Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi, Apa yang Salah?
A
A
A
Ketika Jokowi resmi dilantik sebagai presiden Indonesia ketujuh pada 20 Oktober 2014, terdapat ekspektasi yang sangat tinggi dari masyarakat bahwa pemerintahannya akan mampu memperbaiki lanskap perekonomian Indonesia ke arah yang lebih maju dan berkeadilan.
Ide-ide cemerlang bagaimana mengelola perekonomian (seperti tambahan alokasi anggaran infrastruktur menjadi Rp290,3 triliun) dan gebrakan beberapa menteri menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya ekspektasi masyarakat. Namun, paling tidak sampai dengan triwulan I-2015, masyarakat tampaknya masih harus menunggu jawaban pemerintah terhadap ekspektasi mereka.
Alih-alih membaik, beberapa indikator ekonomi justru mengalami pembusukan. Pertumbuhan ekonomi misalnya, secara year on year (YoY), pada triwulan I- 2015 hanya 4,71%, lebih rendah dari kuartal I-2014 (5,14%). Perlambatan pertumbuhan ekonomi kemudian mengurangi kemampuan perekonomian dalam menciptakan kesempatan kerja.
Selama setahun jumlah penganggur bertambah 300.000 orang, dari 7,15 juta (Februari 2014) menjadi 7,45 juta(Februari 2015). Dengan demikian, selama setahun, tingkat pengangguran meningkat dari 5,70% menjadi 5,81%, semakin menjauh dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2015 (5,6%).
Dunia Usaha yang Kurang Darah
Terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015 tidak terlalu sulit diprediksi dikaitkan dengan semakin lesunya dunia usaha. BPS mencatat ITB (indeks tendensi bisnis) triwulan I-2015 sebesar 96,3%, tidak hanya menurun dari triwulan IV-2014 (104,07%), tetapi juga merupakan yang terendah sejak triwulan- I 2006 (95,12%).
ITB yang menurun jauh sampai ke level di bawah 100% mengindikasikan bahwa dunia usaha sedang berada di titik nadir, sulit bergerak, dan terhimpit beraneka ragam permasalahan. Dari sisi suplai, permasalahan mendasar yang dihadapi dunia usaha adalah naiknya komponen biaya karena berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah. Dunia usaha masih sangat tergantung terhadap bahan baku dan barang modal impor.
Karena itu, ketika rupiah terdepresiasi, secara otomatis biaya impor bahan baku dan barang modal akan terdongkrak naik. Beberapa kebijakan pemerintah, seperti kenaikan TDL, upah buruh, dan iuran BPJS (kesehatan dan ketenagakerjaan), juga memaksa dunia usaha mengalokasikan tambahan biaya.
Demikian halnya agresivitas pemerintah untuk mencari sumber penerimaan melalui perpajakan dan cukai memberikan konsekuensi negatif terhadap struktur biaya dunia usaha. Dunia usaha juga dihadapkan dengan semakin mahalnya biaya kredit (cost of fund) dari perbankan. Kebijakan moneter ketat, khususnya SBI yang tetap pada tingkat yang relatif tinggi (7,5%), menjadi akar dari tingginya biaya kredit.
Cukup logis jika dunia usaha mengerem minatnya meminjam ke perbankan. Akibatnya, pertumbuhan kredit pada triwulan I-2015 hanya 11,1%, jauh dari target yang ditetapkan dalam rencana bisnis bank, sebesar 18%. Dari sisi demand, dunia usaha masih dihadapkan dengan lesunya pasar global dan lokal.
Di pasar global, masih lemah dan menurunnya kinerja perekonomian beberapa negara partner dagang, seperti Kawasan Eropa, China, dan Jepang, menurunkan permintaan mereka terhadap komoditas ekspor Indonesia. Bersamaan dengan turunnya harga berbagai komoditas ekspor, penurunan permintaan ini kemudian menekan penerimaan ekspor.
Akibatnya, secara YoY, pada triwulan I-2015, ekspor tetap menjadi salah satu titik lemah pertumbuhan ekonomi, terkontraksi 0,53%. Di pasar lokal, dampak dari kebijakan menaikkan harga BBM, LPG 12 kg dan TDL menekan daya beli masyarakat. Konsumsi masyarakat tetap dominan, berkontribusi 56,12% terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015.
Tapi kemungkinan besar konsumsi masyarakat itu lebih banyak untuk berbelanja kebutuhan pokok yang bersifat price inelastic. Penurunan daya beli terindikasi dari berkurangnya permintaan masyarakat terhadap barang yang sifatnya tahan lama seperti pakaian, barang elektronik, dan bahan bangunan.
