Ada Apa dengan Begal?
A
A
A
Begal merupakan kejahatan yang terkenal pada masa masyarakat kita jauh sebelum mulai menggunakan alat transportasi kendaraan seperti saat ini.
Operasinya dilakukan pada orang atau sekelompok orang yang sedang melakukan perjalanan dengan tujuan merebut harta bendanya dengan tindakan ancaman, kekerasan, bahkan pembunuhan.
Para begal memiliki postur tubuh yang menyeramkan, badannya tinggi besar, rambutnya gimbal tidak pernah keramas, brewokan, bicaranya keras dan garang, senjatanya golok dengan ukuran yang panjang. Mereka tinggal dihutan hutan, mengintip mangsa di tempat yang sepi, kemudian menyergapnya sambil berteriak,” Rekka manasia? (mau ke mana kamu?)”.
Setelah itu, sang begal melucuti seluruh barang yang dibawa oleh orang yang melewati daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Para begal hidup berkelompok, terorganisasi, di bawah kendali sang pemimpin yang memiliki ilmu kebal. Raja begal tak mempan dibacok, tak mempan ditembak. Cuma satu kelemahannya, raja begal rata-rata takut sama istrinya.
Suara yang menggelegar, muka yang garang, kumis yang tebal, dan jambang yang gimbal, ketika mendengar suara istrinya lirih memanggil, akan membuat sang begal bergegas berlari menghampiri sambil menyahut, ”Aya naon, neng? (Ada apa, neng?)” dengan wajah penuh ketakutan. Itulah ciri-ciri begal, puluhan dan ratusan tahun yang lalu.
Jiwa kepemimpinan seorang begal sangatlah kuat. Dia mampu mengorganisasi seluruh anggotanya dengan baik. Kebersamaan dalam suka dan duka adalah kekuatan yang menjadi spirit seluruh gerak dan langkahnya, sehingga para begal sulit ditaklukkan. Rasa hormat, patuh, dan perlindungan kepada pemimpin adalah ideologi utama para begal.
Mereka sanggup mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan pemimpinnya. Mereka sangat taat dan patuh terhadap apa yang menjadi keputusan pemimpinnya tanpa harus bertanya dan protes terhadap apa yang didapat dari setiap operasi pembegalan yang dilakukan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem tata kelola elite politik kita, di mana kesetiaan dan kepatuhan hanya didasarkan pada ikatan kepentingan.
Selama ikatan kepentingan itu menguntungkan, baik bagi dirinya, keluarganya atau kelompoknya, maka seluruh kepatuhan itu akan terdengar di mana-mana. Ada dalam statement, dalam spanduk, dalam artikel, dan berbagai ungkapan lainnya yang harus didengar oleh yang dipatuhinya. Kepatuhan dibuat dalam bentuk konferensi pers, harus terlihat oleh kamera, dan setelah itu berbisik pada temannya, ”Bos saya membaca dan melihat nggak ya, omongan saya mendukungnya.”
Namun, semua itu akan pupus karena alasan klasik, seperti pembagian rezeki yang tidak merata, jabatan yang dijanjikan tidak terlaksana, atau hal-hal lain yang membuatnya kecewa. Dalam waktu cepat dia berputar haluan seolah seluruh kata dan ungkapan yang pernah diucapkan hari kemarin tidak pernah ada.
Ujung-ujungnya dia berkata, ”Namanya juga politik... Setiap saat berubah,” seolah kalau untuk urusan politik tak ada lagi hati nurani. Lantas, suara lantang yang sering nyaring terdengar, riuh tepuk pembelaan terhadap rakyat, sebenarnya atas dasar apa selama ini diungkapkan? Kalau untuk urusan ini, jawabannya hanya Allah yang tahu.
Saat ini kita disibukkan kembali pada isu begal. Hal tersebut dipicu oleh berbagai berita di media sosial yang sangat serempak terjadi di berbagai tempat. Isu begal sudah sampai pada tingkat darurat di media sosial, tetapi tentunya darurat begal tidak menimbulkan ketegangan para politisi di negeri ini.
Beda dengan darurat undangundang pilkada, yang dalam waktu cepat dikeluarkan perppu sebagai ekspresi kepekaan seorang pemimpin terhadap aspirasi masyarakatnya yang menimbulkan kegentingan pada media sosial. Darurat begal sampai saat ini tidak menimbulkan instruksi yang bersifat siaga, baik Siaga III, Siaga II maupun Siaga I.
Hubungan antara isu begal dengan kesiagaan di lapangan seperti kata tak bersambut. Yang terjadi hanyalah kegelisahan sebagian masyarakat kita serta berbagai kejahatan yang biasa dilakukan di jalanan seperti pencopetan, penjambretan, kini berubah semuanya dianggap begal.
