Pemberian Dana Partai Politik
A
A
A
Bawono Kumoro
Peneliti Politik di The Habibie Center
Usul pemberian dana dari negara kepada partai politik kembali mengemuka. Kali ini usul tersebut datang dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Politikus PDI Perjuangan itu mengusulkan setiap partai politik lolos seleksi sebagai peserta pemilu mendapat dana Rp1 triliun per tahun dari pemerintah. Sikap pro dan kontra pun bermunculan terkait usul tersebut. Bagi para fungsionaris dan elite partai politik, usul itu jelas bagai angin surga yang dapat menjamin eksistensi mereka di langgam politik nasional.
Sedangkan bagi sebagian kalangan akademisi dan pegiat demokrasi, usul tersebut dinilai tidak tepat mengingat kondisi partai politik saat ini cenderung mengecewakan. Tidak saja karena partai politik saat ini gagal menjalankan empat fungsi dasar komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik tetapi juga karena keterlibatan para elite mereka dalam sejumlah kasus korupsi.
*** Tidak dapat dimungkiri ketika menghadapi pemilu partai politik membutuhkan sumber daya besaragardapatmendulang suara pemilih secara maksimal. Masalah finansial pun kemudian menjadi hal sangat penting. Tanpa dukungan finansial mencukupi, program kerja dan kampanye kandidat atau partai politik menjadi tidak berarti dan tidak sukses.
(Jacobson, 1980) Undang-Undang Nomor 2 Tahun2008tentangPartaiPolitik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 memang telah mengatur sumber keuangan partai politik. Ada tiga sumber keuangan partai politik. Pertama, iuran anggota partai politik bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara internal oleh partai politik. Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan undangundang mengenai besaran iuran anggota.
Namun, tidak banyak partai politik yang menjalankan mekanisme ini secara teratur. Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan secara teratur karena sebagian besar partai politik tidak dapat menawarkan semacam benefit kepada para anggotanya.
Kedua, sumbangan sah menurut hukum. Pasal 35 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2011 memaparkan tiga sumbangan dimaksud: (1) perseorangan anggota partai politik pelaksanaan diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; (2) perseorangan bukan anggota partai politik paling banyak senilai Rp1.000.000.000 per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran, dan (3) perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
Ketiga, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan belanja Daerah (APBD). Bantuan keuangan dari APBN/ APBD diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkankursidiDPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan suara. Namun, seiring kian padat agenda politik setiap partai pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah maka sumbersumber keuangan di atas tidak lagi mencukupi.
Hal itu kemudian mendorong partai politik berlomba-lomba memperebutkan sumber-sumber keuangan di anggaran negara. Partai politik pun mulai melakukan perburuan rente melalui kader-kader mereka di legislatif dan eksekutif. Perburuan rente dilakukan partai politik jelas merugikan karena menggerogoti anggaran negara melalui pemanfaatan jabatan atau akses politik. Secara umum, ada dua modus utama perburuan rente dilakukan oleh partai politik.
Pertama, melalui lembaga legislatif (DPR/ DPRD). Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran, transaksi dalam pemilihan pejabat publik, dan menggerogoti anggaran negara atau daerah. Kedua, melalui lembaga eksekutif. Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menempatkan kader-kader mereka di kementerian, badan usaha milik negara, dan institusi pemerintahan memiliki akses dana besar.
Di samping itu, perburuan rente di lingkup eksekutif juga dilakukan dengan cara menyewakan partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah kepada kandidat tertentu dengan harga fantastis.
Dugaan skandal dana talangan Bank Century, cek pelawat dalam pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia, korupsi pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah OlahragaNasional Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan kemunculan dana siluman Rp12,1 triliun dalam APDB DKI Jakartamerupakan sejumlah contoh kasus perburuan rente dilakukan partai politik.