Berkelindannya permasalahan suplai dan demand memaksa dunia usaha tidak terlalu ekspansif, tetapi justru mengurangi kapasitas produksinya. Secara sektoral, hal ini terpotret dari terkontraksinya pertumbuhan banyak sektor, kecualipertanian, informasi dan komunikasi, dan jasa keuangan.
Transfusi dari Pemerintah
Ketika dunia usaha kekurangan darah, pemerintah berkewajiban memompakan darah segar ke dalam perekonomian. Selain harus lebih berhati- hati meluncurkan kebijakan yang bisa berdampak kontraproduktif terhadap kinerja dunia usaha, pemerintah juga harus lebih taktismenggunakan belanjanya.
Sampai dengan triwulan I- 2015, manajemen belanja pemerintahan Jokowi tidak jauh berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Sampai dengan triwulan I-2015, realisasi belanja pemerintah baru sekitar 18,5% dari total belanja Rp1.984,1 triliun. Itu pun lebih banyak yang terserap untuk belanja rutin dan transfer dana ke daerah. Hasilnya, belanja pemerintah hanya berkontribusi 6,55% terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015.
Tingkat penyerapan belanja infrastruktur lebih rendah lagi. Misalnya, dari total belanja infrastruktur Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Rp94,57 triliun, yang terserap baru Rp4,8 triliun (5,1%). Alasan di balik rendahnya penyerapan belanja infrastruktur itu-itu saja karena masalah pembebasan lahan ataupun terlambat melakukan proses lelang.
Belanja pemerintah, terutama untuk infrastruktur, dengan multiplier effect -nya bisa dijadikan sebagai penggerak dunia usaha dan penopang pertumbuhan ekonomi. Karenanya upaya untuk mengakselerasi penyerapan belanja infrastruktur menjadi pekerjaan rumah yang utama. Dalam kaitan ini ada baiknya pemerintah membentuk dan memperkuat kelembagaan untuk mengawasi serapan belanja infrastruktur.
Tugas utama lembaga ini adalah mengidentifikasi dan memberikan solusi terhadap beberapa masalah yang mengganggu penyerapan belanja infrastruktur. Lembaga ini juga berkewajiban menyederhanakan proses lelang, terlibat aktif dalam proses pembebasan lahan, dan meminimalkan risiko munculnya penyalahgunaan belanja (mark-up).
Latif Adam
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI, Jakarta
Ide-ide cemerlang bagaimana mengelola perekonomian (seperti tambahan alokasi anggaran infrastruktur menjadi Rp290,3 triliun) dan gebrakan beberapa menteri menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya ekspektasi masyarakat. Namun, paling tidak sampai dengan triwulan I-2015, masyarakat tampaknya masih harus menunggu jawaban pemerintah terhadap ekspektasi mereka.
Alih-alih membaik, beberapa indikator ekonomi justru mengalami pembusukan. Pertumbuhan ekonomi misalnya, secara year on year (YoY), pada triwulan I- 2015 hanya 4,71%, lebih rendah dari kuartal I-2014 (5,14%). Perlambatan pertumbuhan ekonomi kemudian mengurangi kemampuan perekonomian dalam menciptakan kesempatan kerja.
Selama setahun jumlah penganggur bertambah 300.000 orang, dari 7,15 juta (Februari 2014) menjadi 7,45 juta(Februari 2015). Dengan demikian, selama setahun, tingkat pengangguran meningkat dari 5,70% menjadi 5,81%, semakin menjauh dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2015 (5,6%).
Dunia Usaha yang Kurang Darah
Terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2015 tidak terlalu sulit diprediksi dikaitkan dengan semakin lesunya dunia usaha. BPS mencatat ITB (indeks tendensi bisnis) triwulan I-2015 sebesar 96,3%, tidak hanya menurun dari triwulan IV-2014 (104,07%), tetapi juga merupakan yang terendah sejak triwulan- I 2006 (95,12%).
ITB yang menurun jauh sampai ke level di bawah 100% mengindikasikan bahwa dunia usaha sedang berada di titik nadir, sulit bergerak, dan terhimpit beraneka ragam permasalahan. Dari sisi suplai, permasalahan mendasar yang dihadapi dunia usaha adalah naiknya komponen biaya karena berlanjutnya pelemahan nilai tukar rupiah. Dunia usaha masih sangat tergantung terhadap bahan baku dan barang modal impor.
