Mengenang KAA 1955
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Indonesia akan menyelenggarakan peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 sekitar satu minggu lagi.
Yang lahir setelah tahun 1955 hanya dapat mengetahui apa yang terjadi waktu itu melalui buku, laman internet, atau media sosial. Sayangnya referensi tersebut kurang membawa kita pada aura kebatinan yang menyelimuti peserta dan para pengamat masa itu. Richard Wright, seorang novelis, warga negara Amerika Serikat (AS) berkulit hitam, mantan anggota Partai Komunis di Amerika, adalah salah seorang yang datang dan mengamati langsung jalannya KAA 1955.
Ia menggambarkan bagaimana terkejutnya masyarakat di belahan dunia Barat bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka, setengah merdeka, dan belum merdeka sepakat berkumpul membicarakan perdamaian dunia, kebebasan dari rasa takut dan mengecam imperialisme dengan berbagai bentuknya.
Beberapa yang berpandangan negatif mengatakan bahwa konferensi itu sangat rasialis dan diskriminatif karena hanya mengundang peserta kulit berwarna, yaitu Asia dan Afrika. Hal ini seperti yang ditulis harian The Launcenston Examiner of Tasmania (30/12/1954). Ada pula seorang campuran Asia dan Eropa yang meyakini bahwa bangsa Asia tidak perlu bicara soal demokrasi karena tidak cocok. Asia lebih cocok menggunakan sistem otoriter karena rakyatnya susah diatur.
Beberapa ungkapan positif berasal dari warga Barat yang aktivis demokrasi. Mereka kagum dan heran bahwa bangsa-bangsa bekas jajahan yang dianggap rendah berhasil membuat sebuah pertemuan internasional terbesar pasca-Perang Dunia II. Namun, kekaguman mereka juga diwarnai pemikiran Eropasentris yang menyebut pertemuan itu adalah akibat perlakuan yang tidak baik dari negara-negara Barat terhadap jajahannya.
Dengan kata lain, mereka berkata apabila Barat bersikap humanis, bangsa Asia- Afrika tidak akan memberontak. Komentar-komentar tersebut, terutama yang negatif, sebetulnya dipicu oleh kekhawatiran akan terjalinnya aliansi antara negara Asia- Afrika dengan Komunis China. Pada masa itu suasana Perang Dingin. Blok kapitalis yang dipimpin oleh AS dan blok sosialis pimpinan Uni-Soviet berlomba memperluas pengaruh.
Fakta itu menimbulkan rasa khawatir bahwa KAA akan mendukung perluasan komunisme di Asia-Afrika, apalagi China termasuk tamu undangan KAA. Perlu atau tidaknya China diundang ke KAA sempat menjadi pertanyaan besar bagi lima negara pengusul konferensi ini (Indonesia, India, Pakistan, Burma yang sekarang Myanmar dan Sri Lanka).
Dalam kesaksiannya di buku Bandung Connection Roeslan Abdul Gani menyampaikan bahwa dalam Konferensi Panca Perdana Menteri di Istana Bogor tahun 1954 usulan India untuk mengundang China sempat ditentang oleh Pakistan dan Sri Lanka. Selain alasan bahaya subversif (atau bahaya laten dalam istilah di Indonesia), mereka juga khawatir negara-negara yang telah bergabung dengan blok barat seperti Thailand, Filipina dan negara-negara Arab akan menolak untuk datang.
Pada masa itu, China disinyalir mendanai kegiatan subversif dan ilegal di sejumlah negara, termasuk penyusupan ideologi komunisme di kawasan Asia dan Afrika. Kekhawatiran tersebut disanggah oleh Perdana Menteri (PM) India Nehru dan PM Burma U Nu. Mereka berpandangan bahwa partai komunis di Asia memiliki corak berbeda dengan komunis internasional di Barat. Partai Komunis di China dan negara-negara lain lebih dekat kebatinan budaya Asianya ketimbang Partai Komunis di Barat.
Secara khusus PM Nehru menegaskan bahwa undangan KAA kepada China justru akan memperluas pergaulan dan cakrawala China sehingga China dapat lebih berjarak dengan Rusia. Waktu itu Rusia dipandang agresif dan terang-terangan memusuhi negara-negara yang menolak kerja sama dengan Rusia. Itu sebabnya Rusia tidak diundang ke KAA.
Tampak bahwa secara tidak langsung Nehru menularkan keyakinan bahwa negara-negara Asia dan Afrika berkemampuan menekan China dalam KAA agar menghormati janjinya sendiri dalam menjaga hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence), menghindari agresi, menghindari campur tangan dalam urusan dalam negeri negara-negara lain dan menghormati integritas teritorial negara lain.
