Menyambut Poros Maritim, Membuka Gerbang Pasifik
A
A
A
Hendrik Kawilarang Luntungan
Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Indonesia,
Alumnus The Australian National University
Dalam pidatonya di hadapan kepala-kepala negara Asia-Afrika dalam acara pembukaan Konferensi Asia-Afrika Presiden Jokowi menyerukan solidaritas baru Asia-Afrika di bidang ekonomi.
Salah satu sektor kerja sama yang menjadi fokus Presiden Jokowi adalah memosisikan Indonesia sebagai negara maritim, poros yang menjamin konektivitas benua Asia dan Afrika. Sejak masa kampanye, Jokowi berkali-kali mengulang kata ”poros maritim dunia”. Tentu konsep itu bukan datang begitu saja. Ini dilatari oleh apa yang disebutnya ”telah lama kita memunggungi laut.”
Itu telah lama ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya berjudul Arus Balik. ”Ketika penguasa mengabaikan kekuatan di laut maka nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan ambruk entah sampai berapa keturunan,” demikian tulis Pram.
Core National Interest
Sudah banyak kajian bahkan kebijakan maritim yang mendahului konsep Presiden Jokowi serta tak kalah banyak konsep maritim yang lahir setelah itu. Namun, sejak era Soekarno sampai hari ini tidak ada yang benar-benar bisa mengembalikan kejayaan laut Nusantara.
Seiring jatuhnya Selat Malaka, ditutup pula sejarah emas kerajaan maritim Nusantara. Sultan Hamengkubuwono X menuliskan: ”Arus utara memukul kita mundur sangat jauh, bahkan sampai ke desa dan pedalaman diri dan nurani kita.” Masa yang oleh Anthony Reid disebut sebagai ”The Age of Commerce ” di Asia Tenggara itulah yang selalu menjadi penyemangat bangsa ini untuk kembali menjadi poros maritim dunia.
Namun, proposal Presiden Jokowi dalam Konferensi Asia-Afrika tentang poros maritim Asia-Afrika tampaknya tidak dengan mudah terwujud. Negara-negara Asia dan Afrika tidak lagi sama dengan 60 tahun lalu. Apalagi sebagian dari mereka adalah negara-negara yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi terbaik.
China, India, dan Afrika Selatan adalah contohnya. Di tengah nilai tukar rupiah yang semakin melemah terhadap dolar Amerika, rasanya pidato Presiden Jokowi lebih terdengar seperti tindakan penyelamatan ketimbang ajakan solidaritas yang optimistis.
Intinya, Jokowi harus membenahi beberapa pekerjaan rumah, termasuk di dalamnya menjadikan ambisi Poros Maritim sebagai core national interest Indonesia. Dari sana perencanaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya dibangun. Karena ”memunggungi laut” hari ini, bukan lagi soal visi pemerintahan, melainkan juga secara mental, kita sudah lama meninggalkan laut.
Prasyarat Poros Maritim
Pekerjaan rumah Jokowi sangat besar dan mahal. Meski secara geografis Indonesia sangat memenuhi syarat untuk menjadi poros maritim, Indonesia belum memiliki armada laut yang besar. Ini yang disebut Wiranggaleng, tokoh dalam Arus Balik, sebagai ”makin lama kapal kita akan semakin kecil, untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.
”Seiring dengan bangkitnya ekonomi Asia dan Afrika, Selat Malaka akan semakin padat .Sekarang saja ada sekitar 60.000 kapal melintasi Selat Malaka atau dua kali lipat dari Terusan Suez. Namun, sangat disayangkan, kapal-kapal yang melintas itu singgah di Singapura dan Tanjung Pelepas yang baru dibangun oleh Malaysia.
Yang lebih miris, dari jumlah kapal yang melintas dan beroperasi di perairan Indonesia, sebanyak 90% milik asing. Prasyarat kedua tentu adalah membangun kembali pelabuhan- pelabuhan dengan standar internasional. Yang paling pertama harus dilakukan adalah menetapkan prioritas pembangunan pelabuhan di titik strategis secara geografis dan ekonomi politik.