Karena itu, ketika rupiah terdepresiasi, secara otomatis biaya impor bahan baku dan barang modal akan terdongkrak naik. Beberapa kebijakan pemerintah, seperti kenaikan TDL, upah buruh, dan iuran BPJS (kesehatan dan ketenagakerjaan), juga memaksa dunia usaha mengalokasikan tambahan biaya.
Demikian halnya agresivitas pemerintah untuk mencari sumber penerimaan melalui perpajakan dan cukai memberikan konsekuensi negatif terhadap struktur biaya dunia usaha. Dunia usaha juga dihadapkan dengan semakin mahalnya biaya kredit (cost of fund) dari perbankan. Kebijakan moneter ketat, khususnya SBI yang tetap pada tingkat yang relatif tinggi (7,5%), menjadi akar dari tingginya biaya kredit.
Cukup logis jika dunia usaha mengerem minatnya meminjam ke perbankan. Akibatnya, pertumbuhan kredit pada triwulan I-2015 hanya 11,1%, jauh dari target yang ditetapkan dalam rencana bisnis bank, sebesar 18%. Dari sisi demand, dunia usaha masih dihadapkan dengan lesunya pasar global dan lokal.
Di pasar global, masih lemah dan menurunnya kinerja perekonomian beberapa negara partner dagang, seperti Kawasan Eropa, China, dan Jepang, menurunkan permintaan mereka terhadap komoditas ekspor Indonesia. Bersamaan dengan turunnya harga berbagai komoditas ekspor, penurunan permintaan ini kemudian menekan penerimaan ekspor.
Akibatnya, secara YoY, pada triwulan I-2015, ekspor tetap menjadi salah satu titik lemah pertumbuhan ekonomi, terkontraksi 0,53%. Di pasar lokal, dampak dari kebijakan menaikkan harga BBM, LPG 12 kg dan TDL menekan daya beli masyarakat. Konsumsi masyarakat tetap dominan, berkontribusi 56,12% terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015.
Tapi kemungkinan besar konsumsi masyarakat itu lebih banyak untuk berbelanja kebutuhan pokok yang bersifat price inelastic. Penurunan daya beli terindikasi dari berkurangnya permintaan masyarakat terhadap barang yang sifatnya tahan lama seperti pakaian, barang elektronik, dan bahan bangunan.
Berkelindannya permasalahan suplai dan demand memaksa dunia usaha tidak terlalu ekspansif, tetapi justru mengurangi kapasitas produksinya. Secara sektoral, hal ini terpotret dari terkontraksinya pertumbuhan banyak sektor, kecualipertanian, informasi dan komunikasi, dan jasa keuangan.
Transfusi dari Pemerintah
Ketika dunia usaha kekurangan darah, pemerintah berkewajiban memompakan darah segar ke dalam perekonomian. Selain harus lebih berhati- hati meluncurkan kebijakan yang bisa berdampak kontraproduktif terhadap kinerja dunia usaha, pemerintah juga harus lebih taktismenggunakan belanjanya.
Sampai dengan triwulan I- 2015, manajemen belanja pemerintahan Jokowi tidak jauh berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Sampai dengan triwulan I-2015, realisasi belanja pemerintah baru sekitar 18,5% dari total belanja Rp1.984,1 triliun. Itu pun lebih banyak yang terserap untuk belanja rutin dan transfer dana ke daerah. Hasilnya, belanja pemerintah hanya berkontribusi 6,55% terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015.
Tingkat penyerapan belanja infrastruktur lebih rendah lagi. Misalnya, dari total belanja infrastruktur Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Rp94,57 triliun, yang terserap baru Rp4,8 triliun (5,1%). Alasan di balik rendahnya penyerapan belanja infrastruktur itu-itu saja karena masalah pembebasan lahan ataupun terlambat melakukan proses lelang.
Belanja pemerintah, terutama untuk infrastruktur, dengan multiplier effect -nya bisa dijadikan sebagai penggerak dunia usaha dan penopang pertumbuhan ekonomi. Karenanya upaya untuk mengakselerasi penyerapan belanja infrastruktur menjadi pekerjaan rumah yang utama. Dalam kaitan ini ada baiknya pemerintah membentuk dan memperkuat kelembagaan untuk mengawasi serapan belanja infrastruktur.
Tugas utama lembaga ini adalah mengidentifikasi dan memberikan solusi terhadap beberapa masalah yang mengganggu penyerapan belanja infrastruktur. Lembaga ini juga berkewajiban menyederhanakan proses lelang, terlibat aktif dalam proses pembebasan lahan, dan meminimalkan risiko munculnya penyalahgunaan belanja (mark-up).
Latif Adam
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI, Jakarta
(ftr)