*** Kontrol publik sangat terbatas serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai politik semakin menguatkan persekongkolan para elite politik. Secara teoretis, hal ini akan membuat korupsi marak terjadi sebagaimana rumus KlitgaardC=D+M-A(C: corruption, D: discretion , M: monopoly , dan A: accountability).
Rumus mengenai akar semang korupsi ini relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente dilakukan elite politik. (Klitgaard, 2002: 29) Tindak pidana korupsi yang marak melibatkan para elite partai politik dan pejabat publik merupakan salah satu ironi demokrasi di Indonesia. Mereka mendapat legitimasi kekuasaan dari rakyat, tapi setelah berkuasa justru menghisap sumber-sumber keuangan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan.
Berbagai kasus korupsi melibatkan partai politik ditengarai masih akan terus terjadi. Apalagi, partai politik di Indonesia belum mengedepankan pelembagaan transparansi dan akuntabilitas. Akibat ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai politik, publik selama ini tidak pernah mengetahui dari mana saja asal usul dana dimiliki oleh partai politik.
Merujuk elaborasi di atas dapat disimpulkan perilaku korup para elite partai politik saat ini didorong tiga hal: (1) praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam sistem politik Indonesia; (2) kekuasaan terlampau besar partai politik dalam menentukan kebijakan dan anggaran tanpa disertai pengawasan berimbang dan kesadaran pertanggungjawaban publik, dan (3) ketidaktegasan sanksi politik dan pidana bagi partai politik melakukan pengumpulan dana secara ilegal.
Untuk itu, selain perbaikan regulasi dan penetapan sanksi lebih tegas, pemikiran tentang sumber dana alternatif menjadi kunci untuk mengurangi pengumpulan dana secara ilegal oleh partai politik. Salah satu sumber dana alternatif tersebut adalah melalui pemberian negara sebagaimana diusulkan menteri dalam negeri.
Dasar utama dari usul tersebut adalah posisi dan peran strategis partai politik dalam kehidupan demokrasi dan sirkulasi pemerintahan di Indonesia. Karena itu, menjadi tanggung jawab negara agar partai politik berfungsi secara optimal.
Peneliti Politik di The Habibie Center
Usul pemberian dana dari negara kepada partai politik kembali mengemuka. Kali ini usul tersebut datang dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Politikus PDI Perjuangan itu mengusulkan setiap partai politik lolos seleksi sebagai peserta pemilu mendapat dana Rp1 triliun per tahun dari pemerintah. Sikap pro dan kontra pun bermunculan terkait usul tersebut. Bagi para fungsionaris dan elite partai politik, usul itu jelas bagai angin surga yang dapat menjamin eksistensi mereka di langgam politik nasional.
Sedangkan bagi sebagian kalangan akademisi dan pegiat demokrasi, usul tersebut dinilai tidak tepat mengingat kondisi partai politik saat ini cenderung mengecewakan. Tidak saja karena partai politik saat ini gagal menjalankan empat fungsi dasar komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik tetapi juga karena keterlibatan para elite mereka dalam sejumlah kasus korupsi.
*** Tidak dapat dimungkiri ketika menghadapi pemilu partai politik membutuhkan sumber daya besaragardapatmendulang suara pemilih secara maksimal. Masalah finansial pun kemudian menjadi hal sangat penting. Tanpa dukungan finansial mencukupi, program kerja dan kampanye kandidat atau partai politik menjadi tidak berarti dan tidak sukses.
(Jacobson, 1980) Undang-Undang Nomor 2 Tahun2008tentangPartaiPolitik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 memang telah mengatur sumber keuangan partai politik. Ada tiga sumber keuangan partai politik. Pertama, iuran anggota partai politik bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara internal oleh partai politik. Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan undangundang mengenai besaran iuran anggota.
Namun, tidak banyak partai politik yang menjalankan mekanisme ini secara teratur. Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan secara teratur karena sebagian besar partai politik tidak dapat menawarkan semacam benefit kepada para anggotanya.
