Politik yang Lupa Moralitas
A
A
A
Mudji Sutrisno SJ
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca Sarjana UI, Budayawan
Politik pada intinya merupakan setiap ikhtiar, usaha, dan tindakan perjuangan untuk mengusahakan kesejahteraan bersama dalam sebuah tata sosial agar hidup bersama sesama warga negara menjadi lebih baik.
Persyaratan pelaku-pelakunya adalah kesadaran matang setiap manusia yang dianugerahi Tuhan budi rasional yang cerdas dan hati nurani jernih untuk memilih pilihan tindakan dan penyingkapan pada realitas hidup nyata dalam ranah moralitas. Ranah yang bernilai sebagai benar, baik, suci, dan indah.
Inilah ranah etika moralitas yang merupakan wilayah diskresi dan keputusan untuk memilih dua energi budaya yang menentukan perkembangan dari tahap saling rebutan untuk bisa hidup (ekstremnya dalam kondisi saling rebutan untuk bisa hidup dengan mengerkah sesamanya) menuju transisi peradaban, di mana sesama adalah rekan menuju peradaban.
Dua energi budaya ini: life culture yaitu budaya yang merawat, memperjuangkan, serta menjunjung tinggi kehidupan dalam death culture yaitu energi yang merusak dan hasrat untuk menghancurkan kehidupan. Maka itu, ranah moralitas atau etika ini adalah wilayah pertimbangan dan keputusan (baik individu maupun bangsa) untuk memilih hidup atau mati. Sikap mau memilih nilainilai (apa yang dipandang, dihayati sebagai berharga, bermakna dalam hidup sebuah masyarakat/bangsa), yang menopang dan merawat kehidupan atau penghancuran adalah pemilihan etis.
Sumber-sumber kultural dan religi yang memuliakan dan merayakan hidup akan memberi secara jernih sikap-sikap etis mengenai yang baik dan benar untuk kemaslahatan bersama. Nilai-nilai apa yang baik dalam hidup yang benar, suci, dan indah berasal dari kearifan hidup, yang ditradisikan dan dibatinkan melalui pepatah, peribahasa, gurindam, pantun, dongeng, kidung nyanyi, musik, folklore, kearifan lokal, lalu religi bumi, dan religi samawi ini mempunyai ruang pertimbangannya pada personal space (forum internum, ruang pribadi).
Dari ruang pribadi setelah melalui diskresi dibawa ke wacana menuju ruang publik. Dalam sejarah peradaban, akhirnya disepakatilah penghormatan pada ruang pribadi dengan bahasa harkat dan martabat kepribadian manusia yang unik, tidak boleh dikoyak, bahkan suci karena religi mengasalkannya pada legitimasi kitab suci.
Manusia adalah citra Allah sendiri, yang diciptakan serupa wajah- Nya. Ia wakil Allah di dunia ini. Karena itulah, hormat pada martabat manusia menjadi dasar tata sosial dalam bernegara. Secara padat, inilah penghayatan hidup bersama dengan dasar keyakinan dan pandangan bahwa sesama saya adalah manusia yang sama-sama diciptakan Tuhan yang juga menciptakan saya, meminta saya (secara kesadaran etis) untuk saling menghormati agar hidup bersama damai.
*** Ketika ranah saling mengandaikan tumbuhnya kesadaran mau menghormati sesamanya sebagai berharga, sesama ciptaan Tuhan mengalami krisis sadar sendiri atau tahu sendiri dalam penghayatannya dibutuhkan sistem tata masyarakat. Sistem ini untuk memaksa agar kebuasan hasrat mau memperalat sesama demi kepentingan sendiri bisa dicegah.
Karena itu, budaya hukum diciptakan secara sadar oleh anggota-anggota komunitas untuk menjamin perlakuan adil, hormat, dan setara pada tiap orang karena manusia adalah yang bermartabat ciptaan Tuhan. Jadi, hidup bersama yang berkeadaban harus diberi bentuk aturan hukum. Bila tidak, yang kuatlah yang menang dan yang lemah kalah. Sesama adalah subjek, samasama manusia bermartabat karena itu hukum adalah bahasa perlakuan untuk setiap orang sesuai hak dan martabatnya.
Namun, dia mempunyai kewajiban menghormati hak dan martabat orang lain pula. Ketika jaminan perlakuan yang sama dicarikan lembaga penjamin, mulailah negara dengan institusi hukumnya diberi wewenang untuk menjadi penjaga keadilan tersebut agar berlaku bagi tiap warga negara.