Entah karena emosi, entah karena tidak sabar melihat situasi, entahlah, seluruh kegelisahan itu berdampak pada spirit penghakiman pelaku kejahatan yang dianggap begal menjadi upaya penghakiman yang berujung pada pemukulan, penganiayaan, bahkan sampai pembakaran terhadap pelaku kejahatan.
Mang Udin, tetangga di kampung saya, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang cerita begal nampak bingung melihat keadaan ini. Kata Mang Udin, ”Kenapa begalnya bisa kompak sekali? Melakukan pembegalan bersamaan di berbagai tempat.”
Kalau membegalnya bareng, berarti begal ini terorganisasi. Kalau terorganisasi, berarti ada pemimpin kelompoknya dan ada pola pelatihan yang dilakukan selama ini di tempat yang tidak diketahui orang, sehingga setelah paguron begal (perguruan begal) berhasil mendidik murid-muridnya, maka para begal turun gunung secara bersama-sama untuk melakukan aksinya.”
Sekarang kan zaman serba-digital, percakapan orang bisa disadap, percakapan presiden saja bisa disadap oleh negara tetangga. Apa mungkin, para begal membuat pelatihan tidak menggunakan jalur komunikasi dan apa mungkin di Indonesia ada tempat yang tidak terlacak dan terdeteksi oleh jaringan keamanan yang kita miliki?
Kalau yang dibegalnya di jalan raya, dan yang dibegalnya motor, berarti latihannya tidak mungkin di hutan. Pasti latihannya di pinggir jalan, di tempat-tempat yang terbuka dan terlihat oleh semua orang. Sampai di sini rasanya begal ini sulit dimengerti, kok pandai sekali bersembunyi? Sampai tidak ada orang yang mengetahui tempatnya.
Atau, para begal sekarang punya aji halimunan , walaupun dia berada di tempat ramai, berlatih dan berorganisasi di tempat terbuka, dia tidak bisa dilihat oleh orang lain? Nah , kalau ini masuk akal.
Tapi, Mang Udin tidak sampai di situ dia bicara. Sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala, Mang Udin melanjutkan pembicaraannya, ”Setahu amang , aji halimunan itu adanya dalam cerita pewayangan, baik wayang golek, wayang kulit, wayang orang atau wayang apa saja. Kalau bicara soal wayang, maka seluruh aji halimunan itu pasti digerakkan oleh dalang.
Yang namanya wayang, sakti atau tidaknya kan tergantung dalang. Masa sih urusan cerita begal yang saat ini menghebohkan jagat media sosial di Indonesia merupakan cerita yang sedang dilakonkan oleh seorang dalang.” Ma Icih, istri setia Mang Udin, berbisik sambil bergumam, ”Sudahlah, jangan suka ngomong yang bersifat analisis, nanti menimbulkan banyak praduga yang berkembang di masyarakat.”
Yang jelas, Mang Udin nggak usah mikirin begal, sebab kan Mang Udin mah nggak punya motor, komo ari mobil mah (apalagi mobil)... nu aya ukur sapedah butut (yang ada cuma sepeda jelek). Moal enya sapedah arek dibegal mah (nggak mungkin sepeda dibegal). Yang harus dipikirkan oleh Mang Udin mah , sekarang harga beras mahal karena berasnya langka dan gas melon juga sulit didapat.
Nah , ini pasti ulahnya begal yang harus segera dibuatkan perppu dan Siaga I untuk perang melawan begal béas jeung begal gas melon (begal beras dan begal gas melon), karena begal beras dan begal gas melon telah membuat isi kutang Ma Icih dibegal oleh cucunya.
Gajian dari pabrik anak Ma Icih sudah tidak cukup lagi untuk ongkos cucu ke sekolah, karena habis uangnya untuk tambahan beli beras dan tambahan beli gas. Masa sih , negara yang terstruktur, memiliki komando yang jelas, organisasi yang mapan, sistem anggaran yang memadai, dan kelengkapan senjata yang cukup modern, bisa kalah oleh sistem yang dibuat oleh para begal beras dan begal gas melon.
Dalam lirih, si Ma Icih menutup pembicaraan, ”Palebah dieu mah, nyanggakeun sadaya- daya. Ema mah geus pusing Mang Udin jamedud wae, sabab ambek ningali kalakuan incu ema, unggal poe kokorobetan wae kanu kutang, menta ongkos jang ka sakola...”
(Sampai di sini, emak pasrah. Emak sudah pusing karena Mang Udin cemberut saja, sebab melihat kelakuan cucu emak yang setiap hari merogoh baju dalam emak, minta ongkos untuk ke sekolah).”
