Pemerataan Kebahagiaan
A
A
A
Ivan Hadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
Berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2014 dibandingkan 2013, menurut BPS (2015) memang telah meningkatkan Indeks Kebahagiaan Indonesia dibanding tahun 2013.
Hal ini terlihat dari data BPS (5/2/2015) yang mencatat indeks kebahagiaan Indonesia tahun 2014 sebesar 68,28 pada skala 0-100, atau meningkat 3,17 poin dibanding tahun sebelumnya yang ”hanya” 65,11.
Indeks Kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan esensial yang memiliki besaran kontribusi berbeda-beda terhadap indeks kebahagiaan, yakni pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan.
Hal ini terjadi karena perbedaan penilaian mengenai derajat pentingnya setiap aspek kehidupan terhadap tingkat kebahagiaan secara keseluruhan. Terdapat tiga aspek kehidupan yang memiliki kontribusi paling tinggi, yaitu pendapatan rumah tangga (14,64%), kondisi rumah dan aset (13,22%), serta pekerjaan (13,12%). Tingkat kepuasan tertinggi pada tahun 2014, berkaitan dengan keharmonisan keluarga, sebesar 78,89%.
Sementara tingkat kepuasan paling rendah terjadi pada aspek pendidikan yang hanya mencapai 58,28%. Di dunia, peringkat Indonesia terbilang cukup tinggi. Dalam laporan yang disusun oleh Gallup Inc (2015), Indonesia berada pada peringkat 12 dalam daftar 20 negara paling bahagia di dunia. Negeri ini terkenal sebagai negara dengan penduduk yang ramah dan murah senyum.
Di pedesaan yang terbilang miskin atau di kampung kota yang kumuh pun, para turis dipastikan menemukan anak-anak dan orang dewasa yang menyapa mereka dengan senyum dan tawa ramah. Lebih dari itu, dalam tayangan liputan televisi terkait terbakarnya lebih dari 200 rumah di kawasan (kumuh) Tanah Abang, beberapa korban yang diwawancara terlihat masih tersenyum ketika menggambarkan betapa ”rakus” dan cepatnya api melahap rumah dan harta benda mereka.
Sulit membayangkan, sang korban tersenyum ketika hal serupa terjadi di negara-negara kaya, padahal bisa dipastikan bahwa mereka akan memperoleh ganti rugi setimpal, bukan sekadar pergantian barang yang terbakar. Berbasis pengamatan seperti itu, apakah kita layak menyimpulkan bahwa tingkat kebahagiaan seseorang atau sebuah bangsa, memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh kondisi kesejahteraan?
Di satu sisi, survei dari Gallup Incmenunjukkan uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Itulah yang terlihat ketika warga Singapura, sebagainegara denganGDP per kapita tertinggi kelima di seantero bumi, menempati urutan pertama di dunia sebagai yang paling tidak gembira dan positif dalam menjalani kehidupan. Namun, di sisi lain tentu saja kita juga mengamati bahwa kemiskinan sangat bisa menggerogoti kebahagiaan. Sebaliknya, kesejahteraan sangat mungkin meningkatkan kebahagiaan.
*** Dalam Indeks Kebahagiaan 2014 (BPS, 2015) dari tiga puluh empat provinsi di Indonesia, Provinsi Kepulauan Riau memiliki urutan indeks kebahagiaan tertinggi dengan angka 72,42. Hal yang mencengangkan, penduduk di Papua dengan sumber daya alam (SDA) relatif kaya di negeri ini, justru dianggap paling tidak bahagia dengan angka jauh di bawah Riau, yaitu 60,97.
Sebuah kenyataan yang sebenarnya mengenaskan. Betapa tidak. Papua yang didendangkan Franky Sahilatua sebagai ”surga kecil yang jatuh ke bumi”, ternyata memegang rekor terburuk terkait persentase kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kebahagiaan. Menanggapi hal tersebut, pimpinan Dewan Adat Papua Fadhal al Hamid mengatakan, yang dibutuhkan warga Papua sebenarnya bukansekadarukuran ekonomi dan statistik, melainkan juga hal yang lain.