*** Dalam konteks ini kita harus menjadi bangsa Indonesia dalam negara yang berdaulat. Pengertian bangsa sebagai nation adalah memiliki kesamaan teritori tanah air dengan kesatuan rasa dan hasrat untuk tampil merdeka dalam identitas kemajemukan suku, agama, tetapi ”ika” menyatu untuk secara politis menjadi sebuah negara berdaulat. Kebersatuan itu disertai dengan kepastian hukum dan demokrasi sebagaimana diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang merupakan proklamasi politis pemakluman kemerdekaan dari penjajah.
Wujudnya adalah sebuah negara berdaulat Republik Indonesia yang secara politis internasional diakui merdeka dan berdaulat, tetapi secara kultural masih berproses karena loncatan politis tidak serta-merta bersamaan dengan proses budaya. Pengertian bangsa dan pergulatannya merupakan pengertian budaya atau kultural. Artinya, Indonesia yang multietnik, multiagama, multikearifan, dan kejeniusan lokal merupakan proses kebudayaan yang terusmenerus berkembang.
Energi dandaya-daya kreatif religiositas, estetika, kebijaksanaan hidup setempat memberikan sumbangan terbaiknya pada keindonesiaan. Inilah proses sejarah kebudayaan menjadi Indonesia sejak kemauan untuk pencerdasan bangsa menempuh jalan peradaban modern dimulai dengan berorganisasi secara rasional, mendidik diri dalam cerdas budi dan bersamasama secara organisatoris 1908.
Kemudian sejarah mencatat perjuangan bahasa sebagai komunikasi ekspresi diri sebagai bangsa. Bahasa merupakan perajut rasa menyatu dan saling peduli meski beda suku, beda bahasa etnik, tetapi bersedia menegaskan bahasa Indonesia di atas bahasa-bahasa subkultur.
Dari ranah budaya pula dirangkum nilai-nilai perajut mengindonesiakan untuk menjadi dasar acuan bangsa majemuk ini dalam negara RI yaitu religiositas sebagai bangsa Indonesia yang ber- Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bersatu dalam Persatuan Indonesia, serta menghayati proses musyawarah untuk mufakat dalam sila ber-Kedaulatan Rakyat yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, lima silalah acuan nilai berbangsa dan bernegara yang ditaruh dalam pembukaan konstitusi 1945 negara RI.
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pasca Sarjana UI, Budayawan
Politik pada intinya merupakan setiap ikhtiar, usaha, dan tindakan perjuangan untuk mengusahakan kesejahteraan bersama dalam sebuah tata sosial agar hidup bersama sesama warga negara menjadi lebih baik.
Persyaratan pelaku-pelakunya adalah kesadaran matang setiap manusia yang dianugerahi Tuhan budi rasional yang cerdas dan hati nurani jernih untuk memilih pilihan tindakan dan penyingkapan pada realitas hidup nyata dalam ranah moralitas. Ranah yang bernilai sebagai benar, baik, suci, dan indah.
Inilah ranah etika moralitas yang merupakan wilayah diskresi dan keputusan untuk memilih dua energi budaya yang menentukan perkembangan dari tahap saling rebutan untuk bisa hidup (ekstremnya dalam kondisi saling rebutan untuk bisa hidup dengan mengerkah sesamanya) menuju transisi peradaban, di mana sesama adalah rekan menuju peradaban.
Dua energi budaya ini: life culture yaitu budaya yang merawat, memperjuangkan, serta menjunjung tinggi kehidupan dalam death culture yaitu energi yang merusak dan hasrat untuk menghancurkan kehidupan. Maka itu, ranah moralitas atau etika ini adalah wilayah pertimbangan dan keputusan (baik individu maupun bangsa) untuk memilih hidup atau mati. Sikap mau memilih nilainilai (apa yang dipandang, dihayati sebagai berharga, bermakna dalam hidup sebuah masyarakat/bangsa), yang menopang dan merawat kehidupan atau penghancuran adalah pemilihan etis.
Sumber-sumber kultural dan religi yang memuliakan dan merayakan hidup akan memberi secara jernih sikap-sikap etis mengenai yang baik dan benar untuk kemaslahatan bersama. Nilai-nilai apa yang baik dalam hidup yang benar, suci, dan indah berasal dari kearifan hidup, yang ditradisikan dan dibatinkan melalui pepatah, peribahasa, gurindam, pantun, dongeng, kidung nyanyi, musik, folklore, kearifan lokal, lalu religi bumi, dan religi samawi ini mempunyai ruang pertimbangannya pada personal space (forum internum, ruang pribadi).
