Mengukur Plus Minus Pelemahan Rupiah
A
A
A
Sunarsip
Komisaris Bank BRI Syariah
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
Sejak pertengahan 2011 lalu, nilai tukar rupiah cenderung melemah dengan tren pelemahan yang semakin kuat. Melemahnya rupiah ini pada awalnya disebabkan faktor internal berupa penurunan kinerja neraca perdagangan kita.
Penurunan kinerja neraca perdagangan tersebut terutama disebabkan dua hal: jatuhnya harga komoditas ekspor dan tingginya harga minyak mentah saat itu. Harga-harga komoditas unggulan ekspor kita jatuh akibat lesunya perekonomian negara-negara tujuan ekspor seperti China, India, danJepang. Akibatnya, surplus neraca perdagangan ekspor nonmigas menurun.
Di sisi lain, tingginya harga minyak waktu itu menyebabkan neraca perdagangan migas mengalami defisit. Puncaknya, pada 2012 lalu, neraca perdagangan kita mengalami defisit untuk pertama kalinya sejak Orde Baru. Kondisi inilah yang menyebabkan kepercayaan pasar terhadap kemampuan kita dalam menghasilkan devisa mulai berkurang. Pekan lalu (5 Maret), rupiah berada di level terendah terbarunya, yaitu Rp13.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan ini boleh dibilang sebagai suatu yang given. Karakteristik rupiah sebagai soft-currency atau high volatile yang merupakan ciri khas mata uang emerging market cenderung lebih terpengaruh oleh dinamika eksternal dibandingkan dengan perkembangan internal yang positif. Terlebih lagi, faktor penguat secara internal belum terlalu kuat. Kinerja neraca perdagangan kita saat ini memang mulai membaik.
Tahun 2014 lalu, neraca perdagangan kita mengalami defisit USD1,88 miliar turun dibandingkan 2013 yang defisit USD4,08 miliar. Pada Januari 2015 lalu, neraca perdagangan surplus USD710 juta. Namun membaiknya neraca perdagangan ini dinilai belum kuat karena lebih ditopang melemahnya harga minyak.
Sementara itu, kinerja neraca perdagangan nonmigas belum pulih akibat masih berlanjutnya penurunan ekonomi negara tujuan ekspor. Bahkan, di 2015 ini, China justru menurunkan target pertumbuhan ekonominya hanya 7%, turun dibandingkan realisasi 2014 sebesar 7,4%.
Rupiah melemah juga akibat sentimen positif terhadap mata uang counterparty-nya, yaitu dolar AS, lebih kuat dibandingkan sentimen positif yang muncul dari faktor internal. Dolar AS dalam beberapa bulan terakhir trennya memang menguat terhadap sebagian besar mata uang di dunia. Kinerja perekonomian AS yang membaik menjadi faktor penyebab munculnya sentimen positif terhadap dolar AS.
Tingkat pengangguran tinggal 5,7%. Pertumbuhan ekonomi di2015 ini diperkirakan sekitar 3-4%. Konsumsi rumah tangga meningkat sehubungan dengan jatuhnya harga minyak. Beberapa kalangan berpendapat, pelemahan rupiah positif bagi peningkatan ekspor. Pelemahan rupiah dinilai akan meningkatkan daya saing produk kita sehingga ekspor naik.
Sayangnya, saat ini kenyataannya tidak demikian. Peningkatan kinerja ekspor kita masih terbatas. Pelemahan rupiah tidak dapat dimanfaatkan oleh eksportir kita secara maksimal karena permintaannya berkurang dan harganya jatuh. Akibatnya, pengaruh positif dari pelemahan rupiah ini tidak terlalu kuat dibanding dengan turunnya permintaan dan jatuhnya harga komoditas.
