Deudeuh Teuing
A
A
A
Deudeuh dalam bahasa Indonesia memiliki makna ”sayang”. Kata deudeuh sering diucapkan dalam cerita wayang Rahwana Gandrung, di mana Rahwana mengalami mabuk kepayang karena kecintaan yang tiada batas kepada Dewi Sinta.
Dalang Cecep Supriadi, maestro dalang wayang golek asal Karawang, merupakan sosok dalang yang paling piawai mengekspresikan kegandrungan Rahwana yang ingin memersunting Dewi Sinta, yang berujung maut dalam kisah Ramayana. Kegagahan dan keperkasaan Rahwana berujung pada penderitaan, di mana seluruh kekuatan kerajaannya dihancurkan oleh pasukan Sri Rama yang dipimpin oleh Hanoman Perbancanasuka.
Ditambah terjadi pengkhianatan yang dilakukan adiknya sendiri, Gunawan Wibiksana, yang lari berpihak kepada Sri Rama karena kekecewaannya pada Rahwana yang mengumbar nafsu berahinya dengan mengorbankan negara dan seluruh rakyat kerajaannya.
Gunawan Wibiksana beralih pada kekuatan musuh bukan sebagai sebuah pengingkaran, melainkan sebagai titah Dewa yang telah mendapat restu dari Ibu Sukesih, ibu kandungnya sendiri. Pengembaraan cinta Rahwana bukan tanpa dasar, tetapi sebagai bagian konsistensi seorang manusia untuk mempertahankan satu cinta dari 10 wajah yang dimilikinya.
Sinta merupakan satu-satunya wanita yang dicintai Rahwana. Tak ada satu pun wanita yang mampu menggantikan kebahagiaan yang membara dalam dirinya dan Sinta merupakan wanita yang dijanjikan oleh Dewa untuk menjadi pasangan hidup Rahwana. Tak ada yang salah bagi Rahwana untuk memperjuangkan cinta yang diyakininya walau harus mengorbankan seluruh negara dan seisinya.
Pengembaraan cinta yang berujung pada maut dan kehancuran ini telah melahirkan sosok pahlawan yang bernama Kumbakarna, yang telah mengorbankan tangan kirinya, tangan kanannya, mata kirinya, mata kanannya, hidungnya, telinga kiri dan kanannya, serta kaki kiri dan kaki kanannya sampai berujung pada kematian yang penuh dengan kebahagiaan dalam kisah heroik kepahlawanan dengan judul ”Kumbakarna Gugur”.
Kisah heroik ini sangat fantastik diekspresikan oleh maestro wayang golek ternama almarhum Asep Sunandar Sunarya. Sikap heroik kepahlawanan dalam kisah-kisah perjuangan tidak mesti ada pada pihak yang dianggap benar saja, pihak yang dianggap salah pun memiliki hak menjadi seorang superhero pembawa kebenaran sehingga nalar kebenaran tidak mesti hanya ada pada satu pihak.
Nalar kebenaran ada pada kedua belah pihak, yang secara substantif berada pada sisi niat yang ada dalam setiap hatinya. Kegandrungan Rahwana melahirkan energi cinta yang tiada habisnya untuk diceritakan. Sujiwo Tedjo merupakan sosok dalang yang begitu mengagungkan cinta Rahwana kepada Sinta, bahkan cinta yang diagungkan itu harus ada dalam setiap hati seorang pemimpin.
Dalam pertunjukan Drama Tari Wayang Bubat yang digelar Sabtu, 11 April 2015 di Purwakarta, Sujiwo Tedjo berkata, ”Pemimpin yang tidak memiliki cinta sebaiknya mundur dari jabatannya karena pemimpin yang tidak memiliki cinta akan mengalami kekeringan dalam seluruh energi perbuatannya.”
