Membaca Arah Politik Kaum Muda
A
A
A
Gerakan demokrasi di negeri ini menemukan momentumnya pada Era Reformasi 1998 dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru.
Sepanjang 17 tahun terakhir pascareformasi, bangsa ini tengah dihadapkan pada tantangan untuk membangun konsolidasi demokrasi. Dinamika politik pun tidak bisa dihindari, termasuk juga apa yang disebut dengan komodifikasi dari demokrasi. Di sinilah peran kelas menengah, sekaligus pemilih muda menemukan momentumnya. Mengapa kaum muda dan kelas menengah?
Merekalah yang memberikan kontribusi terhadap jalannya proses perubahan. Banyak hasil survei menempatkan ada kecenderungan lonjakan partisipasi pemilih muda yang terlibat dalam panggung politik memberi ruang terhadap ekspresi, kreasi, dan sekaligus demonstrasi. Demokrasi memberi ruang-ruang itu sebagaibagiandari panggilandari sistem demokrasi itu sendiri.
Perilaku pemilih mulamuda, diakui atau tidak, cenderung rasional. Mereka memiliki kemampuan mengakses beragam media untuk mendapat informasi. Jumlah pemilih mula terus meningkat dari sekitar 24 juta (2004), kemudian sekitar 36 juta (2009), dan saat Pemilu 2014 kemarin diperkirakan ada 53 juta dari sekitar 186 juta pemilih, dan diperkirakan pada Pemilu 2019 ada sekitar 60jt-an pemilih mula yang berpotensi akan menggunakan hak pilih.
Artinya, paling tidak ada sekitar 30% dari total pemilih yang berusia 17-27 tahun. Dengan jumlah 30%, partisipasi pemilih muda bisa mengubah peta politik. Dengan karakter pemilih muda yang berharap besar akan sebuah perubahan, bukan tidak mungkin peta politik di negeri ini akan bergantung pada pemilih mula dan muda. Kelompok pemilih ini paling menentang ada kondisi status quo.
Mereka sangat merindukan perubahan. Jika kita coba tengok ke belakang, momentum kemenangan Joko Widodo, baik di Pemilihan Gubernur DKI 2012 maupun Pemilihan Presiden 2014, banyak diperankan oleh kaum muda. Peran pemilih mula dan muda yang notabene juga representasi dari kelas menengah juga telah membawa arus komodifikasi dari demokrasi.
Mereka membawa dunia digital sebagai bagian dari demokratisasi. Lihat saja bagaimana para pendukung kedua kubu, antara Prabowo dan Jokowi, misalnya dalam pemilihan Presiden 2014. Mereka melakukan kampanye melalui media sosial. Puncaknya dengan konser dua jari yang dilakukan oleh Jokowi menjelang pemungutan suara pemilihan presiden yang dinilai banyak pihak menjadi pemicu orang kemudian berbondongbondong memberikan pilihannya ke Jokowi.
Peran Dunia Digital
Perkembangan dunia digital dengan maraknya penggunaan media sosial turut mengubah wajah demokrasi di negeri ini. Kaum muda banyak mengambil peran di perkembangan dunia digital ini, termasuk dalam konteks memanfaatkan jejaring dunia maya sebagai upaya menggalang gerakan untuk perubahan.
Sebuah buku berjudul ” Grown Up Digital”, karyaDon Tapscott (2008) menguatkan bagaimana pengaruh dunia maya dalam menggerakkan gerakan dan perubahan. Pengalaman pada pemilihan presiden di Amerika Serikat menjadi salah satu latar belakang dari penulisan buku tersebut.
Buku ini sebenarnya hasil dari proyek penelitian untuk mempelajari fenomena The Net Generation, generasi kaum muda yang sadar akan internet di 12 negara dalam tiga benua. Buku ini ditulis bersamaan dengan pertarungan Obama dan Hillary Clinton dalam konvensi Demokrat menuju Pilpres Amerika 2008. Melihat pemetaan kekuatan, semua tahu Hillary sudah satu langkah di depan.