Perdebatan soal undangan kepada China itu akhirnya selesai karena nada keras dan sedikit mengancam dari PM Burma yang menyatakan akan mengundurkan diri dari KAA apabila China tidak diundang. China menurutnya adalah kunci untuk perdamaian di Asia karena geopolitik dan kekuatannya. Pernyataan yang berbau ancaman itu akhirnya meluluhkan sikap keras dari Pakistan dan Sri Lanka sehingga akhirnya setuju mengundang China. Namun, kekhawatiran tidak selesai di sana.
Indonesia masih perlu meyakinkan dunia Barat bahwa KAA tersebut bukan panggung bagi blok komunis. Salah satu trik yang digunakan adalah dengan menyelipkan puisi tentang Paul Revere dalam pidato pembukaan Presiden Soekarno. Ide ini berasal dari Roeslan Abdulgani yang menjabat sekretaris jenderal di Kementerian Luar Negeri dan koordinator pelaksana teknis KAA.
Paul Revere adalah patriot muda Amerika yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Inggris di Amerika. Sebagai tokoh, Paul dikenang karena ia memberi peringatan kepada pasukanpasukan milisi di AS untuk bersiap menghadapi pasukan kolonial Inggris. Yang heroik, dia mengumumkan dengan cara menunggang kuda selama kurang lebih 14 jam sejak pukul 10 malam dari Boston hingga Lexington.
Yang fantastis, hari pengumuman oleh Paul Revere itu terjadi tepat 180 tahun pada hari pembukaan KAA, yakni 18 April. Pidato Presiden Soekarno yang menyelipkan potongan puisi tentang tokoh yang dikagumi oleh masyarakat Amerika tersebut telah mencairkan ketegangan dan mengurangi kekhawatiran bahwa konferensi ini akan digunakan oleh salah satu blok.
Kekhawatiran juga hilang ketika Chou En Lai, PM Republik Komunis China, mengatakan dalam pidatonya bahwa ia dapat saja menggunakan kesempatan yang diberikan untuk menggugat keterlibatan Amerika di Taiwan atau keanggotaannya di PBB. Namun dia mengesampingkan hal tersebut karena delegasi RRC datang untuk mencari persatuan dan bukan perbedaan. China menyatakan sepenuhnya setuju dengan dasar dan tujuan KAA dan tidak mengusung agenda lain.
Konferensi itu kemudian menghasilkan sepuluh prinsip yang dikenal sebagai Dasa Sila Bandung yang intinya menekankan lingkungan politik luar negeri regional yang damai bagi seluruh negara terlepas dari ideologinya. Konferensi ini juga menjadi landasan dan rujukan bagi berdirinya Gerakan Negara- Negara Non-Blok yang menambah posisi tawar terhadap blok kapitalis dan blok komunis.
Keberhasilan KAA adalah bukti kemampuan Indonesia mengurangi ketegangan dan kekhawatiran bahwa konferensi itu akan dijadikan alat propaganda untuk salah satu blok. Empat negara lain yang menjadi pengusul konferensi juga berkontribusi penting. Namun, keterlibatan mereka tak akan ada apabila Indonesia tidak memiliki kemampuan diplomasi untuk meyakinkan mereka bahwa konferensi itu penting dan harus dilaksanakan segera.
India pada awalnya ragu untuk mengambil bagian dalam KAA hingga PM Ali Sastroamidjojo datang sendiri ke Calcutta dan meyakinkan PM Nehru. Kemampuan untuk mengumpulkan 29 bangsa Asia- Afrika yang berbeda dalam ideologi, agama, budaya, kepentingan politiknya dan sejarah konflik yang tajam antara satu negara dengan negara lain adalah kemampuan diplomasi yang sangat langka.
Blok kapitalis dan blok komunis pada saat itu juga mampu mengorganisir konferensi dunia dan dihadiri oleh negara-negara lain, tetapi dengan disertai imbalan perlindungan militer dan bantuan ekonomi. KAA tidak melakukan hal tersebut. Bekal Indonesia adalah kematangan berdiplomasi, membangun kepercayaan dari undangan, dan harapan akan kebersamaan yang lebih cerah setelah KAA.
Pertanyaan bagi Indonesia adalah, apakah kita masih memiliki keunggulan dalam diplomasi itu? Mari kita berharap KAA di Bandung pekan depan akan memberikan jawab yang bagus untuk pertanyaan tersebut.
