Buburuh di Hari Buruh
A
A
A
Buruh dalam pemahaman orang Sunda dapat dimaknai sebagai upah atau bayaran. Kata itu sering terdengar ketika menyuruh anak-anak untuk melakukan sesuatu, sering terungkap kalimat, ”sok, engké diburuhan” (silakan, nanti diberi upah).
Kata buruhan (diupah) lebih mencerminkan ihwal yang bersifat sekadarnya atau seadanya, tidak memiliki standardisasi berapa nilai yang harus diberikan. Hubungan yang memberi buruh /upah dengan yang diburuhan lebih bersifat hubungan emosional, yang bersifat sukarela dan didasarkan pada faktor kedekatan. Upah yang diberikan bersifat sangat subjektif, bergantung kualifikasi personal si pemberi upah.
Kalau pemberi upahnya memiliki sifat yang murah hati, seringkali upahnya sangat tinggi dan yang diupahnya pun tidak diberi beban yang begitu berat. Sebaliknya, apabila sang pemberi upah punya penyakit pelit, memberi upahnya pun biasanya kecil dan pekerjaannya kadang-kadang melebihi kapasitas yang diberi upah. Proses hubungan timbal balik yang bersifat subjektif tersebut berlangsung dalam dunia buburuh di perdesaan sampai saat ini.
Seorang buruh tani memiliki jam kerja selama sabedug (waktu pagi hingga zuhur). Buruh tani memulai pekerjaan dengan sarapan pagi satu gelas kopi dan makanan pengganjal perut seperti goreng pisang, goreng singkong, atau goreng ubi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan kalori bagi seorang buruh tani. Itu pun kalau yang punya sawahnya baik. Kalau pelit, ya kelasnya di bawah itu.
Pada pukul 10.00 WIB mereka dianteuran (diantarkan makanan) untuk mendapatkan makan yang berisi nasi, ikan, sambal, dan lalap ala makan perdesaan. Mereka makan di saung (gubuk kecil di sawah) setelah badannya bercucuran keringat. Ketika makan, mereka makan sambil ngobrol dengan pemilik sawah diiringi oleh semilir angin dan gemericik air laksana musik abadi.
Burungburung berkicau, bersembunyi di balik rimbunnya daun seakan ingin memberikan ketegasan bahwa akulah vokalis sejati. Gelak tawa seringkali membelah suasana, di tengah-tengah senda gurau penganan apa adanya. Biasanya mereka bercerita tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kampungnya, dari mulai cerita tentang tetangga sampai politik kekuasaan ala perdesaan.
Dengan penutup kalimat yang sering terucap, ”urang mah kumaha nu dibendo wé” (terserah penguasa), betapapun mereka kecewa terhadap keadaan politik dan kekuasaan, pada akhirnya mereka pasrah pada yang dibendo, diiket, diblankon, dipeci (penguasa). Tak ada sedikit pun watak pemberontakan dalam pikiran kaum tani perdesaan.
Pada waktu tengah hari sekitar pukul 12.00, yang ditandai dengan beduk zuhur, mereka menghentikan seluruh kegiatan buburuhnya (kuli). Mereka kembali ke rumahnya setelah sebelumnya mandi di pancuran atau di sungai, membersihkan seluruh tubuhnya yang berbalut tanah. Siang hari berbagai aktivitas mereka lakukan setelah selesai melaksanakan salat zuhur.
Ada yang pergi ke kebun, ada yang menyabit rumput untuk ternak peliharaannya, ada yang pergi mencari ikan ke sungai. Sore hari, pemilik sawah atau ladang mengantar makanan ke rumahnya sebagai ungkapan terima kasih atas seluruh energi yang telah dicurahkan oleh para kuli macul (kuli cangkul) dari pagi sampai siang. ***
Apabila kita mencermati hal tersebut, betapa hubungan antara pemberi pekerjaan dan pekerjanya terbangun secara harmonis, dari mulai pemberian makan sebanyak dua kali plus satu kali ngopi, komunikasi yang berjalan secara harmonis sampai waktu bekerja yang hanya enam jam dipotong satu kali istirahat, kurang lebih setengah jam.
