Mata Air, Air Mata

Senin, 06 April 2015 - 10:14 WIB
Mata Air, Air Mata
Mata Air, Air Mata
A A A
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Itulah bunyi Pasal 33 Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang sudah kita hafal sejak sekolah dasar. Dalam implementasinya, pasal tersebut mengalami perubahan wujud seiring dengan dinamika dan karakter pertumbuhan ekonomi yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan yang cukup tajam.

Konsep negara yang berorientasi pada pasar telah melahirkan perubahan yang cukup tajam dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola sumber daya alam. Dari konsep pengelolaan yang berbasiskan negara untuk kemakmuran rakyat, menjadi konsepsi pengelolaan yang berbasiskan modal untuk pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Konsepsi pengelolaan tersebut telah melahirkan perdebatan yang cukup panjang tentang pola pengelolaan ekonomi Indonesia yang melahirkan dua kutub pemikiran antara pemikiran ekonomi kerakyatan dengan pemikiran ekonomi liberal.

Ekonomi kerakyatan merupakan sebuah pemikiran yang mengarah pada distribusi pemerataan ekonomi secara utuh dan menyeluruh, sedangkan ekonomi liberal menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh beberapa tangan atau kapitalisasi yang tertumpu pada orang atau kelompok.

Sudahlah, seluruh perdebatan tentang konsepsi tersebut biarkan berjalan seiring dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai mazhab dan kutub ekonomi Indonesia. Namun secara esensial, semestinya pengelolaan sumber daya alam yang dikelola oleh kelompok profesional yang memiliki kapital besar tidaklah menyentuh pada sumber daya alam yang murah, berlimpah, dan tidak memerlukan sentuhan modal besar dan teknologi yang tinggi. ***

Air merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah di negeri ini. Apalagi ketika musim hujan, air seperti tidak dibutuhkan lagi; terbuang bebas, mengalir mengikuti kelok-kelok sungai, menari di belantara jalan raya, berkumpul di sudutsudut kota yang kadang oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah petaka. Namun di rumah-rumah warga, air sangat sulit mengalir dengan gesit.

Tetesannya terasa tersendat, berliku mengikuti alur pipa-pipa tua berkarat yang entah kapan akan mengalami perubahan. Jangankan di musim kemarau, bahkan di musim hujan pun kala masyarakat tertimpa banjir, justru mereka mengalami krisis air bersih. Sebuah ironi di negeri yang penuh dengan mata air.

Hampir di seluruh rumah hari ini masyarakat mengonsumsi air minum dalam kemasan dengan berbagai varian harga. Dari hanya Rp1.500 per botol di kaki lima sampai Rp15.000 per botol yang biasa diminum di hotel-hotel berbintang. Bahkan lebih mahal dari itu, dengan berbagai bumbu warna pengobatan yang membuat harganya semakin beragam.

Dari mulai kemasan dengan simbol-simbol khasiat tertentu yang dikelola secara apik oleh kelompok-kelompok intelektual sampai pada air yang berisi jampe (mantra) ala kampung yang khasiatnya tidak bisa kita duga karena semuanya bersifat sugesti.

Yang membedakan cuma satu, kalau air jampe-jampe dari kampung yang tidak menggunakan tarif dan hanya dibeli dengan harga sekadarnya, banyak orang yang sering memberikan label musyrik, sedangkan air kemasan yang bertarif dengan tulisan beragam khasiat, tak ada satu pun orang yang mengatakannya musyrik.

Ma Icih, perempuan tua yang begitu paham tentang masalah air, hari ini banyak mengeluhkan sumur tua di belakang rumahnya yang sering mengalami kekeringan di musim kemarau akibat adanya eksploitasi penjualan air yang menggunakan tangki oleh orang kaya, tetangga di kampungnya.

Dengan nada lirih Ma Icih berkata, ”Makin lama Ema makin bingung dengan perilaku manusia sekarang. Kalau bicara seperti yang benar, ngomong falsafah Pancasila, hakikat agama, tapi hidup tak ada sarinya, segala macam dihitung dengan uang. Tak pernah memikirkan kesusahan orang lain, asal kenyang perutnya sendiri.

” Mang Udin menimpali, ”Betul Icih, sawah dan kolam kita juga sering kering karena sumber air yang jadi andalan kita kini berantakan oleh penambangan pasir sedot. Entah manusia macam apa ini yang usaha, sampai pasir juga disedot. Entah sebesar apa perutnya, kuat diisi pasir segala.

