Peluang Partai Baru
A
A
A
Anas Urbaningrum
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Demokrasi membuka ruang yang lapang bagi datang dan perginya partai politik. Sewaktu-waktu partai politik bisa hadir, pada kesempatan lain bisa pula menghilang. Ada pula partai yang dikenal nama dan keberadaannya, tapi sejatinya absen karena tidak terlibat dalam proses yang menyangkut hajat publik.
Jika eksistensi partai lazimnya terkait dengan aturan dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu, kehadiran partai lebih ditakar dari peran dan fungsi yang nyata di dalam proses politik. Kita akan menemukan paradoks pada jumlah dan kehadiran partai peserta pemilu sejak 1999. Jika yang menjadi ukuran adalah peserta pemilu, tampak terjadi penyederhanaan karena syarat dalam UU makin berat.
Pemilu 1999 diikuti 48 peserta, 2004 ada 24, 2009 terdapat 38, dan 2014 diikuti 12 kontestan. Namun, jika dilihat dari yang lulus ambang batas (threshold), pada Pemilu 1999 ada 5 partai, 2004 ada 7, 2009 terdapat 9, dan 2014 menjadi 10 partai. Kecenderungannya justru bertambah banyak.
Terkait dengan kehadiran partai, publik baru saja disuguhi lahirnya partai baru Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Kita juga mendengar analisis bahwa konflik Partai Golkar berpotensi memunculkan partai baru. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga dirundung pertentangan yang tak kalah serius. Ada juga suara lamat-lamat wacana pendirian partai baru dari eksponen relawan Jokowi. Lalu, di mana peluang partai baru itu?
Partai Baru Pasca- Reformasi
Salah satu perubahan dramatis yang menggiring jatuhnya Orde Baru adalah menjamurnya partai politik baru. Keran pendirian partai dibuka oleh UU Parpol yang terhitung cukup ”liberal”. Pemilu pertama pasca-Orde Baru 1999 dimenangi PDI Perjuangan dengan angka yang mencolok, 34%.
Jawara lama, Partai Golkar, kempes tinggal 22,4%. Muncul partai baru Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyalip PPP di jalur partai Islam. Ada pula Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebut diri lahir dari spirit Reformasi. PDI Perjuangan bisa dikategorikan baru meskipun sejatinya ”lama” karena pada pemilu itu masih ikut PD–sering disebut ”PDI Soerjadi”–yang hanya meraup 0,33% suara.
Pemilu 1999 ditandai migrasi politik besar-besaran ke partai-partai baru, terutama PDI Perjuangan dan PKB. PAN yang awalnya diramalkan bakal sukses ternyata masih sebatas fenomena politik kota. Ada pula Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengidentifikasi diri sebagai penerus Masyumi dan Partai Keadilan (PK) yang digerakkan jaringan aktivis Islam politik baru.
Tapi keduanya belum menonjol. Golkar masih bertahan dengan basisnya di desa-desa dan terutama di luar Jawa. Pemilu2004memotrethadirnya partai baru: Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan jelmaan PK. Gelar juara direbut Golkar dari PDI Perjuangan yang mengalami kemerosotan dukungan sangat tajam. PDI Perjuangan hanya mendulang 18,5% persen dan kehilangan kursi sangat besar di DPR.
Demokrat meraup 7,45% yang dikonversi menjadi 57 kursi, sementara PKS memperoleh 7,3% suara yang menghasilkan 45 kursi di Senayan. Pencapaian Demokrat dan PKS adalah fenomena migrasi politik akibat kekecewaan pemilih terhadap pemerintah dan PDI Perjuangan. Demokrat yang berpusat pada sosok SBY dan PKS yang gencar berkampanye ”bersih dan peduli” dianggap sebagai lokasi harapan baru. Fenomena partai baru berlanjut pada pemilu 2009.
Ketika Demokrat naik menjadi juara dengan raihan 20,85%, Partai Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan, masing-masing mendapat 14,5% dan 14%. PKB yang dilanda konflik internal terjun bebas suaranya tinggal 4,9% saja. Muncullah Gerindra yang sangat gencar ”menjual” Prabowo dan nasionalisme ekonomi serta Hanura yang berpusat pada figur Wiranto.
Keduanya memetik suara yang cukup untuk modal ke Senayan. Pemilu paling mutakhir 2014 silam ternyata juga ditandai dengan kehadiran partai baru. Partai Nas- Dem yang merupakan implikasi politik Munas Golkar di Riau berhasil menembus Senayan dengan 6,7% suara, melampaui PPP dan Hanura. Ini terkait anjloknya suara Demokrat lebih dari separuh suara sebelumnya dan sedikitnya partai peserta pemilu.
Suara hangus pada Pemilu 2014 sangat kecil, yakni 1,46% suara PBB dan 0,91% suara Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Persentase suara hangus yang kecil ini dinikmati pula oleh parpol lain selain NasDem. Tampak nyata bahwa pemilu pasca-Reformasi selalu ditandai hadirnya partai baru yang berhasil menembus ketatnya kompetisi.