Kekeringan itu melahirkan produk-produk kebijakan negara yang tanpa rasa sehingga seluruh hal yang diperbuatnya menjadi tumpukan barang mati yang tidak memiliki energi transendensi bagi generasi berikutnya. Sifat kematian rasa biasanya hanya melahirkan watak eksploitatif karena memandang seluruh barang yang dieksploitasi adalah benda mati tanpa nyawa. ***
Pembangunan tanpa energi rasa, tumpukan gedung, aliran sungai, jaringan jalan, listrik, air bersih, sarana transportasi darat, laut dan udara, menjadi barang-barang yang tak bernyawa sehingga terjadi kematian peradaban di seluruh kehidupan, seolah seluruh kehidupan itu ada, tetapi sebenarnya tiada.
Ketiadaannya dapat dilihat dari hilangnya perasaan para pengendara, hilangnya perasaan para pengusaha, hilangnya perasaan para buruh, hilangnya perasaan para petani, dan hilangnya perasaan awak media. Hilangnya seluruh perasaan manusia, benda, dan perangkat teknologi telah melahirkan hidup tanpa warna, setiap orang tak lagi memiliki sensitivitas.
Hilangnya sensitivitas akan melahirkan kematian massal dalam sebuah negara. Itulah kematian cinta seorang pemimpin, akan berakhir dramatis dalam pola kepemimpinan negaranya. Gelora cinta Rahwana, walaupun dianggap sebagai sebuah kefatalan dalam cinta, telah melahirkan energi besar bagi seorang Kumbakarna untuk menjadi pahlawan sejati bagi bangsanya.
Kematian Rahwana dalam ujung pengembaraan cintanya telah melahirkan energi ruh yang terus bergelora yang akan mampu membakar seluruh asmara siapa pun yang kemasukan ruh Rahwana. Gelora besar itu sering terucap dalam ucapan-ucapan yang melengking menyapa langit tak berujung yang terkenal dengan ”Ceurik Rahwana”:
Deudeuh teuing Sinta... Nu geulis kawanti-wanti, Endah Kabina-bina, Geulis bawaning ngajadi Endah bawaning ti kudrat, Jung nangtung asa lalanjung Leumpang asa ngalongkewang, Kajeun teuing paeh ngabale bangke Tibatan teu kauntun tipung katambang beas laksana kapiduriat, Cinta Kawula ka anjeun, deudeuh... Sinta.
Mohon maaf tidak bisa diterjemahkan. Dalam siulannya di sore hari penghujung senja, Mang Udin bergumam, ”Ketahuilah bahwa energi cinta yang aku miliki adalah energi cinta seorang Rahwana dan Ma Icih adalah Sintaku yang sebenarnya. Cintaku adalah cinta yang hidup, yang mampu mengisi malam-malamku dengan seluruh desah nafas yang indah, tanpa harus ada parfum dalam tubuh indahmu, Ma Icih... dan pewarna pada bibir manismu.
Aku tetap mampu melewati malammalam dengan sejuta kenangan, serasa pergi mengembara di antara debur ombak yang indah, melewati jutaan bintang di langit, berjalan diiringi temaramnya bulan. Cintaku padamu, Ma Icih, tak lapuk dimakan waktu, kau tak perlu operasi plastik untuk memperbaiki wajahmu.
Kau tak perlu lelah, kau tak perlu menghabiskan waktu untuk mengisi hari-harimu di salon dan tempat kebugaran. Kau tetap terlihat bugar meski kakimu dalam setiap waktu berjalan melewati lorong-lorong hutan, berjalan di atas pematang, kulihat betis indahmu di sela kain pembalut pinggang manismu.
Kulihat pancaran indah di balik tirus wajahmu, mayang rambutmu diembus angin laksana nyiur melambai semakin menambah gairah cintaku padamu. Sepanjang sejarah hidupku, aku tak pernah berkhianat untuk mencintai yang lain selain dirimu. Transaksi cinta sesaat tidak pernah kulirik seujung mata pun karena aku memandang gelora berahi transaksional adalah penghinaan bagi diriku.
Tak mungkin sebuah pelayanan cinta harus dibayar dengan uang. Cinta adalah ekspresi jiwa, yang akan melahirkan energi kreatifku untuk terus menorehkan karya bagi peradaban kaum petani. Aku adalah ekspresi para petani pinggiran yang memaknai hidup dan cinta dengan rasa. Ketahuilah Icih, hasrat berahi transaksional adalah ekspresi buruknya dari sebuah tata nilai negara yang telah mengabaikan rasa sebagai sendi kehidupan.
