Nyepi dan Revolusi Mental
A
A
A
Bagi umat Hindu Indonesia, Nyepi Tahun Baru Saka 1937 yang jatuh bertepatan dengan Sabtu, 21 Maret 2015, merupakan Nyepi pertama ketika bangsa ini berada di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan panggilan akrabnya Jokowi.
Sejak jauh sebelum dan setelah terpilih sebagai presiden RI ketujuh, Jokowi mengembuskan Nawacita yang merupakan sembilan agenda prioritas untuk mewujudkan visi dan misinya sebagai pemimpin salah satu negara besar di dunia. Dalam poin ke-8 Nawacita tersebut, disebutkan ”Melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan nasional.”
Sesungguhnya revolusi karakterbangsayangseringdisebut sebagai revolusi mental dapat ditempuh tidak saja melalui penataan kurikulum pendidikan, tetapi dapat juga dilakukan secara menyeluruh dan masif kepada masyarakat luas tanpa mengenal usia, status, dan lainnya. Karakter yang dalam KBBI dipadankan dengan budi pekerti akan memengaruhi sikap dan sikap akan membentuk perilaku.
Perilaku yang berulang kemudian akan menjadi kebiasaan dan akhirnya kebiasaan menjadi budaya. Budi pekerti yang luhur niscaya akan melahirkan budaya yang adiluhung. Sebaliknya, budi pekerti yang kurang terasah akan melahirkan kebiasaan yang tidak berbudaya.
Akhir-akhir ini bangsa kita sedang dilanda oleh degradasi moral yang diikuti dengan semakin menipisnya budi pekerti. Penipisan budi pekerti atau karakter manusia Indonesia tampak dari perilaku dan kebiasaan yang tidak mencerminkan budaya adiluhung yang sejatinya menjadi jiwa bangsa Indonesia selama ini. Perilaku tersebut di antaranya:
Pertama, permisif, semua bisa diatur dan boleh-boleh saja asalkan memberi keuntungan kepada seseorang atau sekelompok orang tanpa menghitung dampak negatif yang ditimbulkannya. Termasuk dengan melanggar etika dan peraturan perundang- undangan yang ada.
Kedua, hipokrit, munafik (tidak satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan). Tentu kita masih ingat dengan jargon politik ”katakan tidak pada korupsi”, namun pada akhirnya beberapa orang darinya terbukti melakukan tindakan tak terpuji itu. Pengetahuan agama dan ekspresi keagamaan tidak jarang hanya dipakai untuk menutupi kebusukan yang dilakukannya.
Ketiga, machiavelis, tujuan menjadi segala-galanya. Apa pun tujuan yang ingin diwujudkan akan dicapai dengan menghalalkan segala cara tanpa menghitung kepentingan pihak lain. Tipu daya, menerabas, sogok, dan suap menjadi hal biasa dalam mencapai tujuan.
Keempat, egoistis, mau menang sendiri. Bila orang lain yang menang, berbagai upaya dilakukan untuk menghalangi kemenangan mereka. Orientasinya hanya kepada dirinya sendiri, yang penting aku menang dan senang, peduli amat pada orang lain. Dalam kondisi ini, yang kuat akan selalu mengalahkan yang lemah, termasuk dalam perebutan sumber daya ekonomi. Rasio gini yang semakin meningkat menunjukkan semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat Indonesia.
Kelima, materialistis, menempatkan uang dan materi di atas segala-galanya. Sebuah kalimat satiris menggambarkan perilaku tersebut yakni ”keuangan yang maha esa,” demikian sering kita dengar. Sebagian orang, dengan berbagai cara yang tidak terpuji, mengumpulkan uang dan harta sebanyak-banyaknya, entah dengan menilap uang rakyat atau dengan sekadar mencopet di angkutan umum atau menipu rekan bisnis. Gelimang materi dan kekayaan memiliki daya tarik dan daya pikat yang luar biasa. Meski sudah banyak koruptor yang menjalani sebagian hidupnya dipenjara, perilaku korup tetap merebak dan meruyak di segala bidang dan lini.