Menurutnya, dalam proses pembangunan, banyak kasus yang menunjukkan bahwa orang Papua belum dipandang sebagai warga negara yang sa ma dengan warga Indonesia lainnya. Walaupunadabanyak perhatian, tetapi kasus-kasus pelanggaran HAM atau kekerasan negara terhadap rakyat, juga perampasan hak-hak masyarakat atas hutan, tanah, tambang dan lain-lain, selalu mengakibatkan perasaantidakdihargai oleh negara. (BBC, 6/2/2015) Kenyataannya, kondisi riil Tanah Papua saat ini dipenuhi oleh berbagai hal yang kontradiktif.
Di satu sisi, Tanah Papua memiliki tiga modal dasar yang bisa menjadi faktor utama pembawa kesejahteraan, yaitu SDA yang berlimpah, kawasan ekosistem yang luas dan kaya serta jumlah penduduk yang relatif sedikit, sekitar empat juta jiwa. Modal dasar tersebut semakin diperkuat dengan adanya transfer dana dari pusat berupa pembagian hasil eksplorasi SDA dan dana otonomi khusus (otsus) yang, sejak diberlakukannya otsus 12 tahun lalu, berjumlah sekitar Rp40 triliun.
Namun, di sisi lain, potensi modal dasar yang demikian besar tidak membawa hasil yang sebanding. Persentase kemiskinan di Tanah Papua, misalnya, masih di atas 20%, jauh di atas rata-rata nasional. Dari kondisi tersebut, yang menjadi keprihatinan luas adalah kenyataan bahwa mayoritas orang asli Papua (OAP) sebagai pemilik awal ”surga kecil” ini, masih berkutat dalam kemiskinan dan ”keterbelakangan”.
Usia harapan hidup, lama pendidikan, dan kondisi kesehatan penduduk asli, misalnya, jauh lebih rendah dibandingkan pendatang. Terkait ketidakadilan, Tanah Papua bukan pengecualian. Secara konkret kebijakan pembangunan (ekonomi) di seluruh Indonesia sejak lebih dari empat dekade, tidak berpihak pada kelompok miskin, kurang atau bahkan tidak peka terhadap (nilai) budaya dan zona ekosistem yang mempengaruhi budaya, mata pencaharian, dan pola hidup penduduk (adat) di sekitarnya.
*** Selama ini, pertumbuhan perekonomian negeri ini lebih bertumpu pada ekspor bahan baku SDA, sektor keuangan, dan usaha padat modal yang kurang memberikan kontribusi terhadap perluasan lapangan pekerjaan. Konkretnya, pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membawa dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan mayoritas orang miskin yang bekerja di sektor pertanian kecil yang selama ini terbengkalai.
Menggunakan tolok ukur yang lebih manusiawi berupa penghasilan minimum USD2/ hari, makamerekayangdianggap sangat miskin, miskin, hampir miskin dan rentan miskin, diperkirakan berjumlah di atas 60%, atau sekitar 150 juta total penduduk Indonesia. Dengan menggunakan tolok ukur minimum dari BPS, dengan kategori orang miskin ialah dia yang berpenghasilan di bawah Rp300ribu/kepala/ bulan, patut diragukan bahwa tingkat kepuasan atau kebahagiaan mayoritas masyarakat bisa dianggap cukup.
Ironisnya, pada saat yang sama kekayaan atau kue ekonomi makin terkonsentrasi di tangan segelintir orang superkaya. Tahun 2014, harta 40 orang terkaya di negeri ini mencapai Rp850 triliun atau setara dengan 10% PDB kita.
Rasio Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan, juga meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir: dari 0,32 (2004) menjadi 0,43 (2014). Bagi pemerintah, sangat mendesak untuk melakukan kebijakan yang berpihak pada orang miskin agar terjadi pemerataan kesejahteraan, sebagai bagian dari pemerataan kebahagiaan.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
Berkurangnya angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2014 dibandingkan 2013, menurut BPS (2015) memang telah meningkatkan Indeks Kebahagiaan Indonesia dibanding tahun 2013.
