Antisipasi Efek Perlambatan Ekonomi Global

Senin, 20 April 2015 - 09:18 WIB
Antisipasi Efek Perlambatan...
Antisipasi Efek Perlambatan Ekonomi Global
A A A
Baru-baru ini Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan tentang World Economic Outlook yang menyatakan tren perlambatan ekonomi global masih akan terjadi hingga 2020.

Menurut Olivier Blanchard, Direktur Riset IMF, terdapat beragam faktor sangat kompleks yang membentuk arah perekonomian global. Mulai dari ancaman suku bunga di Amerika Serikat (AS) sampai ketegangan di Timur Tengah. Dari pelemahan harga komoditas dunia sampai volatilitas nilai tukar mata uang.

Pemulihan ekonomi global yang tadinya diperkirakan terjadi pascakrisis subprime-mortgage dan krisis utang Eropa ternyata memberikan bentuk yang berbeda antara negara maju dan negara emerging. Dalam laporannya, IMF memperkirakan rata-rata potensi pertumbuhan ekonomi negara maju untuk periode 2015-2020 sebesar 1,6%.

Proyeksi ini naik sedikit dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kelompok negara ini sepanjang tahun 2008-2014 sebesar 1,3%. Proyeksi rata-rata pertumbuhan 2015-2020 masih di bawah ratarata pertumbuhan ekonomi negara maju sebelum krisis 2001-2007, yaitu sebesar 2,25%. Sementara untuk kelompok negara emerging, IMF memproyeksikan rata-rata potensi pertumbuhan 2015- 2020 sebesar 5,2%.

Proyeksi ini jauh lebih rendah dari rata-rata realisasi pertumbuhan ekonomi negara emerging sepanjang tahun 2008-2014 yang sebesar 6,5%. Sementara untuk tahun 2015, IMF memperkirakan ratarata pertumbuhan ekonomi negara maju akan sedikit membaik menjadi 2,4%, dibandingkan dengan realisasi tahun lalu, 1,8%. Sementara kelompok negara emerging, kecuali India, justru menunjukkan arah berlawanan.

Apabila pada tahun lalu rata-rata per-tumbuhan ekonomi kelompok negara emerging tercatat 4,6%, tahun ini diperkirakan hanya sebesar 4,3%. Melemahnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang sangat dipengaruhi sejumlah faktor seperti melemahnya harga dan permintaan komoditas dunia, melemahnya pertumbuhan ekonomi China, menguatnya mata uang dolar AS, dan melemahnya konsumsi domestik.

Risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi global akan semakin meningkat apabila penyesuaian suku bunga oleh The Fed benar-benar dilakukan pada tahun ini. Tanpa adanya penyesuaian suku bunga The Fed, dampak pelemahan perekonomian global mulai kita rasakan di dalam negeri. Baru-baru ini Bank Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 5,2% dan di bawah target APBN-P sebesar 5,6%.

Bank Indonesia juga memperkirakan pertumbuhan kredit kuartal I 2015 hanya sebesar 11% dan jauh di bawah target awal 15-17%. Salah satu penyebab yang membuat target penyerapan kredit rendah adalah pelemahan konsumsi domestik. Indikator lain juga menarik kita cermati bersama di mana data dari Gaikindo yang menyebutkan realisasi penjualan kendaraan roda empat pada kuartal I 2015 turun sebesar 14- 15% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Melemahnya daya beli masyarakat menjadi faktor yang memicu penurunan realisasi penjualan automotif. Sejumlah laporan dan analisis juga menunjukkan perlambatan di sejumlah sektor lain seperti properti dan ritel seiring dengan perlambatan dunia usaha dan daya beli masyarakat akibat melemahnya daya beli, terbatasnya ruang ekspansi usaha di sektor mineral dan tambang, serta pelemahan harga komoditas ekspor Indonesia.

Pemerintah perlu secara komprehensif menyusun kebijakan untuk memitigasi dampak perlambatan perekonomian global. Menjaga daya beli masyarakat dan bergairahnya iklim dunia usaha perlu terus dijaga dan bahkan ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan target pajak sebesar 40,3% dari Rp1.058 triliun menjadi Rp1.484,6 triliun perlu tetap memperhatikan kondisi perekonomian dunia dan domestik saat ini.

Pada saat ini dunia usaha di dalam negeri justru sangat membutuhkan stimulus fiskal untuk terus berkembang dan terselamatkan dari dampak perlambatan ekonomi global dan regional. Tren perlambatan perekonomian global justru perlu direspons dengan kebijakan fiskal yang produnia usaha agar lapangan pekerjaan terus tersedia, pemanfaatan potensi ekonomi menjadi optimal, total output dan produksi nasional meningkat.

Pemerintah juga diharapkan dapat segera merealisasi rencana pembangunan infrastruktur yang dalam APBN-P 2015 mendapatkan porsi anggaran yang sangat besar. Pembangunan infrastruktur juga akan dapat mendorong bergairahnya dunia usaha baik yang terkait langsung maupun tidak langsung.

Kecepatan dan ketepatan (governance) penyerapan anggaran ABPN-P 2015 akan membantu perekonomian nasional untuk tetap berdaya tahan (resilience) dari perlambatan perekonomian global dan regional. Sektorsektor mulai dari jasa konstruksi, konsultan, besi dan baja, semen, produk-produk petrokimia sampai ke sektor pembiayaan dan jasa asuransi akan terdorong dengan adanya pengerjaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur di dalam negeri.

Sebaliknya, keterlambatan penyerapan anggaran dan pengerjaan proyek infrastruktur berarti akan mengurangi golden opportunity kita dalam menguatkan perekonomian nasional di tengah perlambatan ekonomi global. Mengingat pembentukan produk domestik bruto (PDB) kita mayoritas dikontribusi oleh konsumsi domestik, menjaga daya beli masyarakat perlu menjadi prioritas nasional di tengah perlambatan perekonomian dunia.

Daya beli masyarakat sangat dipengaruhi ketersediaan lapangan kerja, selain juga oleh harga kebutuhan pokok. Tidak kurang terdapat 56 juta unit usaha atau 99% bentuk usaha nasional adalah sektor UMKM yang 55 juta di antaranya adalah sektor mikro. Oleh karenanya menjadi semakin penting bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk terus meningkatkan aksesibilitas keuangan, peningkatan kemampuan produksi, dan akses pasar bagi sektor UMKM.

Data BPS, Januari 2014, menyebutkan bahwa sektor ini menyerap tidak kurang 107 juta orang yang terlibat secara produktif di sektor ini. Menjaga sektor ini terus berkembang akan berdampak sangat besar terhadap daya tahan perekonomian domestik di tengah turbulensi perekonomian global.

Kita tentu optimistis, pengalaman melalui turbulensi perekonomian global akibat krisis subprime-mortgage di AS pada 2008 merupakan modal berharga menghadapi situasi perekonomianduniasaat ini. Meskipun sempat melemah pada 2009 sebesar 4,5%, pada 2010 ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1% dan meningkat lagi menjadi 6,5% pada 2011.

Saat ini dengan percepatan pembangunan infrastruktur, jika diimbangi dengan kebijakan yang produnia usaha dan menjaga daya beli masyarakat, pertumbuhan ekonomi nasional ke depannya tidak hanya lebih berkelanjutan, tetapi juga akan lebih berkualitas. Dengan demikian perlambatan perekonomian global akan termitigasi secara baik.

Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina, Guru Besar FEB Universitas Indonesia
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0524 seconds (0.1#10.140)