Nyepi di Bali, Gundah di Sini

Senin, 23 Maret 2015 - 09:55 WIB
Nyepi di Bali, Gundah...
Nyepi di Bali, Gundah di Sini
A A A
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta

Setiap manusia memiliki dambaan untuk hidup bahagia. Kebahagiaan seringkali diukur oleh tercapainya seluruh keinginan imajinasi yang bersemayam dalam setiap diri dan hatinya.

Pencapaian kebahagiaan tersebut telah melahirkan ikhtiar imajinasi dan ragawi dalam sistem hidup yang semakin kompetitif. Hidup seperti arena balapan, saling mengejar, berburu tak mengenal waktu, menyalip di tikungan, tertawa kegirangan. Pedih tersisih, seolah seluruh jalan mengalami kebuntuan.

Semakin tinggi kompetisi pencapaian seluruh hasrat dan keinginan semakin meningkat angka depresi. Muncullah keragaman penyakit, maag, kolesterol, tekanan darah tinggi, kanker, diabetes, jantung, dan beragam penyakit lainnya seolah berkompetisi dengan seluruh pencapaian dan harapan manusia. Siklus hidup yang terus berliku, keinginan yang tak pernah berhenti melahirkan satu tanya yang mungkin sulit dijawab.

Benarkah kita bahagia? Ma Icih, maestro tua yang sangat memahami makna hidup, berujar sambil tersenyum, “Orang kaya itu aneh, bikin rumah besar-besar dengan berbagai fasilitas, ada kolam renangnya, ada taman bunganya, ada ruang fitness -nya ada ruang karaokenya, ada tempat saunanya, ada salonnya, serta kelengkapan seluruh pelayanan yang dibutuhkan berikut para pelayan yang ahli pada bidangnya, tapi kunaon atuh sakitu geus sagala aya di imahna, tara daek cicing di imah... (tapi mengapa meski sudah segala tersedia di rumahnya, tidak mau tinggal di rumah) tiap minggu pelesir wae , ka Bali, Lombok, Bunaken, Raja Ampat, Toraja, Toba, Singapura, Hawaii, New Zealand, dan Australia.

Dipikir-pikir kalau tidak pernah ditinggali, sudah tidak perlu buat rumah yang besar, kecil saja seperti punya Ema . Setelah itu ternyata rumahnya bukan satu, tapi sangat banyak. Bukan hanya di Indonesia, tapi di berbagai negara. Dipikirpikir sama Ema , ternyata yang bahagia tinggal di rumah itu adalah pembantunya, tukang kebunnya, tukang tamannya, dan satpamnya, yang bisa dilihat dari tidurnya yang kerek meni nyegrek (mendengkur).

Jadi kalau menurut Ema, orang yang tukang pelesir itu orang yang tidak bahagia karena setiap hari harus mencari kebahagiaan. Beda dengan Ema sama Mang Udin, tidak pernah ke mana-mana. Di rumah Ema bahagia, pergi ke kebon ngambil daun singkong, ngambil cengek (cabai rawit), ngala (memetik) jengkol, dan ngala peuteuy (pete) itu juga membuat Ema bahagia. Pergi ke sawah ngala tutut, ngala belut, nambah deh bahagia Ema .

Pulang ke rumah terus dimasak tuh . Aduh, sanguhaneut (nasihangat) sama beuleum peuteuy (pete panggang), terus lauknya sama sambal belut, lalabnya daun sampeu (singkong) sama daun jengkol muda, aduuuh ... terbang deh Ema. Cuci mulutnya sama jengkol, biar tidak bau peuteuy. Waduh, malamnya Ema tidur nyenyak sama Mang Udin.

Walaupun Mang Udin kentutnya tidak pernah berhenti, tapi tidak pernah membuat bau ruangan Ema , karena rumah Ema dari bilik... Walaupun di kampung Ema listrik waktu malam hari sering mati, tidak membuat Ema jadi stres karena Ema tidur nyenyak tanpa harus terganggu oleh listrik mati. Tidak takut kehilangan hiburan ketika malam, kan emang Ema mah nggak punya TV. Cukup saja mendengarkan musik jangkrik sama tongeret...

*** Ternyata kebahagiaan Ema itu sekarang menjadi virus yang cukup ampuh menyebar di antero jagat raya. Orang-orang kota hari ini mencari rumah-rumah bambu di pinggir danau, di pinggir sungai, dan di pinggir hutan.

Mereka mulai menggemari nasi akeul, tutug oncom, beuleum peda, beuleum peuteuy dan kelihatan mereka begitu bahagia menikmati tradisi Ema . Di kampung-kampung sekarang berjejer mobil-mobil mewah yang hanya ingin makan enak, tidur nyenyak. Kasihan sekali orang-orang pandai, makan enak saja harus pergi jauh, tidur nyenyak saja sampai harus berkeliling dulu, padahal sekolahnya tinggi-tinggi.