Itulah kematian dalam peradaban rasa seperti kematian dalam peradaban politik yang semuanya diwarnai oleh energi transaksional, bukan ekspresi ideologis yang melahirkan spirit pengorbanan yang di dalamnya bergelora yang bernama cinta. ”Dengarkanlah Icih, ekspresi cintaku tertanam dalam butiran padi tanpa pestisida.
Mengisi berahiku terajut dalam seluruh untaian lagu sang penggembala yang bernyanyi atas nama alam, air bening yang mengalir bernyanyi indahnya khatulistiwa, angin mendesir membisikkan seluruh kegenitan cinta, burung-burung beterbangan menabur benih pengharapan atas nama cinta, membangun peradaban dari udara.
Icih, dengarkanlah... kesetiaanku padamu adalah ekspresi dari keabadian cintaku yang tak kan pernah terganti.” Ma Icih dengan muka tersenyum menimpali, seraya mengerutkan dahinya yang telah lapuk dimakan usia, ”Meunggeus sia teh Udin ...
Deudeuh itu dalam Bahasa Sunda sering diucapkan para orang tua kepada anaknya yang sedang mengalami penderitaan, diucapkan sebagai bentuk ekspresi rasa cinta terhadap beban kekecewaan atau penderitaan yang dipikul oleh anaknya, bisa karena sakit badan atau sakit hati.
Deudeuh itu adalah kata untuk meringankan beban. Kamu mah Udin, cinta kepadaku bukan karena kesejatian cinta, tapi karena memang hanya Nini satu-satunya yang mencintai maneh , Udin. Siapa yang mau jatuh cinta sama kamu? Kerja hanya buruh tani, punya sawah cuma secuil.
Andaikata maneh Udin tidak pernah membeli cinta yang transaksional, itu pun bukan karena kamu setia, tapi karena kamu memang teu boga duit keur meulina (tak punya uang untuk membelinya). Tiga ratus lima puluh ribu itu Udin, harga gabah satu kuintal yang kita tanam selama tiga bulan.
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
Dalang Cecep Supriadi, maestro dalang wayang golek asal Karawang, merupakan sosok dalang yang paling piawai mengekspresikan kegandrungan Rahwana yang ingin memersunting Dewi Sinta, yang berujung maut dalam kisah Ramayana. Kegagahan dan keperkasaan Rahwana berujung pada penderitaan, di mana seluruh kekuatan kerajaannya dihancurkan oleh pasukan Sri Rama yang dipimpin oleh Hanoman Perbancanasuka.
Ditambah terjadi pengkhianatan yang dilakukan adiknya sendiri, Gunawan Wibiksana, yang lari berpihak kepada Sri Rama karena kekecewaannya pada Rahwana yang mengumbar nafsu berahinya dengan mengorbankan negara dan seluruh rakyat kerajaannya.
Gunawan Wibiksana beralih pada kekuatan musuh bukan sebagai sebuah pengingkaran, melainkan sebagai titah Dewa yang telah mendapat restu dari Ibu Sukesih, ibu kandungnya sendiri. Pengembaraan cinta Rahwana bukan tanpa dasar, tetapi sebagai bagian konsistensi seorang manusia untuk mempertahankan satu cinta dari 10 wajah yang dimilikinya.
Sinta merupakan satu-satunya wanita yang dicintai Rahwana. Tak ada satu pun wanita yang mampu menggantikan kebahagiaan yang membara dalam dirinya dan Sinta merupakan wanita yang dijanjikan oleh Dewa untuk menjadi pasangan hidup Rahwana. Tak ada yang salah bagi Rahwana untuk memperjuangkan cinta yang diyakininya walau harus mengorbankan seluruh negara dan seisinya.