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
Operasinya dilakukan pada orang atau sekelompok orang yang sedang melakukan perjalanan dengan tujuan merebut harta bendanya dengan tindakan ancaman, kekerasan, bahkan pembunuhan.
Para begal memiliki postur tubuh yang menyeramkan, badannya tinggi besar, rambutnya gimbal tidak pernah keramas, brewokan, bicaranya keras dan garang, senjatanya golok dengan ukuran yang panjang. Mereka tinggal dihutan hutan, mengintip mangsa di tempat yang sepi, kemudian menyergapnya sambil berteriak,” Rekka manasia? (mau ke mana kamu?)”.
Setelah itu, sang begal melucuti seluruh barang yang dibawa oleh orang yang melewati daerah yang menjadi wilayah kekuasaannya. Para begal hidup berkelompok, terorganisasi, di bawah kendali sang pemimpin yang memiliki ilmu kebal. Raja begal tak mempan dibacok, tak mempan ditembak. Cuma satu kelemahannya, raja begal rata-rata takut sama istrinya.
Suara yang menggelegar, muka yang garang, kumis yang tebal, dan jambang yang gimbal, ketika mendengar suara istrinya lirih memanggil, akan membuat sang begal bergegas berlari menghampiri sambil menyahut, ”Aya naon, neng? (Ada apa, neng?)” dengan wajah penuh ketakutan. Itulah ciri-ciri begal, puluhan dan ratusan tahun yang lalu.
Jiwa kepemimpinan seorang begal sangatlah kuat. Dia mampu mengorganisasi seluruh anggotanya dengan baik. Kebersamaan dalam suka dan duka adalah kekuatan yang menjadi spirit seluruh gerak dan langkahnya, sehingga para begal sulit ditaklukkan. Rasa hormat, patuh, dan perlindungan kepada pemimpin adalah ideologi utama para begal.
Mereka sanggup mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan pemimpinnya. Mereka sangat taat dan patuh terhadap apa yang menjadi keputusan pemimpinnya tanpa harus bertanya dan protes terhadap apa yang didapat dari setiap operasi pembegalan yang dilakukan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem tata kelola elite politik kita, di mana kesetiaan dan kepatuhan hanya didasarkan pada ikatan kepentingan.
Selama ikatan kepentingan itu menguntungkan, baik bagi dirinya, keluarganya atau kelompoknya, maka seluruh kepatuhan itu akan terdengar di mana-mana. Ada dalam statement, dalam spanduk, dalam artikel, dan berbagai ungkapan lainnya yang harus didengar oleh yang dipatuhinya. Kepatuhan dibuat dalam bentuk konferensi pers, harus terlihat oleh kamera, dan setelah itu berbisik pada temannya, ”Bos saya membaca dan melihat nggak ya, omongan saya mendukungnya.”
Namun, semua itu akan pupus karena alasan klasik, seperti pembagian rezeki yang tidak merata, jabatan yang dijanjikan tidak terlaksana, atau hal-hal lain yang membuatnya kecewa. Dalam waktu cepat dia berputar haluan seolah seluruh kata dan ungkapan yang pernah diucapkan hari kemarin tidak pernah ada.
Ujung-ujungnya dia berkata, ”Namanya juga politik... Setiap saat berubah,” seolah kalau untuk urusan politik tak ada lagi hati nurani. Lantas, suara lantang yang sering nyaring terdengar, riuh tepuk pembelaan terhadap rakyat, sebenarnya atas dasar apa selama ini diungkapkan? Kalau untuk urusan ini, jawabannya hanya Allah yang tahu.
Saat ini kita disibukkan kembali pada isu begal. Hal tersebut dipicu oleh berbagai berita di media sosial yang sangat serempak terjadi di berbagai tempat. Isu begal sudah sampai pada tingkat darurat di media sosial, tetapi tentunya darurat begal tidak menimbulkan ketegangan para politisi di negeri ini.
Beda dengan darurat undangundang pilkada, yang dalam waktu cepat dikeluarkan perppu sebagai ekspresi kepekaan seorang pemimpin terhadap aspirasi masyarakatnya yang menimbulkan kegentingan pada media sosial. Darurat begal sampai saat ini tidak menimbulkan instruksi yang bersifat siaga, baik Siaga III, Siaga II maupun Siaga I.
Hubungan antara isu begal dengan kesiagaan di lapangan seperti kata tak bersambut. Yang terjadi hanyalah kegelisahan sebagian masyarakat kita serta berbagai kejahatan yang biasa dilakukan di jalanan seperti pencopetan, penjambretan, kini berubah semuanya dianggap begal.