Dari ruang pribadi setelah melalui diskresi dibawa ke wacana menuju ruang publik. Dalam sejarah peradaban, akhirnya disepakatilah penghormatan pada ruang pribadi dengan bahasa harkat dan martabat kepribadian manusia yang unik, tidak boleh dikoyak, bahkan suci karena religi mengasalkannya pada legitimasi kitab suci.
Manusia adalah citra Allah sendiri, yang diciptakan serupa wajah- Nya. Ia wakil Allah di dunia ini. Karena itulah, hormat pada martabat manusia menjadi dasar tata sosial dalam bernegara. Secara padat, inilah penghayatan hidup bersama dengan dasar keyakinan dan pandangan bahwa sesama saya adalah manusia yang sama-sama diciptakan Tuhan yang juga menciptakan saya, meminta saya (secara kesadaran etis) untuk saling menghormati agar hidup bersama damai.
*** Ketika ranah saling mengandaikan tumbuhnya kesadaran mau menghormati sesamanya sebagai berharga, sesama ciptaan Tuhan mengalami krisis sadar sendiri atau tahu sendiri dalam penghayatannya dibutuhkan sistem tata masyarakat. Sistem ini untuk memaksa agar kebuasan hasrat mau memperalat sesama demi kepentingan sendiri bisa dicegah.
Karena itu, budaya hukum diciptakan secara sadar oleh anggota-anggota komunitas untuk menjamin perlakuan adil, hormat, dan setara pada tiap orang karena manusia adalah yang bermartabat ciptaan Tuhan. Jadi, hidup bersama yang berkeadaban harus diberi bentuk aturan hukum. Bila tidak, yang kuatlah yang menang dan yang lemah kalah. Sesama adalah subjek, samasama manusia bermartabat karena itu hukum adalah bahasa perlakuan untuk setiap orang sesuai hak dan martabatnya.
Namun, dia mempunyai kewajiban menghormati hak dan martabat orang lain pula. Ketika jaminan perlakuan yang sama dicarikan lembaga penjamin, mulailah negara dengan institusi hukumnya diberi wewenang untuk menjadi penjaga keadilan tersebut agar berlaku bagi tiap warga negara.
*** Dalam konteks ini kita harus menjadi bangsa Indonesia dalam negara yang berdaulat. Pengertian bangsa sebagai nation adalah memiliki kesamaan teritori tanah air dengan kesatuan rasa dan hasrat untuk tampil merdeka dalam identitas kemajemukan suku, agama, tetapi ”ika” menyatu untuk secara politis menjadi sebuah negara berdaulat. Kebersatuan itu disertai dengan kepastian hukum dan demokrasi sebagaimana diproklamasikan 17 Agustus 1945 yang merupakan proklamasi politis pemakluman kemerdekaan dari penjajah.
Wujudnya adalah sebuah negara berdaulat Republik Indonesia yang secara politis internasional diakui merdeka dan berdaulat, tetapi secara kultural masih berproses karena loncatan politis tidak serta-merta bersamaan dengan proses budaya. Pengertian bangsa dan pergulatannya merupakan pengertian budaya atau kultural. Artinya, Indonesia yang multietnik, multiagama, multikearifan, dan kejeniusan lokal merupakan proses kebudayaan yang terusmenerus berkembang.
Energi dandaya-daya kreatif religiositas, estetika, kebijaksanaan hidup setempat memberikan sumbangan terbaiknya pada keindonesiaan. Inilah proses sejarah kebudayaan menjadi Indonesia sejak kemauan untuk pencerdasan bangsa menempuh jalan peradaban modern dimulai dengan berorganisasi secara rasional, mendidik diri dalam cerdas budi dan bersamasama secara organisatoris 1908.
Kemudian sejarah mencatat perjuangan bahasa sebagai komunikasi ekspresi diri sebagai bangsa. Bahasa merupakan perajut rasa menyatu dan saling peduli meski beda suku, beda bahasa etnik, tetapi bersedia menegaskan bahasa Indonesia di atas bahasa-bahasa subkultur.
Dari ranah budaya pula dirangkum nilai-nilai perajut mengindonesiakan untuk menjadi dasar acuan bangsa majemuk ini dalam negara RI yaitu religiositas sebagai bangsa Indonesia yang ber- Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bersatu dalam Persatuan Indonesia, serta menghayati proses musyawarah untuk mufakat dalam sila ber-Kedaulatan Rakyat yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, lima silalah acuan nilai berbangsa dan bernegara yang ditaruh dalam pembukaan konstitusi 1945 negara RI.
(ars)