Terbukti, rata-rata total ekspor pada 2010-2014 Indonesia hanya tumbuh tipis 1,14% dengan pertumbuhan nonmigasnya 1,59%. Di sisi lain, pelemahan rupiah ini memberikan dampak negatif yang harus ditanggung berbagai pihak. Pelemahan rupiah berakibat pada meningkatnya biaya yang dikeluarkan manufacturing.
Sekitar 80% impor kita merupakan bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan oleh industri manufaktur. Pelemahan rupiah menyebabkan biaya impor menjadi lebih mahal. Akibatnya, produk ekspor hasil manufaktur tidak terlalu menunjukkan pertumbuhan ekspor yang positif. Padahal, pengusaha manufaktur masih terbebani biaya lainnya seperti infrastruktur yang belum memadai, suku bunga yang relatif tinggi, perburuhan hingga energi yang belum dapat dipenuhi.
Pelemahan rupiah juga menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk membayar utang luar negeri menjadi lebih besar. Tingginya biaya pembayaran utang luar negeri ini tidak hanya ditanggung dunia usaha, tetapi juga oleh pemerintah. Berdasarkan hasil audit BPK atas utang luar negeri pemerintah tahun 2013, BPK mencatat adanya kenaikan akumulasi utang dari Rp1.981 triliun pada 2012 menjadi Rp2.375 triliun pada 2013, naik Rp393 triliun.
Dari jumlah tersebut, Rp163,24 triliun disebabkan selisih kurs. Pelemahan rupiah juga menyulitkan dunia usaha. Tekanan dunia usaha terhadap pembayaran utang luar negeri semakin meningkat. PerDesember 2014, utang luar negeri yang jatuh tempo satu tahun mencapai USD58,37 miliar atau sekitar 20% dari total utang luar negeri Indonesia dan 52% terhadap cadangan devisa.
Dari jumlah tersebut, komponen utang luar negeri korporasi mencapai USD48,17 miliar. Tekanan pembayaran utang luar negeri yang tinggi di tengah pelemahan rupiah, bila tidak diantisipasi, berpotensi mendorong berlanjutnya pelemahan rupiah. Terlebih, sebagian besar utang luar negeri Indonesia belum dipagari dengan mekanisme lindung nilai (hedging).
Satu lagi, hal yang belum terlalu disadari banyak orang terkait dengan dampak pelemahan rupiah ini, bahwa pelemahan rupiah ternyata bisa menghambat masyarakat menikmati harga BBM yang lebih murah. Bagaimana penjelasannya? Saat ini, harga minyak memang menurun. Sayangnya, penurunan harga minyak tersebut tidak diiringi dengan penurunan harga BBM yang setara dengan penurunan harga minyak.
Studi yang dilakukan WoodMackenzei menyebutkan, penurunan harga minyak hingga 60% sejak Juni 2014 ini ternyata hanya diikuti dengan penurunan harga BBM sekitar 40%. Salah satu penyebabnya adalah pelemahan nilai mata uang yang dialami negara pengimpor minyak (termasuk Indonesia) menyebabkan biaya pengadaan BBM menjadi lebih mahal.
Di sisi lain, BBM tersebut dijual di dalam negeri dalam mata uang domestik (rupiah). Akibatnya, pelemahan rupiah ini menghilangkan (mengoffset) sebagian keuntungan yang didapat dari penurunan harga minyak. Dengan level rupiah terbaru ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu lebih berhatihati dalam mengelola kebijakan dan ekspektasi pasar. Sebab, salah sedikit saja, dampaknya terhadap pelemahan rupiah bisa berlanjut.
Pemerintah juga perlu lebih hati-hati dalam mengelola isu-isu nonteknis yang kini berkembang seperti politik dan hukum karena juga dapat memberikan dampak cukup besar bagi pelemahan rupiah. Dari sisi teknis, pemerintah dan BI perlu segera memagari rupiah dengan melakukan hedging terkait dengan transaksi luar negerinya. Kegiatan hedging ini perlu dilakukan pemerintah, BUMN, dan korporasi swasta yang memiliki kebutuhan dolar AS tinggi.