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
Indonesia akan menyelenggarakan peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 sekitar satu minggu lagi.
Yang lahir setelah tahun 1955 hanya dapat mengetahui apa yang terjadi waktu itu melalui buku, laman internet, atau media sosial. Sayangnya referensi tersebut kurang membawa kita pada aura kebatinan yang menyelimuti peserta dan para pengamat masa itu. Richard Wright, seorang novelis, warga negara Amerika Serikat (AS) berkulit hitam, mantan anggota Partai Komunis di Amerika, adalah salah seorang yang datang dan mengamati langsung jalannya KAA 1955.
Ia menggambarkan bagaimana terkejutnya masyarakat di belahan dunia Barat bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka, setengah merdeka, dan belum merdeka sepakat berkumpul membicarakan perdamaian dunia, kebebasan dari rasa takut dan mengecam imperialisme dengan berbagai bentuknya.
Beberapa yang berpandangan negatif mengatakan bahwa konferensi itu sangat rasialis dan diskriminatif karena hanya mengundang peserta kulit berwarna, yaitu Asia dan Afrika. Hal ini seperti yang ditulis harian The Launcenston Examiner of Tasmania (30/12/1954). Ada pula seorang campuran Asia dan Eropa yang meyakini bahwa bangsa Asia tidak perlu bicara soal demokrasi karena tidak cocok. Asia lebih cocok menggunakan sistem otoriter karena rakyatnya susah diatur.
Beberapa ungkapan positif berasal dari warga Barat yang aktivis demokrasi. Mereka kagum dan heran bahwa bangsa-bangsa bekas jajahan yang dianggap rendah berhasil membuat sebuah pertemuan internasional terbesar pasca-Perang Dunia II. Namun, kekaguman mereka juga diwarnai pemikiran Eropasentris yang menyebut pertemuan itu adalah akibat perlakuan yang tidak baik dari negara-negara Barat terhadap jajahannya.
Dengan kata lain, mereka berkata apabila Barat bersikap humanis, bangsa Asia- Afrika tidak akan memberontak. Komentar-komentar tersebut, terutama yang negatif, sebetulnya dipicu oleh kekhawatiran akan terjalinnya aliansi antara negara Asia- Afrika dengan Komunis China. Pada masa itu suasana Perang Dingin. Blok kapitalis yang dipimpin oleh AS dan blok sosialis pimpinan Uni-Soviet berlomba memperluas pengaruh.
Fakta itu menimbulkan rasa khawatir bahwa KAA akan mendukung perluasan komunisme di Asia-Afrika, apalagi China termasuk tamu undangan KAA. Perlu atau tidaknya China diundang ke KAA sempat menjadi pertanyaan besar bagi lima negara pengusul konferensi ini (Indonesia, India, Pakistan, Burma yang sekarang Myanmar dan Sri Lanka).
Dalam kesaksiannya di buku Bandung Connection Roeslan Abdul Gani menyampaikan bahwa dalam Konferensi Panca Perdana Menteri di Istana Bogor tahun 1954 usulan India untuk mengundang China sempat ditentang oleh Pakistan dan Sri Lanka. Selain alasan bahaya subversif (atau bahaya laten dalam istilah di Indonesia), mereka juga khawatir negara-negara yang telah bergabung dengan blok barat seperti Thailand, Filipina dan negara-negara Arab akan menolak untuk datang.
Pada masa itu, China disinyalir mendanai kegiatan subversif dan ilegal di sejumlah negara, termasuk penyusupan ideologi komunisme di kawasan Asia dan Afrika. Kekhawatiran tersebut disanggah oleh Perdana Menteri (PM) India Nehru dan PM Burma U Nu. Mereka berpandangan bahwa partai komunis di Asia memiliki corak berbeda dengan komunis internasional di Barat. Partai Komunis di China dan negara-negara lain lebih dekat kebatinan budaya Asianya ketimbang Partai Komunis di Barat.
Secara khusus PM Nehru menegaskan bahwa undangan KAA kepada China justru akan memperluas pergaulan dan cakrawala China sehingga China dapat lebih berjarak dengan Rusia. Waktu itu Rusia dipandang agresif dan terang-terangan memusuhi negara-negara yang menolak kerja sama dengan Rusia. Itu sebabnya Rusia tidak diundang ke KAA.
Tampak bahwa secara tidak langsung Nehru menularkan keyakinan bahwa negara-negara Asia dan Afrika berkemampuan menekan China dalam KAA agar menghormati janjinya sendiri dalam menjaga hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence), menghindari agresi, menghindari campur tangan dalam urusan dalam negeri negara-negara lain dan menghormati integritas teritorial negara lain.