Keenam, hedonistis, hidup berfoya-foya danhura-hura. ”Hidup hanya sekali, nikmati sepuas- pusanya” begitulahprinsip hidup yang digenggamnya. Tanpa peduli dari mana uang yang digunakan, yang penting happy. Narkotika dan penyalahgunaan obat terlarang menjadi sarana untuk memenuhi gelora jiwa tak terkendali. Minuman keras (termasuk oplosan) menjadi pemuas dahaga, dan seks bebas (cinta satu malam) menjadi teman setia sampai langit ketujuh.
Ketujuh, sarkastis, kata-kata kasar sudah menjadi bahasa sehari- hari. Saling umpat tidak hanya terjadi di dalam rumah, tetapi juga di ruang publik bahkan di gedung wakil rakyat yang sangat terhormat. ”Bahasa menunjukkan bangsa” yang menuntut kesantunan berbahasa tidak lagi menjadi kebanggaan.
Kedelapan, sadistis, berbuat kejam tidak berperikemanusiaan. Hanya karena persoalan sepele seperti uang parkir yang kurang atau ”diomeli” oleh majikan, nyawa menjadi penggantinya. Hanya karena cinta bertepuk sebelah tangan atau keinginan memiliki telepon tangan (handphone), nyawa tak ada artinya. Melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial) hari-hari kita selalu diisi dengan berita pembunuhan (kadang disertai mutilasi) dengan berbagai latar belakang dan motifnya.
Kesembilan, fatalistis, semakin banyak yang ”berani mati, tetapi tidak berani hidup.” Hanya karena tidak punya baju sembahyang, hanya karena tidak diberi uang jajan, hanya karena tidak memiliki seragam sekolah, hanya karena cinta ditolak, bunuh diri menjadi solusi satu-satunya. Angka bunuh diri di berbagai daerah menun-jukkan peningkatan yang signifikan. Ini menjadi indikator semakin menurunnya penghargaan terhadap hak hidup, termasuk hidupnya sendiri.
Setelah melakukan introspeksi terkait kondisi seperti tersebut di atas, menjadi sebuah kebutuhan sekaligus kewajiban bersama untuk mendukung ”Revolusi Mental” yang digaungkan dan dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Tanpanya, dikhawatirkan pada suatu saat bangsa ini akan menjadi bangsa barbar yang kehilangan keadaban.
Diperlukan kesadaran bersama bahwa bangsa ini dapat jatuh mencapai titik nadir peradaban apabila tidak ada upaya serius untuk membenahinya. Hendaknya ditumbuhkembangkan kesadaran bahwa sejatinya kita yang dilahirkan sebagai manusia, dibekali dengan Tri Pramana (Tiga Kemampuan Dasar) yaitu budhi (nurani), manah (pikiran), dan ahamkara (naluri).
Budhi (nurani) dan pikiran kita harus mampu mengendalikan naluri yang ada dalam diri dan tidak membiarkannya bergerak bebas tanpa kendali. Salah satu momentum untuk mengembalikan kesadaran kita adalah saat menyelesaikan satu putaran waktu seperti ketika memasuki tahun baru, termasuk Tahun Baru Saka bagi umat Hindu.
Pada tanggal 1 Waisaka (bulan pertama Kalender Saka) yang tahun ini bertepatan dengan Sabtu, 21 Maret 2015, umat Hindu melaksanakan Nyepi sebagai wahana kontemplasi, melakukan introspeksi, refleksi, dan retrospeksi dengan sejenak menoleh ke belakang guna menelaah dan mengevaluasi perbuatan, termasuk perilaku kita setahun terakhir.
Kemudian dengan tekad bulat dan kuat kita membuat resolusi untuk berbuat lebih baik dengan mengurangi bahkan menghilangkan perilaku yang menyimpang dari tuntunan ajaran agama, merugikan orang lain dan lingkungan, serta merendahkan harkat dan martabat sebagai makhluk yang ber-budhi dan menyandang predikat manusia.
