Main Kayu di Ibu Kota, di Kampung Balik ke Kayu Bakar

Senin, 09 Maret 2015 - 09:28 WIB
Main Kayu di Ibu Kota, di Kampung Balik ke Kayu Bakar
Main Kayu di Ibu Kota, di Kampung Balik ke Kayu Bakar
A A A
Gas saat ini merupakan sebuah komoditas strategis yang begitu memengaruhi kehidupan banyak orang karena hampir seluruh kebutuhan rumah tangga di Indonesia hari ini sangat bergantung pada gas.

Gas yang diisikan pada tabung memiliki dua kualifikasi. Pertama, tabung gemuk yang berisi 12 kg dan 50 kg, merupakan tabung tanpa subsidi yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat kelas menengah ke atas. Kedua, tabung melon yang berisi 3 kg yang diperuntukkan bagi masyarakat kelas bawah karena di dalamnya terdapat unsur subsidi pemerintah yang bertujuan untuk meringankan beban masyarakat kelas bawah.

Gas merupakan sebuah orientasi pemerintah untuk menghilangkan subsidi terhadap minyak tanah yang pada zaman Pak Harto merupakan salah satu bahan baku penting untuk kebutuhan industri rumah tangga yang mendapat subsidi cukup tinggi dari pemerintah, tapi dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat hingga pelosok perdesaan.

Pengurangan subsidi adalah penghematan untuk mengurangi beban anggaran negara sehingga uang penghematan tersebut dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, bantuan modal usaha untuk rakyat, serta kegiatan investasi jangka panjang.

Selain itu, pengurangan subsidi juga untuk menghilangkan spekulasi serta penyelundupan barang ke negara-negara lain yang tanpa subsidi. Kebijakan tersebut mendapat sambutan yang cukup luas dari masyarakat sehingga beralihlah masyarakat ke elpiji bukan hanya di perkotaan, melainkan sampai ke pelosok-pelosok desa.

Penggunaan elpiji 3 kg bukanlah perjalanan tanpa hambatan. Banyak sekali peristiwa menarik ketika masyarakat mulai menggunakan tabung gas melon. Banyak yang tidak tahu caranya, terjadi kebocoran pada regulator atau pada tabungnya, yang menimbulkan peristiwa kebakaran di berbagai tempat hingga menelan korban jiwa. Untunglah kini peristiwa semacam itu sudah tidak terdengar lagi.

Tabungnya sudah relatif lebih baik dan regulatornya sudah lebih aman. Namun, ada peristiwa baru lagi yaitu tabung melonnya sulit didapat. Entah kurang pasokan, entah penggunanya yang bertambah, entah dijual oleh pangkalan ke pihak lain, entah dioplos karena harga gas yang 12 kg dan 50 kg mengalami kenaikan. Entahlah, yang jelas Ma Icih pusing.

Kalau dulu kita berperang melawan musuh agar kita merdeka sehingga rakyat kita menjadi makmur, murah sandang dan pangan, bisa tidur nyenyak karena para penjaga negara menjaga seluruh warganya, yang sakit diobati, kalau meninggal negara mengurusnya, menyiapkan kuburan yang baik, merawatnya sebagai bentuk penghormatan kepada warganya, lalu keluarga yang ditinggalkan mendapat ketenangan karena negara menjaminnya, menjamin makannya, menjamin pendidikannya, dan menjamin seluruh kehidupan lainnya yang menjadi hak-hak setiap warga negara. Eh... setelah kita merdeka, uang cukup banyak, tapi hak rakyat susah untuk diberikan.

Di Jakarta, yang katanya pusat orang-orang pintar, pemimpin dan DPRD-nya bertengkar tiada habis ngeributin urusan pengesahan duit milik rakyat. Ma Icih tambah pusing lagi karena peristiwa pertengkaran kekanak-kanakan didramatisasi menjadi peristiwa heroik main kayu ala koboi sedang menumpas kejahatan, sampai urusan kesiapan untuk mati terbunuh dalam pertempuran tersebut jadi trending topic.