Pengembaraan cinta yang berujung pada maut dan kehancuran ini telah melahirkan sosok pahlawan yang bernama Kumbakarna, yang telah mengorbankan tangan kirinya, tangan kanannya, mata kirinya, mata kanannya, hidungnya, telinga kiri dan kanannya, serta kaki kiri dan kaki kanannya sampai berujung pada kematian yang penuh dengan kebahagiaan dalam kisah heroik kepahlawanan dengan judul ”Kumbakarna Gugur”.
Kisah heroik ini sangat fantastik diekspresikan oleh maestro wayang golek ternama almarhum Asep Sunandar Sunarya. Sikap heroik kepahlawanan dalam kisah-kisah perjuangan tidak mesti ada pada pihak yang dianggap benar saja, pihak yang dianggap salah pun memiliki hak menjadi seorang superhero pembawa kebenaran sehingga nalar kebenaran tidak mesti hanya ada pada satu pihak.
Nalar kebenaran ada pada kedua belah pihak, yang secara substantif berada pada sisi niat yang ada dalam setiap hatinya. Kegandrungan Rahwana melahirkan energi cinta yang tiada habisnya untuk diceritakan. Sujiwo Tedjo merupakan sosok dalang yang begitu mengagungkan cinta Rahwana kepada Sinta, bahkan cinta yang diagungkan itu harus ada dalam setiap hati seorang pemimpin.
Dalam pertunjukan Drama Tari Wayang Bubat yang digelar Sabtu, 11 April 2015 di Purwakarta, Sujiwo Tedjo berkata, ”Pemimpin yang tidak memiliki cinta sebaiknya mundur dari jabatannya karena pemimpin yang tidak memiliki cinta akan mengalami kekeringan dalam seluruh energi perbuatannya.”
Kekeringan itu melahirkan produk-produk kebijakan negara yang tanpa rasa sehingga seluruh hal yang diperbuatnya menjadi tumpukan barang mati yang tidak memiliki energi transendensi bagi generasi berikutnya. Sifat kematian rasa biasanya hanya melahirkan watak eksploitatif karena memandang seluruh barang yang dieksploitasi adalah benda mati tanpa nyawa. ***
Pembangunan tanpa energi rasa, tumpukan gedung, aliran sungai, jaringan jalan, listrik, air bersih, sarana transportasi darat, laut dan udara, menjadi barang-barang yang tak bernyawa sehingga terjadi kematian peradaban di seluruh kehidupan, seolah seluruh kehidupan itu ada, tetapi sebenarnya tiada.
Ketiadaannya dapat dilihat dari hilangnya perasaan para pengendara, hilangnya perasaan para pengusaha, hilangnya perasaan para buruh, hilangnya perasaan para petani, dan hilangnya perasaan awak media. Hilangnya seluruh perasaan manusia, benda, dan perangkat teknologi telah melahirkan hidup tanpa warna, setiap orang tak lagi memiliki sensitivitas.
Hilangnya sensitivitas akan melahirkan kematian massal dalam sebuah negara. Itulah kematian cinta seorang pemimpin, akan berakhir dramatis dalam pola kepemimpinan negaranya. Gelora cinta Rahwana, walaupun dianggap sebagai sebuah kefatalan dalam cinta, telah melahirkan energi besar bagi seorang Kumbakarna untuk menjadi pahlawan sejati bagi bangsanya.
Kematian Rahwana dalam ujung pengembaraan cintanya telah melahirkan energi ruh yang terus bergelora yang akan mampu membakar seluruh asmara siapa pun yang kemasukan ruh Rahwana. Gelora besar itu sering terucap dalam ucapan-ucapan yang melengking menyapa langit tak berujung yang terkenal dengan ”Ceurik Rahwana”:
Deudeuh teuing Sinta... Nu geulis kawanti-wanti, Endah Kabina-bina, Geulis bawaning ngajadi Endah bawaning ti kudrat, Jung nangtung asa lalanjung Leumpang asa ngalongkewang, Kajeun teuing paeh ngabale bangke Tibatan teu kauntun tipung katambang beas laksana kapiduriat, Cinta Kawula ka anjeun, deudeuh... Sinta.
