Politik Bantuan China-Afrika
A
A
A
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan dalam laman resmi Sekretariat Kabinet bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengadakan kunjungan ke China dan Jepang dalam waktu dekat.
Apabila terlaksana, kunjungan tersebut adalah kedua kalinya bagi Presiden Jokowi dalam 149 hari masa kerjanya. Masyarakat internasional dapat menginterpretasikan kunjungan tersebut sebagai tanda semakin mesranya hubungan Indonesia dengan China. Namun, apakah hubungan mesra itu merupakan tanda semakin menjauhnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa adalah tanda tanya besar yang dapat dijawab hanya lewat aksi-aksi diplomatik ke depan.
Ada kemungkinan, menurut Andi Widjajanto, Presiden Jokowi akan mengunjungi AS setelah kunjungannya ke China dan Jepang. Kunjungan ke AS mungkin dapat mengimbangi kekhawatiran dunia Barat yang semakin galau menghadapi meluasnya pengaruh China di berbagai kawasan.
Semakin rapatnya Indonesia ke China dapat dilihat dari program Nawa Cita Presiden Jokowi tentang Poros Maritim. Juga kebutuhan Indonesia untuk mendapatkan bantuan keuangan demi mendanai pembangunan infrastruktur yang diperlukan, terutama pembangunan pelabuhan, jalan raya, kereta api, bandar udara, dan yang paling penting adalah pembangkit listrik.
China adalah salah satu lumbung dolar terbesar di dunia dan hampir seluruh negara yang butuh utang akan datang ke China. Cadangan devisa mereka dalam mata uang dolar, merujuk pada data September 2014, mencapai USD4 triliun (Bloomberg, 10/6/ 2014). Bandingkan dengan cadangan dolar Indonesia yang hanya mencapai USD111,2 miliar atau kurang dari 2,8% cadangan dolar China.
Posisi keuangan yang signifikan itu membuat posisi China dalam politik luar negeri pun sangat berpengaruh. Posisi tersebut terutama untuk mengamankan dua prinsip ”Kebijakan Satu China” dan ”Kebijakan Nonintervensi”.
Beberapa negara yang menerima bantuan dari China memberikan timbal balik dukungan politik seperti di dalam Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB atau dalam World Trade Organization (WTO). Dalam meluaskan pengaruh China mendirikan lembaga-lembaga keuangan untuk menyalurkan bantuan.
Misalnya, New Development Bank BRICS yang didirikan bersama Rusia, Brasil, Afrika Selatan, dan India; kemudian China-Africa Development Fund. Atau yang terakhir dan menyedot perhatian setelah Inggris bergabung adalah Bank Infrastruktur yang akan mendanai proyek di kawasan Asia.
Dampak nyata dari pengaruh China dan kekuatan keuangannya adalah menguatnya politik nonintervensi. Hal ini yang membedakan antara bantuan dari lembaga keuangan ”tradisional” seperti Bank Dunia atau IMF dengan bantuan yang disalurkan oleh lembaga keuangan yang didukung oleh China.
Lembaga-lembaga bantuan keuangan ”tradisional” sudah terkenal selalu memberikan syarat mulai dari perlindungan lingkungan hidup, transparansi anggaran, hingga HAM–sebelum, sesaat, dan setelah bantuan disalurkan.
Hal ini yang tidak terjadi pada bantuan yang diberikan oleh China. Negara yang menerima bantuan dari China relatif tenang karena tidak khawatir bantuannya akan diputus ketika terjadi gejolak politik di dalam atau luar negeri mereka. Negara-negara yang diuntungkan dengan model politik bantuan China adalah praktis negara-negara yang saat ini menjadi ”musuh” Barat.
Negara tersebut terutama negara-negara Afrika seperti Angola, Sudan, Etiopia, Ghana, Zimbabwe, atau negara-negara yang masuk dalam kategori ”negara gagal” menurut standar masyarakat Barat.
Dalam White Paper Foreign Aid yang ditulis oleh Pemerintah China, bantuan ke Afrika menempati prioritas pertama selama tahun 2010-2014. Dari total bantuan USD14,41 miliar sepanjang periode tersebut, 51,8 % tersalur ke negara-negara kawasan Afrika dan 30,5 persennya ke kawasan Asia. Jumlah yang diterima oleh negara-negara Afrika bertambah 6% sejak 2006.