Baru kemudian diperkuat dengan manajemen pelabuhan yang baik, tenaga kerja ahli dan akhirnya adalah dukungan teknologi maritim dan pelabuhan yang baik. Ketika jumlah kapal sudah ada, pelabuhan telah dibangun, pada saat bersamaan, membangun kebudayaan maritim.
Hilmar Farid dalam pidato kebudayaannya berjudul ”Arus Balik Kebudayaan” menjelaskan ”ini sejatinya ini adalah masalah kebudayaan, bukan mengembalikan kebudayaan yang hilang, tapi bagaimana menghidupkan kembali kemampuan, sistem pengetahuan, cara pandang dan cara hidup”.
Membuka Gerbang Pasifik
Salah satu hal penting dalam menyambut proposal Jokowi adalah bagaimana Selat Malaka yang semakin padat bisa memberi keuntungan bagi Indonesia. Jokowi dan timnya memiliki tugas besar agar kepadatan Selat Malaka terasa sampai ke Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Salah satu yang membuat ekonomi kita bertumpu di barat adalah kepadatan lalu lintas laut di Selat Malaka. Barang-barang datang langsung ke Pelabuhan Singapura dengan mother vessel lalu dibawa oleh feeder vessel ke Tanjung Priok. Baru setelah itulah didistribusikan ke bagian negeri yang lain.
Dengan kondisi itu, wajar saja ketimpangan barat dan timur semakin jauh. Bangsa ini harus bisa memindahkan kepadatan tersebut kebagian timur negeri ini. Salah satu yang harus didukung adalah dibuka hub internasional di wilayah timur negeri ini. Dari beberapa opsi yang ada, Bitung diyakini sebagai titik strategis pembangunan pelabuhan internasional.
Selain memenuhi syarat sebagai pelabuhan alam internasional, juga karena Bitung terletak persis di bibir Samudera Pasifik. Ketika gerbang Pasifik kita buka, Timur bisa mengejar ketertinggalan saudara sebangsa di Barat. Maka itu, kedaulatan teritori dan kedaulatan budaya sebagai poros maritim dunia bisa diwujudkan.
Wakil Sekjen DPP Partai Persatuan Indonesia,
Alumnus The Australian National University
Dalam pidatonya di hadapan kepala-kepala negara Asia-Afrika dalam acara pembukaan Konferensi Asia-Afrika Presiden Jokowi menyerukan solidaritas baru Asia-Afrika di bidang ekonomi.
Salah satu sektor kerja sama yang menjadi fokus Presiden Jokowi adalah memosisikan Indonesia sebagai negara maritim, poros yang menjamin konektivitas benua Asia dan Afrika. Sejak masa kampanye, Jokowi berkali-kali mengulang kata ”poros maritim dunia”. Tentu konsep itu bukan datang begitu saja. Ini dilatari oleh apa yang disebutnya ”telah lama kita memunggungi laut.”
Itu telah lama ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya berjudul Arus Balik. ”Ketika penguasa mengabaikan kekuatan di laut maka nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan ambruk entah sampai berapa keturunan,” demikian tulis Pram.
Core National Interest
Sudah banyak kajian bahkan kebijakan maritim yang mendahului konsep Presiden Jokowi serta tak kalah banyak konsep maritim yang lahir setelah itu. Namun, sejak era Soekarno sampai hari ini tidak ada yang benar-benar bisa mengembalikan kejayaan laut Nusantara.
Seiring jatuhnya Selat Malaka, ditutup pula sejarah emas kerajaan maritim Nusantara. Sultan Hamengkubuwono X menuliskan: ”Arus utara memukul kita mundur sangat jauh, bahkan sampai ke desa dan pedalaman diri dan nurani kita.” Masa yang oleh Anthony Reid disebut sebagai ”The Age of Commerce ” di Asia Tenggara itulah yang selalu menjadi penyemangat bangsa ini untuk kembali menjadi poros maritim dunia.
Namun, proposal Presiden Jokowi dalam Konferensi Asia-Afrika tentang poros maritim Asia-Afrika tampaknya tidak dengan mudah terwujud. Negara-negara Asia dan Afrika tidak lagi sama dengan 60 tahun lalu. Apalagi sebagian dari mereka adalah negara-negara yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi terbaik.