Kedua, sumbangan sah menurut hukum. Pasal 35 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2011 memaparkan tiga sumbangan dimaksud: (1) perseorangan anggota partai politik pelaksanaan diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; (2) perseorangan bukan anggota partai politik paling banyak senilai Rp1.000.000.000 per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran, dan (3) perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
Ketiga, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan belanja Daerah (APBD). Bantuan keuangan dari APBN/ APBD diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkankursidiDPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan suara. Namun, seiring kian padat agenda politik setiap partai pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah maka sumbersumber keuangan di atas tidak lagi mencukupi.
Hal itu kemudian mendorong partai politik berlomba-lomba memperebutkan sumber-sumber keuangan di anggaran negara. Partai politik pun mulai melakukan perburuan rente melalui kader-kader mereka di legislatif dan eksekutif. Perburuan rente dilakukan partai politik jelas merugikan karena menggerogoti anggaran negara melalui pemanfaatan jabatan atau akses politik. Secara umum, ada dua modus utama perburuan rente dilakukan oleh partai politik.
Pertama, melalui lembaga legislatif (DPR/ DPRD). Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran, transaksi dalam pemilihan pejabat publik, dan menggerogoti anggaran negara atau daerah. Kedua, melalui lembaga eksekutif. Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menempatkan kader-kader mereka di kementerian, badan usaha milik negara, dan institusi pemerintahan memiliki akses dana besar.
Di samping itu, perburuan rente di lingkup eksekutif juga dilakukan dengan cara menyewakan partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah kepada kandidat tertentu dengan harga fantastis.
Dugaan skandal dana talangan Bank Century, cek pelawat dalam pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia, korupsi pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah OlahragaNasional Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan kemunculan dana siluman Rp12,1 triliun dalam APDB DKI Jakartamerupakan sejumlah contoh kasus perburuan rente dilakukan partai politik.
*** Kontrol publik sangat terbatas serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai politik semakin menguatkan persekongkolan para elite politik. Secara teoretis, hal ini akan membuat korupsi marak terjadi sebagaimana rumus KlitgaardC=D+M-A(C: corruption, D: discretion , M: monopoly , dan A: accountability).
Rumus mengenai akar semang korupsi ini relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente dilakukan elite politik. (Klitgaard, 2002: 29) Tindak pidana korupsi yang marak melibatkan para elite partai politik dan pejabat publik merupakan salah satu ironi demokrasi di Indonesia. Mereka mendapat legitimasi kekuasaan dari rakyat, tapi setelah berkuasa justru menghisap sumber-sumber keuangan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan.
Berbagai kasus korupsi melibatkan partai politik ditengarai masih akan terus terjadi. Apalagi, partai politik di Indonesia belum mengedepankan pelembagaan transparansi dan akuntabilitas. Akibat ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai politik, publik selama ini tidak pernah mengetahui dari mana saja asal usul dana dimiliki oleh partai politik.
Merujuk elaborasi di atas dapat disimpulkan perilaku korup para elite partai politik saat ini didorong tiga hal: (1) praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam sistem politik Indonesia; (2) kekuasaan terlampau besar partai politik dalam menentukan kebijakan dan anggaran tanpa disertai pengawasan berimbang dan kesadaran pertanggungjawaban publik, dan (3) ketidaktegasan sanksi politik dan pidana bagi partai politik melakukan pengumpulan dana secara ilegal.
Untuk itu, selain perbaikan regulasi dan penetapan sanksi lebih tegas, pemikiran tentang sumber dana alternatif menjadi kunci untuk mengurangi pengumpulan dana secara ilegal oleh partai politik. Salah satu sumber dana alternatif tersebut adalah melalui pemberian negara sebagaimana diusulkan menteri dalam negeri.
Dasar utama dari usul tersebut adalah posisi dan peran strategis partai politik dalam kehidupan demokrasi dan sirkulasi pemerintahan di Indonesia. Karena itu, menjadi tanggung jawab negara agar partai politik berfungsi secara optimal.
(ars)