Komisaris Bank BRI Syariah
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
Sejak pertengahan 2011 lalu, nilai tukar rupiah cenderung melemah dengan tren pelemahan yang semakin kuat. Melemahnya rupiah ini pada awalnya disebabkan faktor internal berupa penurunan kinerja neraca perdagangan kita.
Penurunan kinerja neraca perdagangan tersebut terutama disebabkan dua hal: jatuhnya harga komoditas ekspor dan tingginya harga minyak mentah saat itu. Harga-harga komoditas unggulan ekspor kita jatuh akibat lesunya perekonomian negara-negara tujuan ekspor seperti China, India, danJepang. Akibatnya, surplus neraca perdagangan ekspor nonmigas menurun.
Di sisi lain, tingginya harga minyak waktu itu menyebabkan neraca perdagangan migas mengalami defisit. Puncaknya, pada 2012 lalu, neraca perdagangan kita mengalami defisit untuk pertama kalinya sejak Orde Baru. Kondisi inilah yang menyebabkan kepercayaan pasar terhadap kemampuan kita dalam menghasilkan devisa mulai berkurang. Pekan lalu (5 Maret), rupiah berada di level terendah terbarunya, yaitu Rp13.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan ini boleh dibilang sebagai suatu yang given. Karakteristik rupiah sebagai soft-currency atau high volatile yang merupakan ciri khas mata uang emerging market cenderung lebih terpengaruh oleh dinamika eksternal dibandingkan dengan perkembangan internal yang positif. Terlebih lagi, faktor penguat secara internal belum terlalu kuat. Kinerja neraca perdagangan kita saat ini memang mulai membaik.
Tahun 2014 lalu, neraca perdagangan kita mengalami defisit USD1,88 miliar turun dibandingkan 2013 yang defisit USD4,08 miliar. Pada Januari 2015 lalu, neraca perdagangan surplus USD710 juta. Namun membaiknya neraca perdagangan ini dinilai belum kuat karena lebih ditopang melemahnya harga minyak.
Sementara itu, kinerja neraca perdagangan nonmigas belum pulih akibat masih berlanjutnya penurunan ekonomi negara tujuan ekspor. Bahkan, di 2015 ini, China justru menurunkan target pertumbuhan ekonominya hanya 7%, turun dibandingkan realisasi 2014 sebesar 7,4%.
Rupiah melemah juga akibat sentimen positif terhadap mata uang counterparty-nya, yaitu dolar AS, lebih kuat dibandingkan sentimen positif yang muncul dari faktor internal. Dolar AS dalam beberapa bulan terakhir trennya memang menguat terhadap sebagian besar mata uang di dunia. Kinerja perekonomian AS yang membaik menjadi faktor penyebab munculnya sentimen positif terhadap dolar AS.
Tingkat pengangguran tinggal 5,7%. Pertumbuhan ekonomi di2015 ini diperkirakan sekitar 3-4%. Konsumsi rumah tangga meningkat sehubungan dengan jatuhnya harga minyak. Beberapa kalangan berpendapat, pelemahan rupiah positif bagi peningkatan ekspor. Pelemahan rupiah dinilai akan meningkatkan daya saing produk kita sehingga ekspor naik.
Sayangnya, saat ini kenyataannya tidak demikian. Peningkatan kinerja ekspor kita masih terbatas. Pelemahan rupiah tidak dapat dimanfaatkan oleh eksportir kita secara maksimal karena permintaannya berkurang dan harganya jatuh. Akibatnya, pengaruh positif dari pelemahan rupiah ini tidak terlalu kuat dibanding dengan turunnya permintaan dan jatuhnya harga komoditas.
Terbukti, rata-rata total ekspor pada 2010-2014 Indonesia hanya tumbuh tipis 1,14% dengan pertumbuhan nonmigasnya 1,59%. Di sisi lain, pelemahan rupiah ini memberikan dampak negatif yang harus ditanggung berbagai pihak. Pelemahan rupiah berakibat pada meningkatnya biaya yang dikeluarkan manufacturing.