China, India, dan Afrika Selatan adalah contohnya. Di tengah nilai tukar rupiah yang semakin melemah terhadap dolar Amerika, rasanya pidato Presiden Jokowi lebih terdengar seperti tindakan penyelamatan ketimbang ajakan solidaritas yang optimistis.
Intinya, Jokowi harus membenahi beberapa pekerjaan rumah, termasuk di dalamnya menjadikan ambisi Poros Maritim sebagai core national interest Indonesia. Dari sana perencanaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya dibangun. Karena ”memunggungi laut” hari ini, bukan lagi soal visi pemerintahan, melainkan juga secara mental, kita sudah lama meninggalkan laut.
Prasyarat Poros Maritim
Pekerjaan rumah Jokowi sangat besar dan mahal. Meski secara geografis Indonesia sangat memenuhi syarat untuk menjadi poros maritim, Indonesia belum memiliki armada laut yang besar. Ini yang disebut Wiranggaleng, tokoh dalam Arus Balik, sebagai ”makin lama kapal kita akan semakin kecil, untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.
”Seiring dengan bangkitnya ekonomi Asia dan Afrika, Selat Malaka akan semakin padat .Sekarang saja ada sekitar 60.000 kapal melintasi Selat Malaka atau dua kali lipat dari Terusan Suez. Namun, sangat disayangkan, kapal-kapal yang melintas itu singgah di Singapura dan Tanjung Pelepas yang baru dibangun oleh Malaysia.
Yang lebih miris, dari jumlah kapal yang melintas dan beroperasi di perairan Indonesia, sebanyak 90% milik asing. Prasyarat kedua tentu adalah membangun kembali pelabuhan- pelabuhan dengan standar internasional. Yang paling pertama harus dilakukan adalah menetapkan prioritas pembangunan pelabuhan di titik strategis secara geografis dan ekonomi politik.
Baru kemudian diperkuat dengan manajemen pelabuhan yang baik, tenaga kerja ahli dan akhirnya adalah dukungan teknologi maritim dan pelabuhan yang baik. Ketika jumlah kapal sudah ada, pelabuhan telah dibangun, pada saat bersamaan, membangun kebudayaan maritim.
Hilmar Farid dalam pidato kebudayaannya berjudul ”Arus Balik Kebudayaan” menjelaskan ”ini sejatinya ini adalah masalah kebudayaan, bukan mengembalikan kebudayaan yang hilang, tapi bagaimana menghidupkan kembali kemampuan, sistem pengetahuan, cara pandang dan cara hidup”.
Membuka Gerbang Pasifik
Salah satu hal penting dalam menyambut proposal Jokowi adalah bagaimana Selat Malaka yang semakin padat bisa memberi keuntungan bagi Indonesia. Jokowi dan timnya memiliki tugas besar agar kepadatan Selat Malaka terasa sampai ke Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Salah satu yang membuat ekonomi kita bertumpu di barat adalah kepadatan lalu lintas laut di Selat Malaka. Barang-barang datang langsung ke Pelabuhan Singapura dengan mother vessel lalu dibawa oleh feeder vessel ke Tanjung Priok. Baru setelah itulah didistribusikan ke bagian negeri yang lain.
Dengan kondisi itu, wajar saja ketimpangan barat dan timur semakin jauh. Bangsa ini harus bisa memindahkan kepadatan tersebut kebagian timur negeri ini. Salah satu yang harus didukung adalah dibuka hub internasional di wilayah timur negeri ini. Dari beberapa opsi yang ada, Bitung diyakini sebagai titik strategis pembangunan pelabuhan internasional.
Selain memenuhi syarat sebagai pelabuhan alam internasional, juga karena Bitung terletak persis di bibir Samudera Pasifik. Ketika gerbang Pasifik kita buka, Timur bisa mengejar ketertinggalan saudara sebangsa di Barat. Maka itu, kedaulatan teritori dan kedaulatan budaya sebagai poros maritim dunia bisa diwujudkan.
(bbg)