Selamat Tahun Baru Saka 1937, semoga senantiasa mendapat tuntunan dan anugerah Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa.
I Ketut Parwata
Sekretaris Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
Sejak jauh sebelum dan setelah terpilih sebagai presiden RI ketujuh, Jokowi mengembuskan Nawacita yang merupakan sembilan agenda prioritas untuk mewujudkan visi dan misinya sebagai pemimpin salah satu negara besar di dunia. Dalam poin ke-8 Nawacita tersebut, disebutkan ”Melakukan revolusi karakter bangsa melalui penataan kembali kurikulum pendidikan nasional.”
Sesungguhnya revolusi karakterbangsayangseringdisebut sebagai revolusi mental dapat ditempuh tidak saja melalui penataan kurikulum pendidikan, tetapi dapat juga dilakukan secara menyeluruh dan masif kepada masyarakat luas tanpa mengenal usia, status, dan lainnya. Karakter yang dalam KBBI dipadankan dengan budi pekerti akan memengaruhi sikap dan sikap akan membentuk perilaku.
Perilaku yang berulang kemudian akan menjadi kebiasaan dan akhirnya kebiasaan menjadi budaya. Budi pekerti yang luhur niscaya akan melahirkan budaya yang adiluhung. Sebaliknya, budi pekerti yang kurang terasah akan melahirkan kebiasaan yang tidak berbudaya.
Akhir-akhir ini bangsa kita sedang dilanda oleh degradasi moral yang diikuti dengan semakin menipisnya budi pekerti. Penipisan budi pekerti atau karakter manusia Indonesia tampak dari perilaku dan kebiasaan yang tidak mencerminkan budaya adiluhung yang sejatinya menjadi jiwa bangsa Indonesia selama ini. Perilaku tersebut di antaranya:
Pertama, permisif, semua bisa diatur dan boleh-boleh saja asalkan memberi keuntungan kepada seseorang atau sekelompok orang tanpa menghitung dampak negatif yang ditimbulkannya. Termasuk dengan melanggar etika dan peraturan perundang- undangan yang ada.
Kedua, hipokrit, munafik (tidak satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan). Tentu kita masih ingat dengan jargon politik ”katakan tidak pada korupsi”, namun pada akhirnya beberapa orang darinya terbukti melakukan tindakan tak terpuji itu. Pengetahuan agama dan ekspresi keagamaan tidak jarang hanya dipakai untuk menutupi kebusukan yang dilakukannya.
Ketiga, machiavelis, tujuan menjadi segala-galanya. Apa pun tujuan yang ingin diwujudkan akan dicapai dengan menghalalkan segala cara tanpa menghitung kepentingan pihak lain. Tipu daya, menerabas, sogok, dan suap menjadi hal biasa dalam mencapai tujuan.
Keempat, egoistis, mau menang sendiri. Bila orang lain yang menang, berbagai upaya dilakukan untuk menghalangi kemenangan mereka. Orientasinya hanya kepada dirinya sendiri, yang penting aku menang dan senang, peduli amat pada orang lain. Dalam kondisi ini, yang kuat akan selalu mengalahkan yang lemah, termasuk dalam perebutan sumber daya ekonomi. Rasio gini yang semakin meningkat menunjukkan semakin lebarnya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat Indonesia.
Kelima, materialistis, menempatkan uang dan materi di atas segala-galanya. Sebuah kalimat satiris menggambarkan perilaku tersebut yakni ”keuangan yang maha esa,” demikian sering kita dengar. Sebagian orang, dengan berbagai cara yang tidak terpuji, mengumpulkan uang dan harta sebanyak-banyaknya, entah dengan menilap uang rakyat atau dengan sekadar mencopet di angkutan umum atau menipu rekan bisnis. Gelimang materi dan kekayaan memiliki daya tarik dan daya pikat yang luar biasa. Meski sudah banyak koruptor yang menjalani sebagian hidupnya dipenjara, perilaku korup tetap merebak dan meruyak di segala bidang dan lini.