Realitas tersebut mengalahkan sistem perburuhan yang berjalan hari ini, di mana jumlah jam kerja sebanyak delapan jam dikurangi satu jam istirahat, plus jatah makan yang hanya sekali dalam sehari. Itu pun banyak perusahaan yang tidak menyiapkan makan atau perusahaan mengurangi asupan gizi yang harus diberikan kepada para karyawannya.
Spirit buruh dan majikan dalam sistem perburuhan modern menjadi spirit yang berhadapan antara kaum kapitalis dan kaum proletar. Kaum kapitalis melakukan penguatan relasi dengan kekuasaan untuk memperkuat basis tawarnya sebagai lembaga kapital yang terorganisasi.
Sedangkan kaum proletar (buruh) melakukan konsolidasi yang bersifat gerakan massa untuk melakukan penekanan agar seluruh keringat bahkan darahnya dapat dihitung secara manusiawi untuk mendapatkan hak-hak kesejahteraan. Peristiwa Hari Buruh atau yang lebih dikenal dengan May Day seringkali menjadi kenduri yang menegangkan. Suasana terbangun mencekam, seolah terjadi gelombang manusia yang ingin memperlihatkan kekuatannya kepada dunia.
Ma Icih tersenyum ketika mendengar komentar seorang tokoh buruh yang berapi- api menyuarakan seluruh tuntutan yang menjadi aspirasi perjuangannya. Dengan senyum dikulum Ma Icih berkata, ”Asa ku teu ngarti aing mah” (saya agak kurang mengerti). Katanya tokoh buruh mewakili orang susah, tapi rambutnya klimis, mukanya bersih, kelihatan orang yang suka ke salon, badannya kelihatan subur, penuh gizi dan vitalitas.
Katanya akan menyampaikan tuntutan buruhnya agar didengar oleh Presiden, tapi di lain waktu dia bercerita sering ketemu Presiden. Kata Ema yang bodoh, kalau memang sering ketemu dan sering ngobrol sama Presiden, kenapa harus ngerahin orang segala?” Mang Udin menimpali sambil menggosok- gosokkan batu ali kesayangannya, ”Bener Icih, kadang-kadang Aki juga suka tidak ngerti sama kelakuan tokoh-tokoh palinter (pandai).
Membahas masalah kemiskinan, rapatnya di hotel berbintang. Membahas swasembada pangan, rapatnya di gedung perkantoran. Malahan hari kemarin, Aki harus rapat di Bandung dengan para penyuluh, Aki dinasehatin bagaimana cara bertani yang bagus oleh orang pintar. Nasihatnya pakai laptop, melihatnya di layar, seperti nonton film aja.
Dilihat oleh Aki, tangannya mulus, kakinya bersih, mukanya putih, berbicara penuh dengan semangat, dasi meni panjang ngagebay (panjang menjurai).” Si Ikin, tetangga Mang Udin, yang kebetulan datang sambil bersiul, ikut berbicara sambil ketawa-ketiwi, ”Betul sekali Aki, Nini apa yang diomongkan. Dipikir-pikir, buruh yang terorganisasi banyak yang membela dan memperjuangkannya, tapi kuli cuci pakaian, kuli masak, kuli ngasuh anak, buruh tani, siapa yang memperjuangkannya? Kalau sakit, siapa yang mengobati?
Kalau terkena golok, siapa yang ngurus? Nanti kalau sudah tua tidak bisa jadi buruh, siapa yang ngasih upah? Ah , dalam hal ini saya dan kerabat tukang kuli, tapi bukan, tidak ada harinya. Katanya Hari Buruh, tapi tetap saja kuli nyangkul, istri saya harus kuli nyuci pakaian sebab kalau tidak kuli, tidak akan punya upah.