Hal ini terlihat dari data BPS (5/2/2015) yang mencatat indeks kebahagiaan Indonesia tahun 2014 sebesar 68,28 pada skala 0-100, atau meningkat 3,17 poin dibanding tahun sebelumnya yang ”hanya” 65,11.
Indeks Kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan esensial yang memiliki besaran kontribusi berbeda-beda terhadap indeks kebahagiaan, yakni pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan.
Hal ini terjadi karena perbedaan penilaian mengenai derajat pentingnya setiap aspek kehidupan terhadap tingkat kebahagiaan secara keseluruhan. Terdapat tiga aspek kehidupan yang memiliki kontribusi paling tinggi, yaitu pendapatan rumah tangga (14,64%), kondisi rumah dan aset (13,22%), serta pekerjaan (13,12%). Tingkat kepuasan tertinggi pada tahun 2014, berkaitan dengan keharmonisan keluarga, sebesar 78,89%.
Sementara tingkat kepuasan paling rendah terjadi pada aspek pendidikan yang hanya mencapai 58,28%. Di dunia, peringkat Indonesia terbilang cukup tinggi. Dalam laporan yang disusun oleh Gallup Inc (2015), Indonesia berada pada peringkat 12 dalam daftar 20 negara paling bahagia di dunia. Negeri ini terkenal sebagai negara dengan penduduk yang ramah dan murah senyum.
Di pedesaan yang terbilang miskin atau di kampung kota yang kumuh pun, para turis dipastikan menemukan anak-anak dan orang dewasa yang menyapa mereka dengan senyum dan tawa ramah. Lebih dari itu, dalam tayangan liputan televisi terkait terbakarnya lebih dari 200 rumah di kawasan (kumuh) Tanah Abang, beberapa korban yang diwawancara terlihat masih tersenyum ketika menggambarkan betapa ”rakus” dan cepatnya api melahap rumah dan harta benda mereka.
Sulit membayangkan, sang korban tersenyum ketika hal serupa terjadi di negara-negara kaya, padahal bisa dipastikan bahwa mereka akan memperoleh ganti rugi setimpal, bukan sekadar pergantian barang yang terbakar. Berbasis pengamatan seperti itu, apakah kita layak menyimpulkan bahwa tingkat kebahagiaan seseorang atau sebuah bangsa, memang tidak sepenuhnya ditentukan oleh kondisi kesejahteraan?
Di satu sisi, survei dari Gallup Incmenunjukkan uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Itulah yang terlihat ketika warga Singapura, sebagainegara denganGDP per kapita tertinggi kelima di seantero bumi, menempati urutan pertama di dunia sebagai yang paling tidak gembira dan positif dalam menjalani kehidupan. Namun, di sisi lain tentu saja kita juga mengamati bahwa kemiskinan sangat bisa menggerogoti kebahagiaan. Sebaliknya, kesejahteraan sangat mungkin meningkatkan kebahagiaan.
*** Dalam Indeks Kebahagiaan 2014 (BPS, 2015) dari tiga puluh empat provinsi di Indonesia, Provinsi Kepulauan Riau memiliki urutan indeks kebahagiaan tertinggi dengan angka 72,42. Hal yang mencengangkan, penduduk di Papua dengan sumber daya alam (SDA) relatif kaya di negeri ini, justru dianggap paling tidak bahagia dengan angka jauh di bawah Riau, yaitu 60,97.
Sebuah kenyataan yang sebenarnya mengenaskan. Betapa tidak. Papua yang didendangkan Franky Sahilatua sebagai ”surga kecil yang jatuh ke bumi”, ternyata memegang rekor terburuk terkait persentase kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kebahagiaan. Menanggapi hal tersebut, pimpinan Dewan Adat Papua Fadhal al Hamid mengatakan, yang dibutuhkan warga Papua sebenarnya bukansekadarukuran ekonomi dan statistik, melainkan juga hal yang lain.