Perdebatan soal undangan kepada China itu akhirnya selesai karena nada keras dan sedikit mengancam dari PM Burma yang menyatakan akan mengundurkan diri dari KAA apabila China tidak diundang. China menurutnya adalah kunci untuk perdamaian di Asia karena geopolitik dan kekuatannya. Pernyataan yang berbau ancaman itu akhirnya meluluhkan sikap keras dari Pakistan dan Sri Lanka sehingga akhirnya setuju mengundang China. Namun, kekhawatiran tidak selesai di sana.
Indonesia masih perlu meyakinkan dunia Barat bahwa KAA tersebut bukan panggung bagi blok komunis. Salah satu trik yang digunakan adalah dengan menyelipkan puisi tentang Paul Revere dalam pidato pembukaan Presiden Soekarno. Ide ini berasal dari Roeslan Abdulgani yang menjabat sekretaris jenderal di Kementerian Luar Negeri dan koordinator pelaksana teknis KAA.
Paul Revere adalah patriot muda Amerika yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Inggris di Amerika. Sebagai tokoh, Paul dikenang karena ia memberi peringatan kepada pasukanpasukan milisi di AS untuk bersiap menghadapi pasukan kolonial Inggris. Yang heroik, dia mengumumkan dengan cara menunggang kuda selama kurang lebih 14 jam sejak pukul 10 malam dari Boston hingga Lexington.
Yang fantastis, hari pengumuman oleh Paul Revere itu terjadi tepat 180 tahun pada hari pembukaan KAA, yakni 18 April. Pidato Presiden Soekarno yang menyelipkan potongan puisi tentang tokoh yang dikagumi oleh masyarakat Amerika tersebut telah mencairkan ketegangan dan mengurangi kekhawatiran bahwa konferensi ini akan digunakan oleh salah satu blok.
Kekhawatiran juga hilang ketika Chou En Lai, PM Republik Komunis China, mengatakan dalam pidatonya bahwa ia dapat saja menggunakan kesempatan yang diberikan untuk menggugat keterlibatan Amerika di Taiwan atau keanggotaannya di PBB. Namun dia mengesampingkan hal tersebut karena delegasi RRC datang untuk mencari persatuan dan bukan perbedaan. China menyatakan sepenuhnya setuju dengan dasar dan tujuan KAA dan tidak mengusung agenda lain.
Konferensi itu kemudian menghasilkan sepuluh prinsip yang dikenal sebagai Dasa Sila Bandung yang intinya menekankan lingkungan politik luar negeri regional yang damai bagi seluruh negara terlepas dari ideologinya. Konferensi ini juga menjadi landasan dan rujukan bagi berdirinya Gerakan Negara- Negara Non-Blok yang menambah posisi tawar terhadap blok kapitalis dan blok komunis.
Keberhasilan KAA adalah bukti kemampuan Indonesia mengurangi ketegangan dan kekhawatiran bahwa konferensi itu akan dijadikan alat propaganda untuk salah satu blok. Empat negara lain yang menjadi pengusul konferensi juga berkontribusi penting. Namun, keterlibatan mereka tak akan ada apabila Indonesia tidak memiliki kemampuan diplomasi untuk meyakinkan mereka bahwa konferensi itu penting dan harus dilaksanakan segera.
India pada awalnya ragu untuk mengambil bagian dalam KAA hingga PM Ali Sastroamidjojo datang sendiri ke Calcutta dan meyakinkan PM Nehru. Kemampuan untuk mengumpulkan 29 bangsa Asia- Afrika yang berbeda dalam ideologi, agama, budaya, kepentingan politiknya dan sejarah konflik yang tajam antara satu negara dengan negara lain adalah kemampuan diplomasi yang sangat langka.
Blok kapitalis dan blok komunis pada saat itu juga mampu mengorganisir konferensi dunia dan dihadiri oleh negara-negara lain, tetapi dengan disertai imbalan perlindungan militer dan bantuan ekonomi. KAA tidak melakukan hal tersebut. Bekal Indonesia adalah kematangan berdiplomasi, membangun kepercayaan dari undangan, dan harapan akan kebersamaan yang lebih cerah setelah KAA.
Pertanyaan bagi Indonesia adalah, apakah kita masih memiliki keunggulan dalam diplomasi itu? Mari kita berharap KAA di Bandung pekan depan akan memberikan jawab yang bagus untuk pertanyaan tersebut.
(ars)