Bukan hanya sukses memberangkatkan kadernya ke parlemen, tetapi juga tampil dengan pesan politik yang tidak bisa diremehkan. Partai baru berhasil berselancar di atas gelombang kekecewaan publik sekaligus menawarkan harapan baru. Itulah yang akan diuji pada masa antara menuju pemilu berikutnya.
Pemilih Rasional dan Diferensiasi
Memperhatikan realitas pemilu pasca-Orde Baru, peluang politik bagi partai baru dibuka oleh berlangsungnya mekanisme reward and punishment. Berkembangnya jumlah pemilih rasional akibat faktor pendidikan dan terpaan media–termasuk media sosial–sukses menekan jumlah pemilih tradisional yang bergaya ”pejah-gesang nderek pemimpin”.
Pemilih rasional relatif mandiri dan bisa memberi hukuman kepada partai yang dinilai tidak memuaskan. Pemilih rasional mampu mengekspresikan dukungan dan penolakan, kepuasan dan kekecewaan kepada partai. Terhadap partai yang kinerjanya baik, setidaknya dalam konteks citra, pemilih bisa menghargai dan melanjutkan dukungan. Kepada partai yang kinerjanya melempem dan tidak amanah, pemilih berani untuk teriak kecewa dan bergerak mencari alternatif lain.
Arus kekecewaan selalu mengalir ke tempat atraktif yang dinilai ada harapan. Tantangan terbesar di-hadapi partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Jika kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah rendah, para pemilihnya mudah pindah ke lain hati. Partai-partai koalisi oposisi juga menghadapi tantangan tak kalah serius.
Jika tidak cukup terampil sebagai kekuatan penyeimbang yang konsisten dan bermutu, tidak mudah pula mempertahankan jumlah pendukung apa lagi untuk menambah jumlah dukungan. Dalam situasi seperti itu, jika tampil partai baru yang tampil dengan kesegaran politik, kemungkinan migrasi dukungan cukup terbuka.
Syarat utamanya, partai tersebut tampil sebagai alternatif dengan diferensiasi yang nyata. Diferensiasi politik harus diperkuat perangkat- perangkat yang mutlak dibutuhkan sebuah partai yang bertenaga, yakni kepemimpinan dan ketokohan yang menjanjikan, platform yang jelas dan kuat, jaringan yang luas dan menembus akar rumput, kader yang cakap dan berkomitmen, serta strategi sosialisasi yang efektif. Apalagi jika ditopang mesin popularitas yang masif. Bagi partai baru yang demikian, pemilih kalkulatif-rasional pasti menyediakan diri untuk menerima partai baru yang ”berbeda” dan membawa program yang nyata.
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Demokrasi membuka ruang yang lapang bagi datang dan perginya partai politik. Sewaktu-waktu partai politik bisa hadir, pada kesempatan lain bisa pula menghilang. Ada pula partai yang dikenal nama dan keberadaannya, tapi sejatinya absen karena tidak terlibat dalam proses yang menyangkut hajat publik.
Jika eksistensi partai lazimnya terkait dengan aturan dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu, kehadiran partai lebih ditakar dari peran dan fungsi yang nyata di dalam proses politik. Kita akan menemukan paradoks pada jumlah dan kehadiran partai peserta pemilu sejak 1999. Jika yang menjadi ukuran adalah peserta pemilu, tampak terjadi penyederhanaan karena syarat dalam UU makin berat.
Pemilu 1999 diikuti 48 peserta, 2004 ada 24, 2009 terdapat 38, dan 2014 diikuti 12 kontestan. Namun, jika dilihat dari yang lulus ambang batas (threshold), pada Pemilu 1999 ada 5 partai, 2004 ada 7, 2009 terdapat 9, dan 2014 menjadi 10 partai. Kecenderungannya justru bertambah banyak.
Terkait dengan kehadiran partai, publik baru saja disuguhi lahirnya partai baru Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Kita juga mendengar analisis bahwa konflik Partai Golkar berpotensi memunculkan partai baru. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga dirundung pertentangan yang tak kalah serius. Ada juga suara lamat-lamat wacana pendirian partai baru dari eksponen relawan Jokowi. Lalu, di mana peluang partai baru itu?
Partai Baru Pasca- Reformasi
Salah satu perubahan dramatis yang menggiring jatuhnya Orde Baru adalah menjamurnya partai politik baru. Keran pendirian partai dibuka oleh UU Parpol yang terhitung cukup ”liberal”. Pemilu pertama pasca-Orde Baru 1999 dimenangi PDI Perjuangan dengan angka yang mencolok, 34%.
Jawara lama, Partai Golkar, kempes tinggal 22,4%. Muncul partai baru Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyalip PPP di jalur partai Islam. Ada pula Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyebut diri lahir dari spirit Reformasi. PDI Perjuangan bisa dikategorikan baru meskipun sejatinya ”lama” karena pada pemilu itu masih ikut PD–sering disebut ”PDI Soerjadi”–yang hanya meraup 0,33% suara.