Entah karena emosi, entah karena tidak sabar melihat situasi, entahlah, seluruh kegelisahan itu berdampak pada spirit penghakiman pelaku kejahatan yang dianggap begal menjadi upaya penghakiman yang berujung pada pemukulan, penganiayaan, bahkan sampai pembakaran terhadap pelaku kejahatan.
Mang Udin, tetangga di kampung saya, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang cerita begal nampak bingung melihat keadaan ini. Kata Mang Udin, ”Kenapa begalnya bisa kompak sekali? Melakukan pembegalan bersamaan di berbagai tempat.”
Kalau membegalnya bareng, berarti begal ini terorganisasi. Kalau terorganisasi, berarti ada pemimpin kelompoknya dan ada pola pelatihan yang dilakukan selama ini di tempat yang tidak diketahui orang, sehingga setelah paguron begal (perguruan begal) berhasil mendidik murid-muridnya, maka para begal turun gunung secara bersama-sama untuk melakukan aksinya.”
Sekarang kan zaman serba-digital, percakapan orang bisa disadap, percakapan presiden saja bisa disadap oleh negara tetangga. Apa mungkin, para begal membuat pelatihan tidak menggunakan jalur komunikasi dan apa mungkin di Indonesia ada tempat yang tidak terlacak dan terdeteksi oleh jaringan keamanan yang kita miliki?
Kalau yang dibegalnya di jalan raya, dan yang dibegalnya motor, berarti latihannya tidak mungkin di hutan. Pasti latihannya di pinggir jalan, di tempat-tempat yang terbuka dan terlihat oleh semua orang. Sampai di sini rasanya begal ini sulit dimengerti, kok pandai sekali bersembunyi? Sampai tidak ada orang yang mengetahui tempatnya.
Atau, para begal sekarang punya aji halimunan , walaupun dia berada di tempat ramai, berlatih dan berorganisasi di tempat terbuka, dia tidak bisa dilihat oleh orang lain? Nah , kalau ini masuk akal.
Tapi, Mang Udin tidak sampai di situ dia bicara. Sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala, Mang Udin melanjutkan pembicaraannya, ”Setahu amang , aji halimunan itu adanya dalam cerita pewayangan, baik wayang golek, wayang kulit, wayang orang atau wayang apa saja. Kalau bicara soal wayang, maka seluruh aji halimunan itu pasti digerakkan oleh dalang.
Yang namanya wayang, sakti atau tidaknya kan tergantung dalang. Masa sih urusan cerita begal yang saat ini menghebohkan jagat media sosial di Indonesia merupakan cerita yang sedang dilakonkan oleh seorang dalang.” Ma Icih, istri setia Mang Udin, berbisik sambil bergumam, ”Sudahlah, jangan suka ngomong yang bersifat analisis, nanti menimbulkan banyak praduga yang berkembang di masyarakat.”
Yang jelas, Mang Udin nggak usah mikirin begal, sebab kan Mang Udin mah nggak punya motor, komo ari mobil mah (apalagi mobil)... nu aya ukur sapedah butut (yang ada cuma sepeda jelek). Moal enya sapedah arek dibegal mah (nggak mungkin sepeda dibegal). Yang harus dipikirkan oleh Mang Udin mah , sekarang harga beras mahal karena berasnya langka dan gas melon juga sulit didapat.
Nah , ini pasti ulahnya begal yang harus segera dibuatkan perppu dan Siaga I untuk perang melawan begal béas jeung begal gas melon (begal beras dan begal gas melon), karena begal beras dan begal gas melon telah membuat isi kutang Ma Icih dibegal oleh cucunya.
Gajian dari pabrik anak Ma Icih sudah tidak cukup lagi untuk ongkos cucu ke sekolah, karena habis uangnya untuk tambahan beli beras dan tambahan beli gas. Masa sih , negara yang terstruktur, memiliki komando yang jelas, organisasi yang mapan, sistem anggaran yang memadai, dan kelengkapan senjata yang cukup modern, bisa kalah oleh sistem yang dibuat oleh para begal beras dan begal gas melon.
Dalam lirih, si Ma Icih menutup pembicaraan, ”Palebah dieu mah, nyanggakeun sadaya- daya. Ema mah geus pusing Mang Udin jamedud wae, sabab ambek ningali kalakuan incu ema, unggal poe kokorobetan wae kanu kutang, menta ongkos jang ka sakola...”
(Sampai di sini, emak pasrah. Emak sudah pusing karena Mang Udin cemberut saja, sebab melihat kelakuan cucu emak yang setiap hari merogoh baju dalam emak, minta ongkos untuk ke sekolah).”
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ftr)