Clinton sudah berhasil menghimpun dana besar sekali dan mengumpulkan barisan pendukung yang luar biasa, serta sebuah tim konsultan gaya lama yang sangat berpengalaman dengan keterampilan memanipulasi media. Tim konsultan gaya lama ini perlu digaris tebal, yang membedakan dengan apa yang dilakukan Obama. Obama merekrut anak muda bernama Chris Hughes yang waktu itu berusia 23 tahun.
Hughes jelas mewakili profil Net Generation. Hughes merupakan arsitek kemenangan Obama, sebagai direktur pengorganisasian urusan online. Dia mengatakan, ”jika Obama ingin menang, dia memerlukan kampanye yang didukung banyak orang. Dan, tidak ada cara lain untuk melakukannya selain internet”.
Upaya-upaya online yang diorganisasikan oleh Hughes yang berpusat di my.barackobama.com mengubah cara politik dimainkan di internet (online) maupun darat (offline). Alat-alat digital yang digunakan pada situs jejaring sosial membantu membentuk komunitas online beranggotakan lebih dari 1 juta orang.
Perubahan paling signifikan adalah pesan kampanye tidak dikendalikan dari markas besar kampanye seperti yang masih dilakukan dalam kampanye tradisional (politik dari atas ke bawah), melainkan memberi tiap individu dalam komunitas online untuk mengorganisasikan diri dalam berbagi informasi, pembentukan pawai-pawai, sampai penggalangan dana.
Sifat dari kampanye ini lebih pada cara-cara CrowdSourcing dan CrowdFundingyang tentu saja menjadi kekuatan luar biasa, gambaran spektakuler tentang kekuatan NetGener yang mampu menggagalkan konvensi, menggulingkan otoritas, dan berpotensi mengubah dunia.
Hughes adalah seorang cracker yang membuat retakan baru seperti yang pernah ditulis oleh Rhenald Kasali dalam Cracking Zone. Politik tidak akan pernah sama seperti dahulu. Generasi internet sedang berubah menjadi sebuah mesin raksasa politik di abad ke-21, menyapu habis model politik broadcast konvensional dengan gaya kerja ”kalian memilih, kami memerintah.” Ini tentu saja mengubah sifat dasar demokrasi itu sendiri. Fenomena ini disebut sebagai Demokrasi 2.0, demokrasi yang digerakkan oleh generasi internet.
Politik Kaum Muda
Tentu membaca politik kaum muda tidak akan bisa lepas dari bagaimana perilaku politik mereka saat ini. Mengomunikasikan kampanye politik dengan dunia digital, dunia yang berdekatan dengan kaum muda, adalah sebuah keniscayaan.
Perubahan-perubahan politik tidak akan cukup hanya berdiskusi dilorong-lorong gelap. Apalagi kecenderungan saat inibudaya membaca menjadi problem besar bagi bangsa ini. Nah, melakukan pendekat-an dengan media sosial, duniamaya, untuk memberikan pendidikan politik bagi kaum muda, yang rata-rata berperan sebagai netizen, adalah sebuah keharusan sekaligus kebutuhan politik.
Bagaimanapun demokrasi bukanlah barang sekadar jadi, namun demokrasi juga harus dibangun pada basis-basis kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kebutuhan kaum muda adalah perubahan yang cepat, rasional, dan tentu saja bisa merepresentasikan kepentingan politik mereka. Media sosial adalah kekuatan politik baru yang me-nyimpan energi besar untuk melahirkan perubahan.
Gelombang demokratisasi di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir juga tidak lepas dari fenomena media sosial. Meski demikian, media sosial dan dunia maya sekadar alat, instrumen. Demokrasi digital adalah jawaban dan media bagi kerja-kerja politik untuk membangun relasi dengan pemilih mula dan muda.
Ini tradisi baru dalam berpolitik meski tidak akan menggantikan pada nilai-nilai politik itu sendiri yang tetap merajut kepercayaan dan kejujuran demi terwujudnya sebuah keadilan dan kesejahteraan.
