahwa skeptisme barat dan Eropa terhadap negara dunia ketiga sangatlah tinggi. Dan adanya Piala Dunia 2022 yang berhasil Qatar laksanakan menjadikan sedikit gertakan "power" bagi gerakan anti-Islam yang masih mencoba untuk mispersepsi mengenai agama Islam.
(maf)