Kisah Inspiratif Gadis Penderita Gagal Ginjal Kronis

Minggu, 08 Maret 2015 - 10:04 WIB
Kisah Inspiratif Gadis Penderita Gagal Ginjal Kronis
Kisah Inspiratif Gadis Penderita Gagal Ginjal Kronis
A A A
BUKU berjudul Perempuan Cahaya karya Lien Auliya Rachmach ini layak dijadikan bacaan wajib bagi pasien cuci darah dan penderita penyakit kronis lain.

Penulis yang sudah menjalani hidup sebagai pasien cuci darah selama sepuluh tahun ini memberikan inspirasi kepada pembaca, terutama yang sedang mengalami penyakit serupa, untuk tetap meningkatkan kualitas hidup meski dalam keadaan tak sehat. Selalu hidup dalam keadaan sehat merupakan keinginan setiap orang, namun tak jarang Tuhan justru menimpakan sakit kepada hamba-Nya.

Tak banyak orang yang mampu tetap berpikir positif kala sakit, kebanyakan orang berburuk sangka kepada Tuhan. Sakit memang ujian cinta dari Tuhan. Bersabar adalah cara membuktikannya. Saat sakit mendera, Lien tetap mencintai Rabb -nya meski itu bukan berarti Lien tidak pernah mengalami putus asa.

Usianya 25 tahun saat vonis dokter menyeretnya rutin ke rumah sakit dua kali dalam seminggu untuk menjalani cuci darah seumur hidup. Lien memiliki mimpi-mimpi indah pada usia tersebut: menjadi pribadi salehah, pekerjaan yang berkah, dan tentu pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah seperti yang diimpikan orang seusianya, namun penyakit gagal ginjal stadium lima yang divoniskan kepadanya membuatnya berubah.

Lien menjadi pemurung, lusuh, bergantung pada orang lain, dan mengubur mimpimimpinya. Ginjal merupakan salah satu organ vital dalam tubuh yang memiliki fungsi begitu kompleks. Kegagalan fungsi ginjal membuat tubuh Lien tak mampu menjalankan beberapa fungsi vitalnya. Itu menyebabkan Lien mengalami berbagai komplikasi. Bengkak jantung, infeksi lambung, paru-paru dan jantung terendam air, juga hepatitis C.

Rambut rontok, kulit pucat pasi, legam, kering, dan bersisik menjadi khas wujud fisik Lien. Jantung berdebar, sesak napas, mual, muntah, diare, pegal linu, gatal letih, dan lesu menjadi rutinitas yang dirasakan Lien. Psikisnya mulai terganggu, bahkan rohaniahnya. Lien menjadi mudah marah, cepat tersinggung, mudah curiga, kerap menangis, berhenti berharap, dan tak mau berdoa karena menganggap Tuhan bersikap tak adil kepadanya. Lien merasakan hampa.

Satu tahun Lien berada di zona mengasihani diri sendiri. Hidup hanya menanti kematian. Baru pada tahun kedua sebagai pasien cuci darah, saat suatu malam di dalam tidurnya Lien mendengar tangisan mimihnya (baca: ibu) mengadu kepada Tuhan, memohon kesembuhan Lien, Lien menyadari tarbiah Tuhan. Lien memutuskan untuk menjalani hidup dengan positif, menjadi pembelajar di sekolah kehidupan.

Lien menemukan rahasia bertahan dan berusaha keluar dari tekanan dan ingin membagikannya kepada pembaca. Pertama, menerima apa pun ketentuan Tuhan. Lien percaya, Tuhan selalu punya rencana baik di balik takdir-Nya dan Lien terus mencari hikmah itu. “Jika sekarang aku ditanya apa motivasiku bertahan hingga sembilan tahun setelah itu (baca: divonis gagal ginjal stadium lima), salah satu jawabannya adalah mencari alasan mengapa Allah masih memberikan kesempatan hidup kepadaku” (hal 25).

Kedua , pertahankan pikiran positif dan terus berkarya. Saat ada waktu luang, terutama bagi penderita penyakit kronis, depresi sering muncul, saat itu pula hati sulit bersyukur. Setiap kali ketidakbersyukuran datang, Lien bersegera menyibukkan diri. Lien menjalani banyak kegiatan selama menjalani hari-hari cuci darah. Lien menulis buku statistik, bekerja pada kantor konsultan psikologi, menjadi agen MLM, hingga menjadi ibu kos. Lien juga berkarya. Buku ini salah satu karyanya.

Lien berharap, karyanya dapat menjadi motivasi bagi pasien cuci darah di seluruh Indonesia dan bisa menjadi inspirasi bagi pembaca yang masih sehat untuk semakin mensyukuri nikmat sehat yang Tuhan berikan (hal 165). Ketiga, bergabung dengan komunitas. Komunitas memungkinkan anggotanya saling berbagi, begitu yang dialami Lien saat mengikuti komunitas Hidup Ginjal Muda.

Grup yang juga diprakarsai oleh pasien cuci darah, Yediya Thomas Pamatan (alm), ini membuat Lien menemukan tempat untuk berbagi cerita, berbagi semangat, berbagi harapan, berbagi kasih, berbagi cinta, berbagi senyum, berbagi tawa, dan berbagi ilmu yang bermanfaat (hal 163). Grup ini mengajak anggotanya untuk menjadi pasien gagal ginjal kronis yang antigalau. Keempat , mengingat mati. Mengingat mati membuat sadar bahwa ada kehidupan lain yang lebih penting daripada dunia sehingga rugi jika harus hancur oleh kehilangan dan tekanan dunia.

Kesadaran akan kematianlah yang membuat Lien memanfaatkan hidupnya dengan baik dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan berbagi kepada sesama. Kelima, bersyukur. Lien mengingat nikmat-nikmat yang telah Tuhan berikan kepadanya untuk tetap bisa bersyukur di kala sakit kronis. Selama 25 tahun Lien mendapatkan napas yang lapang, tubuh yang bersinar, tekanan darah yang normal, kadar sel darah merah yang stabil, dan tulang yang kuat dan baru sembilan tahun Tuhan mengujinya.

Ini membuat Lien memantangkan diri untuk mengaduh, bahkan bersyukur atas nikmat-nikmat yang masih diberikan Tuhan seperti masih bisa berjalan, melihat, mendengar, akal, dan iman. Kisah nyata ini sangat mengharukan, penuh motivasi dan inspirasi. Selamat membaca!

Yunie Enaya Sunaya ,
penggiat klub pencinta buku Booklicious Malang, anggota FLP Malang Raya
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.8437 seconds (0.1#10.140)