Bantuan kepada negara-negara di kawasan Afrika tidak semata- mata untuk mengisi kekosongan bantuan akibat ditinggalkan oleh lembaga keuangan ”tradisional” atau demi ”membeli pengaruh” dari negara-negara Afrika. Tetapi juga untuk mengamankan pasokan energi dan sumber daya alam yang menyokong pertumbuhan ekonomi China yang pesat.
Negara-negara di Afrika memiliki cadangan energi berupa minyak dan gas bumi dalam jumlah besar, juga sumber daya alam yang kaya sepertiemas, platinum, mangan, tembaga, dan lainnya. China melakukan hubungan jual beli langsung dengan negara-negara tersebut.
Salah satu tujuannya adalah mengurangi ketergantungan dari harga di pasar dunia yang biasanya sangat dinamis terpengaruh oleh faktor-faktor politik luar negeri yang sensitif. Pendekatan ini berhasil untuk kedua belah pihak. Perdagangan negaranegara Afrika dan China meningkat pesat dalam sepuluh tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2013 perdagangan Afrika dengan AS untuk barang dan jasa masing-masing USD85 miliar dan USD11 miliar. Bersama masyarakat Uni-Eropa, nilai total perdagangan Afrika mencapai USD137 miliar, sementara nilai perdagangan Afrika-China mencapai USD200 miliar.
Hubungan positif antara bantuan yang diberikan dan perdagangan yang meningkat di antara China dan Afrika tentu menggiurkan bagi Indonesia yang sedang giat-giatnya menjual proyek-proyek infrastruktur ke beberapa negara. Indonesia telah menjadi anggota Bank Infrastruktur Asia tahun lalu yang dipelopori oleh China dan berharap segera mendapatkan dana segar.
Harapan tersebut mungkin akan semakin nyata dengan rencana kunjungan Presiden Jokowi dalam waktu dekat ke Beijing. Meski demikian, Indonesia juga perlu waspada terhadap konsekuensi politik atas pilihan untuk mendekat ke China. Negara-negara Afrika melihat ke China karena posisi tawar mereka relatif rendah ke lembaga-lembaga keuangan ”tradisional”.
Selain itu, negara-negara tersebut menganut sistem politiknya nondemokrasi sehingga cocok dengan model politik luar negeri China. Sebaliknya, kondisi Indonesia bertolak belakang dengan Afrika. Kedekatan dengan China perlu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sipil dan parlemen.
Dinna Wisnu, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Apabila terlaksana, kunjungan tersebut adalah kedua kalinya bagi Presiden Jokowi dalam 149 hari masa kerjanya. Masyarakat internasional dapat menginterpretasikan kunjungan tersebut sebagai tanda semakin mesranya hubungan Indonesia dengan China. Namun, apakah hubungan mesra itu merupakan tanda semakin menjauhnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa adalah tanda tanya besar yang dapat dijawab hanya lewat aksi-aksi diplomatik ke depan.
Ada kemungkinan, menurut Andi Widjajanto, Presiden Jokowi akan mengunjungi AS setelah kunjungannya ke China dan Jepang. Kunjungan ke AS mungkin dapat mengimbangi kekhawatiran dunia Barat yang semakin galau menghadapi meluasnya pengaruh China di berbagai kawasan.
Semakin rapatnya Indonesia ke China dapat dilihat dari program Nawa Cita Presiden Jokowi tentang Poros Maritim. Juga kebutuhan Indonesia untuk mendapatkan bantuan keuangan demi mendanai pembangunan infrastruktur yang diperlukan, terutama pembangunan pelabuhan, jalan raya, kereta api, bandar udara, dan yang paling penting adalah pembangkit listrik.
China adalah salah satu lumbung dolar terbesar di dunia dan hampir seluruh negara yang butuh utang akan datang ke China. Cadangan devisa mereka dalam mata uang dolar, merujuk pada data September 2014, mencapai USD4 triliun (Bloomberg, 10/6/ 2014). Bandingkan dengan cadangan dolar Indonesia yang hanya mencapai USD111,2 miliar atau kurang dari 2,8% cadangan dolar China.
Posisi keuangan yang signifikan itu membuat posisi China dalam politik luar negeri pun sangat berpengaruh. Posisi tersebut terutama untuk mengamankan dua prinsip ”Kebijakan Satu China” dan ”Kebijakan Nonintervensi”.
Beberapa negara yang menerima bantuan dari China memberikan timbal balik dukungan politik seperti di dalam Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB atau dalam World Trade Organization (WTO). Dalam meluaskan pengaruh China mendirikan lembaga-lembaga keuangan untuk menyalurkan bantuan.