Kata Ma Icih, ”Kata cucu Ema, di medsos sekarang ada gerakan #SaveAhok dan #SaveHaji Lulung. Ema bingung, urusan duit kenapa jadi Save Ahok dan Haji Lulung. Memangnya ini duit mereka? Padahal setahu Ema, pabrik yang ada di kampung Ema bayar pajaknya di Jakarta.

Mobil bus jelek yang mengangkut cucu Ema ke pabrik, nomornya nomor Jakarta. Ditambah mobil pribadi yang berbaris di pabrik, nomornya nomor Jakarta. Berarti kampung Ema ikut menyumbang duit ke Jakarta.

Di bagian ini, Ema mau bicara ah kepada Sep Ahok dan Haji Lulung, anggarkan dong untuk menjaga kelestarian Gunung Wayang dan Gunung Windu yang menjadi Hulu Sungai Citarum, kan orang Jakarta minumnya dari Jatiluhur. Anggarkan juga untuk jalan di kampung Ema sebab bus yang bernomor Jakarta ikutan merusak jalan di kampung Ema.

Urusan gas, Ema juga tidak habis pikir karena perubahan penggunaan gas elpiji 3 kg di kampung-kampung berdampak pada berhentinya penggunaan kayu bakar. Karena kayu bakar sudah tidak dibutuhkan, anak-anak di perdesaan tak lagi memiliki aktivitas untuk pergi ke kebun dan ke hutan mencari kayu bakar selepas pulang sekolah.

Mereka hari ini sibuk menghabiskan waktu untuk main game, nonton televisi, main ponsel, motor-motoran, yang seluruhnya menggunakan uang untuk membelinya. Penggunaan uang tersebut kebanyakan bersumber dari penjualan kebun dan sawah sehingga di kampung-kampung kini tak lagi produktif. Mereka bergantung pada beras raskin karena sawah yang dimilikinya sudah dijual kepada orang kota sehingga ketika beras harganya mahal, semakin beratlah beban hidupnya.

Akhirnya, banyak yang merantau ke luar negeri atau kalau yang tidak sabar, kadang anak perempuan terjerumus dalam dunia hitam menjadi pelayan di tempat hiburan, bahkan menjual dirinya. Anak laki-laki mencari usaha yang kadang ingin untung dari enteng, yang tidak berkeringat, yang tidak usah kepanasan, tapi uangnya banyak. Kan bingung, teuing usaha naon anu model kitu ... (entah usaha apa yang model begitu).

Yang jelas, sekarang sudah sulit mencari orang yang bisa nyangkul, bisa ngawuluku dan ngagaru (membajak sawah). Bagaimana produksi beras mau meningkat kalau pelaku pertaniannya saja sudah jarang. Apalagi kata banyak orang, sebentar lagi Ema akan ada saingan baru, namanya Ma Ea (MEA) yang katanya orang Bangladesh, boleh kerja di sawah Ema.

Ya kalau kira-kira di sawah Ema tidak ada yang nyangkul , nanti yang nyangkul- nya orang Bangladesh. Duh, kenapa jadi begini ini téh? Jadi bertentangan dengan cita-cita kekasih Ema, Mang Udin, yang berjuang mempertahankan kemerdekaan kalau pada akhirnya masih bangsa asing yang menguasai kita.

Menurut Ema, hal yang aneh kalau kita yang tinggal di kampung seperti Ema harus ribut urusan gas elpiji. Padahal, dahan-dahan pohon kering berserakan di manamana. Dari dulu juga kita kan sudah pakai suluh (kayu bakar), nasinya lebih enak, masakannya lebih lezat.

Itu terbukti, banyak orang kota yang mencari kampung-kampung, rumah-rumah bambu untuk sekadar makan dengan nasi kampung yang ditanak pakai suluh. Tetapi, orang pandai yang tinggal di kota memang suka bikin pusing kita. Kalau tahu masak nasi pakai suluh lebih enak, lebih murah, dan lebih efisien, kenapa atuh budaya kami harus diubah pakai elpiji.

Mending mun aya, ieu mah pan euweuh gasna oge. Teuing ah, lieur Ema mah... (Mending kalau ada. Ini gasnya pun tidak ada. Entahlah, pusing Ema jadinya...)

Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5390 seconds (0.1#10.140)