Keenam, hedonistis, hidup berfoya-foya danhura-hura. ”Hidup hanya sekali, nikmati sepuas- pusanya” begitulahprinsip hidup yang digenggamnya. Tanpa peduli dari mana uang yang digunakan, yang penting happy. Narkotika dan penyalahgunaan obat terlarang menjadi sarana untuk memenuhi gelora jiwa tak terkendali. Minuman keras (termasuk oplosan) menjadi pemuas dahaga, dan seks bebas (cinta satu malam) menjadi teman setia sampai langit ketujuh.
Ketujuh, sarkastis, kata-kata kasar sudah menjadi bahasa sehari- hari. Saling umpat tidak hanya terjadi di dalam rumah, tetapi juga di ruang publik bahkan di gedung wakil rakyat yang sangat terhormat. ”Bahasa menunjukkan bangsa” yang menuntut kesantunan berbahasa tidak lagi menjadi kebanggaan.
Kedelapan, sadistis, berbuat kejam tidak berperikemanusiaan. Hanya karena persoalan sepele seperti uang parkir yang kurang atau ”diomeli” oleh majikan, nyawa menjadi penggantinya. Hanya karena cinta bertepuk sebelah tangan atau keinginan memiliki telepon tangan (handphone), nyawa tak ada artinya. Melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial) hari-hari kita selalu diisi dengan berita pembunuhan (kadang disertai mutilasi) dengan berbagai latar belakang dan motifnya.
Kesembilan, fatalistis, semakin banyak yang ”berani mati, tetapi tidak berani hidup.” Hanya karena tidak punya baju sembahyang, hanya karena tidak diberi uang jajan, hanya karena tidak memiliki seragam sekolah, hanya karena cinta ditolak, bunuh diri menjadi solusi satu-satunya. Angka bunuh diri di berbagai daerah menun-jukkan peningkatan yang signifikan. Ini menjadi indikator semakin menurunnya penghargaan terhadap hak hidup, termasuk hidupnya sendiri.
Setelah melakukan introspeksi terkait kondisi seperti tersebut di atas, menjadi sebuah kebutuhan sekaligus kewajiban bersama untuk mendukung ”Revolusi Mental” yang digaungkan dan dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Tanpanya, dikhawatirkan pada suatu saat bangsa ini akan menjadi bangsa barbar yang kehilangan keadaban.
Diperlukan kesadaran bersama bahwa bangsa ini dapat jatuh mencapai titik nadir peradaban apabila tidak ada upaya serius untuk membenahinya. Hendaknya ditumbuhkembangkan kesadaran bahwa sejatinya kita yang dilahirkan sebagai manusia, dibekali dengan Tri Pramana (Tiga Kemampuan Dasar) yaitu budhi (nurani), manah (pikiran), dan ahamkara (naluri).
Budhi (nurani) dan pikiran kita harus mampu mengendalikan naluri yang ada dalam diri dan tidak membiarkannya bergerak bebas tanpa kendali. Salah satu momentum untuk mengembalikan kesadaran kita adalah saat menyelesaikan satu putaran waktu seperti ketika memasuki tahun baru, termasuk Tahun Baru Saka bagi umat Hindu.
Pada tanggal 1 Waisaka (bulan pertama Kalender Saka) yang tahun ini bertepatan dengan Sabtu, 21 Maret 2015, umat Hindu melaksanakan Nyepi sebagai wahana kontemplasi, melakukan introspeksi, refleksi, dan retrospeksi dengan sejenak menoleh ke belakang guna menelaah dan mengevaluasi perbuatan, termasuk perilaku kita setahun terakhir.
Kemudian dengan tekad bulat dan kuat kita membuat resolusi untuk berbuat lebih baik dengan mengurangi bahkan menghilangkan perilaku yang menyimpang dari tuntunan ajaran agama, merugikan orang lain dan lingkungan, serta merendahkan harkat dan martabat sebagai makhluk yang ber-budhi dan menyandang predikat manusia.
Selamat Tahun Baru Saka 1937, semoga senantiasa mendapat tuntunan dan anugerah Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa.
I Ketut Parwata
Sekretaris Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
(ftr)