Anna Luthfie
Ketua Bidang Pemuda DPP Partai Perindo
Sepanjang 17 tahun terakhir pascareformasi, bangsa ini tengah dihadapkan pada tantangan untuk membangun konsolidasi demokrasi. Dinamika politik pun tidak bisa dihindari, termasuk juga apa yang disebut dengan komodifikasi dari demokrasi. Di sinilah peran kelas menengah, sekaligus pemilih muda menemukan momentumnya. Mengapa kaum muda dan kelas menengah?
Merekalah yang memberikan kontribusi terhadap jalannya proses perubahan. Banyak hasil survei menempatkan ada kecenderungan lonjakan partisipasi pemilih muda yang terlibat dalam panggung politik memberi ruang terhadap ekspresi, kreasi, dan sekaligus demonstrasi. Demokrasi memberi ruang-ruang itu sebagaibagiandari panggilandari sistem demokrasi itu sendiri.
Perilaku pemilih mulamuda, diakui atau tidak, cenderung rasional. Mereka memiliki kemampuan mengakses beragam media untuk mendapat informasi. Jumlah pemilih mula terus meningkat dari sekitar 24 juta (2004), kemudian sekitar 36 juta (2009), dan saat Pemilu 2014 kemarin diperkirakan ada 53 juta dari sekitar 186 juta pemilih, dan diperkirakan pada Pemilu 2019 ada sekitar 60jt-an pemilih mula yang berpotensi akan menggunakan hak pilih.
Artinya, paling tidak ada sekitar 30% dari total pemilih yang berusia 17-27 tahun. Dengan jumlah 30%, partisipasi pemilih muda bisa mengubah peta politik. Dengan karakter pemilih muda yang berharap besar akan sebuah perubahan, bukan tidak mungkin peta politik di negeri ini akan bergantung pada pemilih mula dan muda. Kelompok pemilih ini paling menentang ada kondisi status quo.
Mereka sangat merindukan perubahan. Jika kita coba tengok ke belakang, momentum kemenangan Joko Widodo, baik di Pemilihan Gubernur DKI 2012 maupun Pemilihan Presiden 2014, banyak diperankan oleh kaum muda. Peran pemilih mula dan muda yang notabene juga representasi dari kelas menengah juga telah membawa arus komodifikasi dari demokrasi.
Mereka membawa dunia digital sebagai bagian dari demokratisasi. Lihat saja bagaimana para pendukung kedua kubu, antara Prabowo dan Jokowi, misalnya dalam pemilihan Presiden 2014. Mereka melakukan kampanye melalui media sosial. Puncaknya dengan konser dua jari yang dilakukan oleh Jokowi menjelang pemungutan suara pemilihan presiden yang dinilai banyak pihak menjadi pemicu orang kemudian berbondongbondong memberikan pilihannya ke Jokowi.
Peran Dunia Digital
Perkembangan dunia digital dengan maraknya penggunaan media sosial turut mengubah wajah demokrasi di negeri ini. Kaum muda banyak mengambil peran di perkembangan dunia digital ini, termasuk dalam konteks memanfaatkan jejaring dunia maya sebagai upaya menggalang gerakan untuk perubahan.
Sebuah buku berjudul ” Grown Up Digital”, karyaDon Tapscott (2008) menguatkan bagaimana pengaruh dunia maya dalam menggerakkan gerakan dan perubahan. Pengalaman pada pemilihan presiden di Amerika Serikat menjadi salah satu latar belakang dari penulisan buku tersebut.
Buku ini sebenarnya hasil dari proyek penelitian untuk mempelajari fenomena The Net Generation, generasi kaum muda yang sadar akan internet di 12 negara dalam tiga benua. Buku ini ditulis bersamaan dengan pertarungan Obama dan Hillary Clinton dalam konvensi Demokrat menuju Pilpres Amerika 2008. Melihat pemetaan kekuatan, semua tahu Hillary sudah satu langkah di depan.