Menurut catatan si Uja, anak Mang Udin, mobil yang mengangkutnya juga sebesar jurig (hantu), bannya besar-besar, banyak lagi. Setiap hari melewati jalan desa dan kabupaten dengan tonase lebih dari 40 ton. Aki bingung, kok bisa truktruk dengan beban yang sangat besar melewati jalan-jalan pemerintah yang ada tulisan larangannya ‘maksimal 20 ton’ dan bisa melewati jembatan timbang dengan senang hati.

Sebagai orang bodoh dari kampung, Aki jadi bingung, punya ilmu apa ini supirnya, kalau masuk jembatan timbang beratnya jadi berkurang. Mobil truk itu juga suka ”berak” di pinggir jalan yang sekali beraknya cukup untuk 2 colt diesel dan suka kencing yang sekali kencingnya cukup untuk 3 mobil pikap.

Mereka berak di tempat yang terbuka, bisa dilihat oleh seluruh petugas dengan baik, dipikir- pikir apa tidak bau, yang berak di pinggir jalan dibiarkan saja. Pantas jalan sekarang gampang rusak, gampang bolong, gampang pecah betonnya, beban kendaraannya melebihi kapasitas, sih. Tidak tahu ini tugas siapa, kayanya tidak dianggap penting untuk diselesaikan.

Padahal kalau diteliti, berapa triliun rupiah kerugian negara akibat kerusakan jalan. Tetapi mungkin karena bukan isu sensitif yang menarik media, hal ini jadi dianggap biasa. Akan dianggap luar biasa apabila ada orang asing yang terjatuh dari motor di jalan berlubang kemudian menggugat di forum internasional. ***

Ma Icih kembali berkata, ”Sepengetahuan Ema, leluhur kita mengajarkan tentang kecintaan terhadap tanah air. Apalagi orang Sunda, nama-nama kampungnya selalu menggunakan ‘cai’; Ciasem, Cimahi, Cibeureum, Ciamis, Cibodas, Cijunti, dan lainnya. Artinya betapa kuat peran air terhadap pembentukan karakter dan watak manusia.

Ema juga sempat pusing, nama-nama tersebut kini banyak hilang, bahkan Ema sempat tersesat ketika berkunjung ke kota. Nama tempat yang menjadi tujuan Ema berkunjung kini sudah tidak ada, tidak tahu ditelan oleh siapa dan berubah menjadi serba residen. Padahal residen mah kan adanya di jaman Belanda, jabatannya di atas bupati, di bawah gubernur.

Sekarang mah residen teh jadi nama kompleks. Nama-nama itu dibuat dan diizinkan oleh orang-orang yang setiap Senin apel kecintaan terhadap tanah air, setiap tanggal 17 tiap bulan Upacara Peningkatan Disiplin Nasional, tetapi dengan mudah mengubah nama kampung-kampung yang dibuat oleh leluhur.

Ema sangat kecewa atas ketersesatan ini.” Mang Udin menimpali, ”Sudahlah Icih, jangan terlalu banyak mengeluh. Mungkin sudah menjadi nasib kita asing dan tersesat di tanah air kita sendiri. Aki juga sama pernah ketipu, sudah kadung merasa gagah diberi fried chicken oleh incu.

Kirain apa fried chicken itu ternyata goreng ayam yang diberi terigu. Lebih enak goreng ayam buatanmu, Ma. Ayamnya diberi pakan gabah, menyembelihnya dengan doa, sebelum digoreng diungkeb dulu dan jelas jantan atau betinanya.

Dibanding yang itu, ayamnya kegemukan, terlalu banyak pakan nampaknya. Yang kegemukan kan kurang gerak, yang kurang gerak itu malas, pantas saja kalau cucu kita sekarang kerjanya malas karena terlalu banyak makan ayam malas. Malah, anak tetangga kita sekarang teh kaya bencong. Kayanya itu pengaruh makan ayam yang tidak jelas jenis kelaminnya.

Asa palalaur aing mah (Rasanya jadi khawatir). Makanya, waktu kumpulan di desa, Aki marah sama Pa Kades yang pidato berapiapi tentang peningkatan kecintaan terhadap tanah dan air. Ceuk aing teh Nini, gandeng sia kaluman (Saya bilang, berisik ah).

Cinta Tanah Air nanahaon, tanah beak dijual, cai beak ditengkian (tanah habis dijual, air habis diangkut tangki). Waktu Aki ngomong begitu, tiba-tiba si Uja ngomong, sambil popolotot. Cinta tanah air model apa sekarang ini, imah ngontrak, cai meuli (rumah ngontrak, air beli).”

Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0843 seconds (0.1#10.140)