Mohon maaf tidak bisa diterjemahkan. Dalam siulannya di sore hari penghujung senja, Mang Udin bergumam, ”Ketahuilah bahwa energi cinta yang aku miliki adalah energi cinta seorang Rahwana dan Ma Icih adalah Sintaku yang sebenarnya. Cintaku adalah cinta yang hidup, yang mampu mengisi malam-malamku dengan seluruh desah nafas yang indah, tanpa harus ada parfum dalam tubuh indahmu, Ma Icih... dan pewarna pada bibir manismu.
Aku tetap mampu melewati malammalam dengan sejuta kenangan, serasa pergi mengembara di antara debur ombak yang indah, melewati jutaan bintang di langit, berjalan diiringi temaramnya bulan. Cintaku padamu, Ma Icih, tak lapuk dimakan waktu, kau tak perlu operasi plastik untuk memperbaiki wajahmu.
Kau tak perlu lelah, kau tak perlu menghabiskan waktu untuk mengisi hari-harimu di salon dan tempat kebugaran. Kau tetap terlihat bugar meski kakimu dalam setiap waktu berjalan melewati lorong-lorong hutan, berjalan di atas pematang, kulihat betis indahmu di sela kain pembalut pinggang manismu.
Kulihat pancaran indah di balik tirus wajahmu, mayang rambutmu diembus angin laksana nyiur melambai semakin menambah gairah cintaku padamu. Sepanjang sejarah hidupku, aku tak pernah berkhianat untuk mencintai yang lain selain dirimu. Transaksi cinta sesaat tidak pernah kulirik seujung mata pun karena aku memandang gelora berahi transaksional adalah penghinaan bagi diriku.
Tak mungkin sebuah pelayanan cinta harus dibayar dengan uang. Cinta adalah ekspresi jiwa, yang akan melahirkan energi kreatifku untuk terus menorehkan karya bagi peradaban kaum petani. Aku adalah ekspresi para petani pinggiran yang memaknai hidup dan cinta dengan rasa. Ketahuilah Icih, hasrat berahi transaksional adalah ekspresi buruknya dari sebuah tata nilai negara yang telah mengabaikan rasa sebagai sendi kehidupan.
Itulah kematian dalam peradaban rasa seperti kematian dalam peradaban politik yang semuanya diwarnai oleh energi transaksional, bukan ekspresi ideologis yang melahirkan spirit pengorbanan yang di dalamnya bergelora yang bernama cinta. ”Dengarkanlah Icih, ekspresi cintaku tertanam dalam butiran padi tanpa pestisida.
Mengisi berahiku terajut dalam seluruh untaian lagu sang penggembala yang bernyanyi atas nama alam, air bening yang mengalir bernyanyi indahnya khatulistiwa, angin mendesir membisikkan seluruh kegenitan cinta, burung-burung beterbangan menabur benih pengharapan atas nama cinta, membangun peradaban dari udara.
Icih, dengarkanlah... kesetiaanku padamu adalah ekspresi dari keabadian cintaku yang tak kan pernah terganti.” Ma Icih dengan muka tersenyum menimpali, seraya mengerutkan dahinya yang telah lapuk dimakan usia, ”Meunggeus sia teh Udin ...
Deudeuh itu dalam Bahasa Sunda sering diucapkan para orang tua kepada anaknya yang sedang mengalami penderitaan, diucapkan sebagai bentuk ekspresi rasa cinta terhadap beban kekecewaan atau penderitaan yang dipikul oleh anaknya, bisa karena sakit badan atau sakit hati.
Deudeuh itu adalah kata untuk meringankan beban. Kamu mah Udin, cinta kepadaku bukan karena kesejatian cinta, tapi karena memang hanya Nini satu-satunya yang mencintai maneh , Udin. Siapa yang mau jatuh cinta sama kamu? Kerja hanya buruh tani, punya sawah cuma secuil.
Andaikata maneh Udin tidak pernah membeli cinta yang transaksional, itu pun bukan karena kamu setia, tapi karena kamu memang teu boga duit keur meulina (tak punya uang untuk membelinya). Tiga ratus lima puluh ribu itu Udin, harga gabah satu kuintal yang kita tanam selama tiga bulan.
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ftr)