Tidur saja mesti latihan lagi kaya anak-anak. Kebiasaan moyan atau berjemur yang dulu suka Ema lakukan waktu kecil, ternyata menjadi tradisi yang sangat mahal yang dilakukan oleh orang-orang asing. Mereka hari ini begitu bahagia berjemur berjejer di pinggir pantai. Ema jadi teringat waktu kecil, suka bermain di pinggir sawah dengan hanya mengenakan celana dalam. Sekarang, ternyata itu menjadi tren yang sangat mendunia.

Bukan hanya anak-anak yang main di pinggir pantai dengan hanya mengenakan celana dalam, tetapi anak muda bahkan orang tua melakukannya dengan penuh kebahagiaan. Kalau seperti itu, ternyata kebudayaan kita ini sangat tinggi. Jangankan kebudayaan orang tua, kebudayaan anak-anak saja memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan nilai pasar yang sangat luas.

Kalau begitu, seluruh tata cara anak muda di kampung Ema yang hari ini berubah harus dievaluasi; minuman bersoda dan berkaleng, tiap hari momotoran, baju bergaya perkotaan, makanan pabrikan, ternyata seluruh yang diminum, yang dipakai dan yang dimakan telah membuat orang-orang kota tidak bahagia. Kalau orang kota saja tidak bahagia terhadap apa yang dilakukannya dalam setiap hari dan mencari kebahagiaan di desa, kenapa orang desa harus mengikuti gaya kota, ya?

Mending kalau cara memperolehnya dengan uang hasil keringat sendiri, ini mah dengan menjual kebun, menjual sawah, yang dibeli oleh orang kota. Terus nanti kalau habis mau tinggal di mana? Kita mah menyambut orang kota yang datang ke desa dengan senyum dan kegembiraan, pintu rumah kita buka lebarlebar tanpa ada kecurigaan, tapi coba orang desa datang ke kota, bisa enggak kita nginep di rumah mereka? Mau enggak mereka menerima kita tanpa kecurigaan? Aduh, suka sesak kalau cerita begini.

*** Orang Bali dengan keyakinan ajaran dan tradisinya telah mampu mengidentifikasi seluruh kebutuhan dasar manusia bahwa manusia memerlukan ruang yang kosong, yang selama ini tidak pernah terisi. Kebisingan ternyata tanpa suara, keramaian ternyata hampa. Tradisi Nyepi di Bali merupakan manifestasi dari kebutuhan manusia untuk tidak perlu mendengar suara tanpa makna, melihat cahaya tapi gelap, bicara tapi bisu, ramai tapi sepi, sehingga seluruh gerak ragawi yang kosong itu dihilangkan, ditiadakan dalam sesaat.

Hati bicara tanpa suara, angin berembus dengan makna, gelap tapi terang, menyepikan diri menemui relung-relung jiwa yang hilang, terbang ke alam kahyangan, bercengkerama dengan Hyang Tunggal Penguasa Seluruh Alam. Bukankah tradisi Nyepi di Bali telah diadopsi oleh para pemimpin di berbagai tempat dengan kebijakan yang sepotong- sepotong; car free day dan car free night, yang cukup dinikmati dan banyak membuat orang bahagia.

Bukankah itu mengadopsi tradisi Nyepi? Kalau itu membuat bahagia, bagi seluruh rakyatnya tak ada salahnya kalau setahun sekali atau kalau mungkin sebulan sekali, atau mungkin seminggu sekali, kita membuat Nyepi di seluruh lingkungan kita. Parkirkan kendaraan di rumah, matikan listrik, hentikan seluruh aktivitas, tinggallah di rumah bersama keluarga, nikmati seluruh yang ada tanpa suara yang melengking, tanpa kata-kata yang tajam setajam silet.

Kalau itu dilakukan, berapa banyak energi yang terefisienkan, berapa triliun rupiah uang keluarga yang tersimpan untuk masa depan, tidak terus menerus dihabiskan di jalan dan di tempat tujuan. Saatnya kita menyepikan diri dari ucapan-ucapan kotor yang tak bermakna, saatnya kita menyepikan diri dari berbagai perbuatan yang tidak membahagiakan banyak orang, saatnya kita tidak mengklaim diri sebagai pemegang otoritas kebenaran yang pasti, saatnya kita melakukan introspeksi bahwa seluruh langkah yang kita lakukan adalah langkah yang selalu ingin mendapat pujian, mendapat sanjungan dan melupakan tujuan hidup yang berketuhanan.

Saatnya kita menyadari bahwa seluruh kebenaran yang ada dalam pandangan dan pendengaran kita adalah kebenaran yang diciptakan oleh kita sendiri, kebenaran yang tersentra pada sebuah kekuatan kapital.

Saatnya kita menyadari, sebelum seluruhnya lumpuh dan dilumpuhkan oleh alam yang seluruh otoritas kekuatannya dalam genggaman Hyang Tunggal. Leluhur Bali telah mengajarkan esensi kemanusiaan melalui Hari Raya Nyepi. Budaya Bali adalah Indonesia yang sebenarnya.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7863 seconds (0.1#10.140)