Menurutnya, dalam proses pembangunan, banyak kasus yang menunjukkan bahwa orang Papua belum dipandang sebagai warga negara yang sa ma dengan warga Indonesia lainnya. Walaupunadabanyak perhatian, tetapi kasus-kasus pelanggaran HAM atau kekerasan negara terhadap rakyat, juga perampasan hak-hak masyarakat atas hutan, tanah, tambang dan lain-lain, selalu mengakibatkan perasaantidakdihargai oleh negara. (BBC, 6/2/2015) Kenyataannya, kondisi riil Tanah Papua saat ini dipenuhi oleh berbagai hal yang kontradiktif.
Di satu sisi, Tanah Papua memiliki tiga modal dasar yang bisa menjadi faktor utama pembawa kesejahteraan, yaitu SDA yang berlimpah, kawasan ekosistem yang luas dan kaya serta jumlah penduduk yang relatif sedikit, sekitar empat juta jiwa. Modal dasar tersebut semakin diperkuat dengan adanya transfer dana dari pusat berupa pembagian hasil eksplorasi SDA dan dana otonomi khusus (otsus) yang, sejak diberlakukannya otsus 12 tahun lalu, berjumlah sekitar Rp40 triliun.
Namun, di sisi lain, potensi modal dasar yang demikian besar tidak membawa hasil yang sebanding. Persentase kemiskinan di Tanah Papua, misalnya, masih di atas 20%, jauh di atas rata-rata nasional. Dari kondisi tersebut, yang menjadi keprihatinan luas adalah kenyataan bahwa mayoritas orang asli Papua (OAP) sebagai pemilik awal ”surga kecil” ini, masih berkutat dalam kemiskinan dan ”keterbelakangan”.
Usia harapan hidup, lama pendidikan, dan kondisi kesehatan penduduk asli, misalnya, jauh lebih rendah dibandingkan pendatang. Terkait ketidakadilan, Tanah Papua bukan pengecualian. Secara konkret kebijakan pembangunan (ekonomi) di seluruh Indonesia sejak lebih dari empat dekade, tidak berpihak pada kelompok miskin, kurang atau bahkan tidak peka terhadap (nilai) budaya dan zona ekosistem yang mempengaruhi budaya, mata pencaharian, dan pola hidup penduduk (adat) di sekitarnya.
*** Selama ini, pertumbuhan perekonomian negeri ini lebih bertumpu pada ekspor bahan baku SDA, sektor keuangan, dan usaha padat modal yang kurang memberikan kontribusi terhadap perluasan lapangan pekerjaan. Konkretnya, pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membawa dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan mayoritas orang miskin yang bekerja di sektor pertanian kecil yang selama ini terbengkalai.
Menggunakan tolok ukur yang lebih manusiawi berupa penghasilan minimum USD2/ hari, makamerekayangdianggap sangat miskin, miskin, hampir miskin dan rentan miskin, diperkirakan berjumlah di atas 60%, atau sekitar 150 juta total penduduk Indonesia. Dengan menggunakan tolok ukur minimum dari BPS, dengan kategori orang miskin ialah dia yang berpenghasilan di bawah Rp300ribu/kepala/ bulan, patut diragukan bahwa tingkat kepuasan atau kebahagiaan mayoritas masyarakat bisa dianggap cukup.
Ironisnya, pada saat yang sama kekayaan atau kue ekonomi makin terkonsentrasi di tangan segelintir orang superkaya. Tahun 2014, harta 40 orang terkaya di negeri ini mencapai Rp850 triliun atau setara dengan 10% PDB kita.
Rasio Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan, juga meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir: dari 0,32 (2004) menjadi 0,43 (2014). Bagi pemerintah, sangat mendesak untuk melakukan kebijakan yang berpihak pada orang miskin agar terjadi pemerataan kesejahteraan, sebagai bagian dari pemerataan kebahagiaan.
(ars)