Misalnya, New Development Bank BRICS yang didirikan bersama Rusia, Brasil, Afrika Selatan, dan India; kemudian China-Africa Development Fund. Atau yang terakhir dan menyedot perhatian setelah Inggris bergabung adalah Bank Infrastruktur yang akan mendanai proyek di kawasan Asia.
Dampak nyata dari pengaruh China dan kekuatan keuangannya adalah menguatnya politik nonintervensi. Hal ini yang membedakan antara bantuan dari lembaga keuangan ”tradisional” seperti Bank Dunia atau IMF dengan bantuan yang disalurkan oleh lembaga keuangan yang didukung oleh China.
Lembaga-lembaga bantuan keuangan ”tradisional” sudah terkenal selalu memberikan syarat mulai dari perlindungan lingkungan hidup, transparansi anggaran, hingga HAM–sebelum, sesaat, dan setelah bantuan disalurkan.
Hal ini yang tidak terjadi pada bantuan yang diberikan oleh China. Negara yang menerima bantuan dari China relatif tenang karena tidak khawatir bantuannya akan diputus ketika terjadi gejolak politik di dalam atau luar negeri mereka. Negara-negara yang diuntungkan dengan model politik bantuan China adalah praktis negara-negara yang saat ini menjadi ”musuh” Barat.
Negara tersebut terutama negara-negara Afrika seperti Angola, Sudan, Etiopia, Ghana, Zimbabwe, atau negara-negara yang masuk dalam kategori ”negara gagal” menurut standar masyarakat Barat.
Dalam White Paper Foreign Aid yang ditulis oleh Pemerintah China, bantuan ke Afrika menempati prioritas pertama selama tahun 2010-2014. Dari total bantuan USD14,41 miliar sepanjang periode tersebut, 51,8 % tersalur ke negara-negara kawasan Afrika dan 30,5 persennya ke kawasan Asia. Jumlah yang diterima oleh negara-negara Afrika bertambah 6% sejak 2006.
Bantuan kepada negara-negara di kawasan Afrika tidak semata- mata untuk mengisi kekosongan bantuan akibat ditinggalkan oleh lembaga keuangan ”tradisional” atau demi ”membeli pengaruh” dari negara-negara Afrika. Tetapi juga untuk mengamankan pasokan energi dan sumber daya alam yang menyokong pertumbuhan ekonomi China yang pesat.
Negara-negara di Afrika memiliki cadangan energi berupa minyak dan gas bumi dalam jumlah besar, juga sumber daya alam yang kaya sepertiemas, platinum, mangan, tembaga, dan lainnya. China melakukan hubungan jual beli langsung dengan negara-negara tersebut.
Salah satu tujuannya adalah mengurangi ketergantungan dari harga di pasar dunia yang biasanya sangat dinamis terpengaruh oleh faktor-faktor politik luar negeri yang sensitif. Pendekatan ini berhasil untuk kedua belah pihak. Perdagangan negaranegara Afrika dan China meningkat pesat dalam sepuluh tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2013 perdagangan Afrika dengan AS untuk barang dan jasa masing-masing USD85 miliar dan USD11 miliar. Bersama masyarakat Uni-Eropa, nilai total perdagangan Afrika mencapai USD137 miliar, sementara nilai perdagangan Afrika-China mencapai USD200 miliar.
Hubungan positif antara bantuan yang diberikan dan perdagangan yang meningkat di antara China dan Afrika tentu menggiurkan bagi Indonesia yang sedang giat-giatnya menjual proyek-proyek infrastruktur ke beberapa negara. Indonesia telah menjadi anggota Bank Infrastruktur Asia tahun lalu yang dipelopori oleh China dan berharap segera mendapatkan dana segar.
Harapan tersebut mungkin akan semakin nyata dengan rencana kunjungan Presiden Jokowi dalam waktu dekat ke Beijing. Meski demikian, Indonesia juga perlu waspada terhadap konsekuensi politik atas pilihan untuk mendekat ke China. Negara-negara Afrika melihat ke China karena posisi tawar mereka relatif rendah ke lembaga-lembaga keuangan ”tradisional”.
Selain itu, negara-negara tersebut menganut sistem politiknya nondemokrasi sehingga cocok dengan model politik luar negeri China. Sebaliknya, kondisi Indonesia bertolak belakang dengan Afrika. Kedekatan dengan China perlu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sipil dan parlemen.
Dinna Wisnu, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(ftr)