Clinton sudah berhasil menghimpun dana besar sekali dan mengumpulkan barisan pendukung yang luar biasa, serta sebuah tim konsultan gaya lama yang sangat berpengalaman dengan keterampilan memanipulasi media. Tim konsultan gaya lama ini perlu digaris tebal, yang membedakan dengan apa yang dilakukan Obama. Obama merekrut anak muda bernama Chris Hughes yang waktu itu berusia 23 tahun.
Hughes jelas mewakili profil Net Generation. Hughes merupakan arsitek kemenangan Obama, sebagai direktur pengorganisasian urusan online. Dia mengatakan, ”jika Obama ingin menang, dia memerlukan kampanye yang didukung banyak orang. Dan, tidak ada cara lain untuk melakukannya selain internet”.
Upaya-upaya online yang diorganisasikan oleh Hughes yang berpusat di my.barackobama.com mengubah cara politik dimainkan di internet (online) maupun darat (offline). Alat-alat digital yang digunakan pada situs jejaring sosial membantu membentuk komunitas online beranggotakan lebih dari 1 juta orang.
Perubahan paling signifikan adalah pesan kampanye tidak dikendalikan dari markas besar kampanye seperti yang masih dilakukan dalam kampanye tradisional (politik dari atas ke bawah), melainkan memberi tiap individu dalam komunitas online untuk mengorganisasikan diri dalam berbagi informasi, pembentukan pawai-pawai, sampai penggalangan dana.
Sifat dari kampanye ini lebih pada cara-cara CrowdSourcing dan CrowdFundingyang tentu saja menjadi kekuatan luar biasa, gambaran spektakuler tentang kekuatan NetGener yang mampu menggagalkan konvensi, menggulingkan otoritas, dan berpotensi mengubah dunia.
Hughes adalah seorang cracker yang membuat retakan baru seperti yang pernah ditulis oleh Rhenald Kasali dalam Cracking Zone. Politik tidak akan pernah sama seperti dahulu. Generasi internet sedang berubah menjadi sebuah mesin raksasa politik di abad ke-21, menyapu habis model politik broadcast konvensional dengan gaya kerja ”kalian memilih, kami memerintah.” Ini tentu saja mengubah sifat dasar demokrasi itu sendiri. Fenomena ini disebut sebagai Demokrasi 2.0, demokrasi yang digerakkan oleh generasi internet.
Politik Kaum Muda
Tentu membaca politik kaum muda tidak akan bisa lepas dari bagaimana perilaku politik mereka saat ini. Mengomunikasikan kampanye politik dengan dunia digital, dunia yang berdekatan dengan kaum muda, adalah sebuah keniscayaan.
Perubahan-perubahan politik tidak akan cukup hanya berdiskusi dilorong-lorong gelap. Apalagi kecenderungan saat inibudaya membaca menjadi problem besar bagi bangsa ini. Nah, melakukan pendekat-an dengan media sosial, duniamaya, untuk memberikan pendidikan politik bagi kaum muda, yang rata-rata berperan sebagai netizen, adalah sebuah keharusan sekaligus kebutuhan politik.
Bagaimanapun demokrasi bukanlah barang sekadar jadi, namun demokrasi juga harus dibangun pada basis-basis kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kebutuhan kaum muda adalah perubahan yang cepat, rasional, dan tentu saja bisa merepresentasikan kepentingan politik mereka. Media sosial adalah kekuatan politik baru yang me-nyimpan energi besar untuk melahirkan perubahan.
Gelombang demokratisasi di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir juga tidak lepas dari fenomena media sosial. Meski demikian, media sosial dan dunia maya sekadar alat, instrumen. Demokrasi digital adalah jawaban dan media bagi kerja-kerja politik untuk membangun relasi dengan pemilih mula dan muda.
Ini tradisi baru dalam berpolitik meski tidak akan menggantikan pada nilai-nilai politik itu sendiri yang tetap merajut kepercayaan dan kejujuran demi terwujudnya sebuah keadilan dan kesejahteraan.
Anna Luthfie
Ketua Bidang Pemuda DPP Partai Perindo
(ftr)