Sekitar 80% impor kita merupakan bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan oleh industri manufaktur. Pelemahan rupiah menyebabkan biaya impor menjadi lebih mahal. Akibatnya, produk ekspor hasil manufaktur tidak terlalu menunjukkan pertumbuhan ekspor yang positif. Padahal, pengusaha manufaktur masih terbebani biaya lainnya seperti infrastruktur yang belum memadai, suku bunga yang relatif tinggi, perburuhan hingga energi yang belum dapat dipenuhi.
Pelemahan rupiah juga menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk membayar utang luar negeri menjadi lebih besar. Tingginya biaya pembayaran utang luar negeri ini tidak hanya ditanggung dunia usaha, tetapi juga oleh pemerintah. Berdasarkan hasil audit BPK atas utang luar negeri pemerintah tahun 2013, BPK mencatat adanya kenaikan akumulasi utang dari Rp1.981 triliun pada 2012 menjadi Rp2.375 triliun pada 2013, naik Rp393 triliun.
Dari jumlah tersebut, Rp163,24 triliun disebabkan selisih kurs. Pelemahan rupiah juga menyulitkan dunia usaha. Tekanan dunia usaha terhadap pembayaran utang luar negeri semakin meningkat. PerDesember 2014, utang luar negeri yang jatuh tempo satu tahun mencapai USD58,37 miliar atau sekitar 20% dari total utang luar negeri Indonesia dan 52% terhadap cadangan devisa.
Dari jumlah tersebut, komponen utang luar negeri korporasi mencapai USD48,17 miliar. Tekanan pembayaran utang luar negeri yang tinggi di tengah pelemahan rupiah, bila tidak diantisipasi, berpotensi mendorong berlanjutnya pelemahan rupiah. Terlebih, sebagian besar utang luar negeri Indonesia belum dipagari dengan mekanisme lindung nilai (hedging).
Satu lagi, hal yang belum terlalu disadari banyak orang terkait dengan dampak pelemahan rupiah ini, bahwa pelemahan rupiah ternyata bisa menghambat masyarakat menikmati harga BBM yang lebih murah. Bagaimana penjelasannya? Saat ini, harga minyak memang menurun. Sayangnya, penurunan harga minyak tersebut tidak diiringi dengan penurunan harga BBM yang setara dengan penurunan harga minyak.
Studi yang dilakukan WoodMackenzei menyebutkan, penurunan harga minyak hingga 60% sejak Juni 2014 ini ternyata hanya diikuti dengan penurunan harga BBM sekitar 40%. Salah satu penyebabnya adalah pelemahan nilai mata uang yang dialami negara pengimpor minyak (termasuk Indonesia) menyebabkan biaya pengadaan BBM menjadi lebih mahal.
Di sisi lain, BBM tersebut dijual di dalam negeri dalam mata uang domestik (rupiah). Akibatnya, pelemahan rupiah ini menghilangkan (mengoffset) sebagian keuntungan yang didapat dari penurunan harga minyak. Dengan level rupiah terbaru ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu lebih berhatihati dalam mengelola kebijakan dan ekspektasi pasar. Sebab, salah sedikit saja, dampaknya terhadap pelemahan rupiah bisa berlanjut.
Pemerintah juga perlu lebih hati-hati dalam mengelola isu-isu nonteknis yang kini berkembang seperti politik dan hukum karena juga dapat memberikan dampak cukup besar bagi pelemahan rupiah. Dari sisi teknis, pemerintah dan BI perlu segera memagari rupiah dengan melakukan hedging terkait dengan transaksi luar negerinya. Kegiatan hedging ini perlu dilakukan pemerintah, BUMN, dan korporasi swasta yang memiliki kebutuhan dolar AS tinggi.
(bbg)