Pemilu 1999 ditandai migrasi politik besar-besaran ke partai-partai baru, terutama PDI Perjuangan dan PKB. PAN yang awalnya diramalkan bakal sukses ternyata masih sebatas fenomena politik kota. Ada pula Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengidentifikasi diri sebagai penerus Masyumi dan Partai Keadilan (PK) yang digerakkan jaringan aktivis Islam politik baru.
Tapi keduanya belum menonjol. Golkar masih bertahan dengan basisnya di desa-desa dan terutama di luar Jawa. Pemilu2004memotrethadirnya partai baru: Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan jelmaan PK. Gelar juara direbut Golkar dari PDI Perjuangan yang mengalami kemerosotan dukungan sangat tajam. PDI Perjuangan hanya mendulang 18,5% persen dan kehilangan kursi sangat besar di DPR.
Demokrat meraup 7,45% yang dikonversi menjadi 57 kursi, sementara PKS memperoleh 7,3% suara yang menghasilkan 45 kursi di Senayan. Pencapaian Demokrat dan PKS adalah fenomena migrasi politik akibat kekecewaan pemilih terhadap pemerintah dan PDI Perjuangan. Demokrat yang berpusat pada sosok SBY dan PKS yang gencar berkampanye ”bersih dan peduli” dianggap sebagai lokasi harapan baru. Fenomena partai baru berlanjut pada pemilu 2009.
Ketika Demokrat naik menjadi juara dengan raihan 20,85%, Partai Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan, masing-masing mendapat 14,5% dan 14%. PKB yang dilanda konflik internal terjun bebas suaranya tinggal 4,9% saja. Muncullah Gerindra yang sangat gencar ”menjual” Prabowo dan nasionalisme ekonomi serta Hanura yang berpusat pada figur Wiranto.
Keduanya memetik suara yang cukup untuk modal ke Senayan. Pemilu paling mutakhir 2014 silam ternyata juga ditandai dengan kehadiran partai baru. Partai Nas- Dem yang merupakan implikasi politik Munas Golkar di Riau berhasil menembus Senayan dengan 6,7% suara, melampaui PPP dan Hanura. Ini terkait anjloknya suara Demokrat lebih dari separuh suara sebelumnya dan sedikitnya partai peserta pemilu.
Suara hangus pada Pemilu 2014 sangat kecil, yakni 1,46% suara PBB dan 0,91% suara Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Persentase suara hangus yang kecil ini dinikmati pula oleh parpol lain selain NasDem. Tampak nyata bahwa pemilu pasca-Reformasi selalu ditandai hadirnya partai baru yang berhasil menembus ketatnya kompetisi.
Bukan hanya sukses memberangkatkan kadernya ke parlemen, tetapi juga tampil dengan pesan politik yang tidak bisa diremehkan. Partai baru berhasil berselancar di atas gelombang kekecewaan publik sekaligus menawarkan harapan baru. Itulah yang akan diuji pada masa antara menuju pemilu berikutnya.
Pemilih Rasional dan Diferensiasi
Memperhatikan realitas pemilu pasca-Orde Baru, peluang politik bagi partai baru dibuka oleh berlangsungnya mekanisme reward and punishment. Berkembangnya jumlah pemilih rasional akibat faktor pendidikan dan terpaan media–termasuk media sosial–sukses menekan jumlah pemilih tradisional yang bergaya ”pejah-gesang nderek pemimpin”.
Pemilih rasional relatif mandiri dan bisa memberi hukuman kepada partai yang dinilai tidak memuaskan. Pemilih rasional mampu mengekspresikan dukungan dan penolakan, kepuasan dan kekecewaan kepada partai. Terhadap partai yang kinerjanya baik, setidaknya dalam konteks citra, pemilih bisa menghargai dan melanjutkan dukungan. Kepada partai yang kinerjanya melempem dan tidak amanah, pemilih berani untuk teriak kecewa dan bergerak mencari alternatif lain.
Arus kekecewaan selalu mengalir ke tempat atraktif yang dinilai ada harapan. Tantangan terbesar di-hadapi partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Jika kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah rendah, para pemilihnya mudah pindah ke lain hati. Partai-partai koalisi oposisi juga menghadapi tantangan tak kalah serius.
Jika tidak cukup terampil sebagai kekuatan penyeimbang yang konsisten dan bermutu, tidak mudah pula mempertahankan jumlah pendukung apa lagi untuk menambah jumlah dukungan. Dalam situasi seperti itu, jika tampil partai baru yang tampil dengan kesegaran politik, kemungkinan migrasi dukungan cukup terbuka.
Syarat utamanya, partai tersebut tampil sebagai alternatif dengan diferensiasi yang nyata. Diferensiasi politik harus diperkuat perangkat- perangkat yang mutlak dibutuhkan sebuah partai yang bertenaga, yakni kepemimpinan dan ketokohan yang menjanjikan, platform yang jelas dan kuat, jaringan yang luas dan menembus akar rumput, kader yang cakap dan berkomitmen, serta strategi sosialisasi yang efektif. Apalagi jika ditopang mesin popularitas yang masif. Bagi partai baru yang demikian, pemilih kalkulatif-rasional pasti menyediakan diri untuk menerima partai baru yang ”berbeda” dan membawa program yang nyata.
(bbg)