Tidak ada yang menjamin, yang menjanjikan menjaminnya hanya datang lima tahun sekali, hanya diupah kaos tipis. Dari mulai pemilihan sampai sekarang, tidak pernah nongol, lantaran selalu ribut saja di Jakarta. Enggak tahu memperebutkan apa.”
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
Kata buruhan (diupah) lebih mencerminkan ihwal yang bersifat sekadarnya atau seadanya, tidak memiliki standardisasi berapa nilai yang harus diberikan. Hubungan yang memberi buruh /upah dengan yang diburuhan lebih bersifat hubungan emosional, yang bersifat sukarela dan didasarkan pada faktor kedekatan. Upah yang diberikan bersifat sangat subjektif, bergantung kualifikasi personal si pemberi upah.
Kalau pemberi upahnya memiliki sifat yang murah hati, seringkali upahnya sangat tinggi dan yang diupahnya pun tidak diberi beban yang begitu berat. Sebaliknya, apabila sang pemberi upah punya penyakit pelit, memberi upahnya pun biasanya kecil dan pekerjaannya kadang-kadang melebihi kapasitas yang diberi upah. Proses hubungan timbal balik yang bersifat subjektif tersebut berlangsung dalam dunia buburuh di perdesaan sampai saat ini.
Seorang buruh tani memiliki jam kerja selama sabedug (waktu pagi hingga zuhur). Buruh tani memulai pekerjaan dengan sarapan pagi satu gelas kopi dan makanan pengganjal perut seperti goreng pisang, goreng singkong, atau goreng ubi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan kalori bagi seorang buruh tani. Itu pun kalau yang punya sawahnya baik. Kalau pelit, ya kelasnya di bawah itu.
Pada pukul 10.00 WIB mereka dianteuran (diantarkan makanan) untuk mendapatkan makan yang berisi nasi, ikan, sambal, dan lalap ala makan perdesaan. Mereka makan di saung (gubuk kecil di sawah) setelah badannya bercucuran keringat. Ketika makan, mereka makan sambil ngobrol dengan pemilik sawah diiringi oleh semilir angin dan gemericik air laksana musik abadi.
Burungburung berkicau, bersembunyi di balik rimbunnya daun seakan ingin memberikan ketegasan bahwa akulah vokalis sejati. Gelak tawa seringkali membelah suasana, di tengah-tengah senda gurau penganan apa adanya. Biasanya mereka bercerita tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kampungnya, dari mulai cerita tentang tetangga sampai politik kekuasaan ala perdesaan.
Dengan penutup kalimat yang sering terucap, ”urang mah kumaha nu dibendo wé” (terserah penguasa), betapapun mereka kecewa terhadap keadaan politik dan kekuasaan, pada akhirnya mereka pasrah pada yang dibendo, diiket, diblankon, dipeci (penguasa). Tak ada sedikit pun watak pemberontakan dalam pikiran kaum tani perdesaan.
Pada waktu tengah hari sekitar pukul 12.00, yang ditandai dengan beduk zuhur, mereka menghentikan seluruh kegiatan buburuhnya (kuli). Mereka kembali ke rumahnya setelah sebelumnya mandi di pancuran atau di sungai, membersihkan seluruh tubuhnya yang berbalut tanah. Siang hari berbagai aktivitas mereka lakukan setelah selesai melaksanakan salat zuhur.
Ada yang pergi ke kebun, ada yang menyabit rumput untuk ternak peliharaannya, ada yang pergi mencari ikan ke sungai. Sore hari, pemilik sawah atau ladang mengantar makanan ke rumahnya sebagai ungkapan terima kasih atas seluruh energi yang telah dicurahkan oleh para kuli macul (kuli cangkul) dari pagi sampai siang. ***
Apabila kita mencermati hal tersebut, betapa hubungan antara pemberi pekerjaan dan pekerjanya terbangun secara harmonis, dari mulai pemberian makan sebanyak dua kali plus satu kali ngopi, komunikasi yang berjalan secara harmonis sampai waktu bekerja yang hanya enam jam dipotong satu kali istirahat, kurang lebih setengah jam.
Realitas tersebut mengalahkan sistem perburuhan yang berjalan hari ini, di mana jumlah jam kerja sebanyak delapan jam dikurangi satu jam istirahat, plus jatah makan yang hanya sekali dalam sehari. Itu pun banyak perusahaan yang tidak menyiapkan makan atau perusahaan mengurangi asupan gizi yang harus diberikan kepada para karyawannya.
Spirit buruh dan majikan dalam sistem perburuhan modern menjadi spirit yang berhadapan antara kaum kapitalis dan kaum proletar. Kaum kapitalis melakukan penguatan relasi dengan kekuasaan untuk memperkuat basis tawarnya sebagai lembaga kapital yang terorganisasi.
Sedangkan kaum proletar (buruh) melakukan konsolidasi yang bersifat gerakan massa untuk melakukan penekanan agar seluruh keringat bahkan darahnya dapat dihitung secara manusiawi untuk mendapatkan hak-hak kesejahteraan. Peristiwa Hari Buruh atau yang lebih dikenal dengan May Day seringkali menjadi kenduri yang menegangkan. Suasana terbangun mencekam, seolah terjadi gelombang manusia yang ingin memperlihatkan kekuatannya kepada dunia.
Ma Icih tersenyum ketika mendengar komentar seorang tokoh buruh yang berapi- api menyuarakan seluruh tuntutan yang menjadi aspirasi perjuangannya. Dengan senyum dikulum Ma Icih berkata, ”Asa ku teu ngarti aing mah” (saya agak kurang mengerti). Katanya tokoh buruh mewakili orang susah, tapi rambutnya klimis, mukanya bersih, kelihatan orang yang suka ke salon, badannya kelihatan subur, penuh gizi dan vitalitas.
Katanya akan menyampaikan tuntutan buruhnya agar didengar oleh Presiden, tapi di lain waktu dia bercerita sering ketemu Presiden. Kata Ema yang bodoh, kalau memang sering ketemu dan sering ngobrol sama Presiden, kenapa harus ngerahin orang segala?” Mang Udin menimpali sambil menggosok- gosokkan batu ali kesayangannya, ”Bener Icih, kadang-kadang Aki juga suka tidak ngerti sama kelakuan tokoh-tokoh palinter (pandai).
Membahas masalah kemiskinan, rapatnya di hotel berbintang. Membahas swasembada pangan, rapatnya di gedung perkantoran. Malahan hari kemarin, Aki harus rapat di Bandung dengan para penyuluh, Aki dinasehatin bagaimana cara bertani yang bagus oleh orang pintar. Nasihatnya pakai laptop, melihatnya di layar, seperti nonton film aja.
Dilihat oleh Aki, tangannya mulus, kakinya bersih, mukanya putih, berbicara penuh dengan semangat, dasi meni panjang ngagebay (panjang menjurai).” Si Ikin, tetangga Mang Udin, yang kebetulan datang sambil bersiul, ikut berbicara sambil ketawa-ketiwi, ”Betul sekali Aki, Nini apa yang diomongkan. Dipikir-pikir, buruh yang terorganisasi banyak yang membela dan memperjuangkannya, tapi kuli cuci pakaian, kuli masak, kuli ngasuh anak, buruh tani, siapa yang memperjuangkannya? Kalau sakit, siapa yang mengobati?
Kalau terkena golok, siapa yang ngurus? Nanti kalau sudah tua tidak bisa jadi buruh, siapa yang ngasih upah? Ah , dalam hal ini saya dan kerabat tukang kuli, tapi bukan, tidak ada harinya. Katanya Hari Buruh, tapi tetap saja kuli nyangkul, istri saya harus kuli nyuci pakaian sebab kalau tidak kuli, tidak akan punya upah.
Tidak ada yang menjamin, yang menjanjikan menjaminnya hanya datang lima tahun sekali, hanya diupah kaos tipis. Dari mulai pemilihan sampai sekarang, tidak pernah nongol, lantaran selalu ribut saja di Jakarta. Enggak tahu memperebutkan apa.”
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ftr)