Iman Perkawinan
A
A
A
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Iman artinya percaya. Istilah ini khusus digunakan untuk agama dan Tuhan. Jadi dalam agama kita mengatakan bahwa kita beriman kepada Tuhan, dan karena itu kita bersungguh-sungguh (berkomitmen) melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya serta menghindari apa yang dilarang-Nya.
Tetapi, kita tidak mengatakan beriman kepada istri walau kita sungguh-sungguh percaya kepadanya dan karena itu bersungguhsungguh (berkomitmen) pula melaksanakan apa yang diperintahkannya serta menghindari apa yang dilarangnya. Saya misalnya minum beberapa butir obat dan segelas jamu yang disiapkan istri saya tiap pagi dan sore.
Saya tidak tahu obat-obat apa itu karena setiap kali ke dokter, dia ikut masuk ke ruang periksa dan dialah yang menghafal obat-obatan yang diresepkan oleh dokter dan meraciknya tiap hari untuk saya. Dengan patuh saya meminumnya karena saya percaya kepada istri saya. Tetapi, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya beriman kepada istri saya. Walau begitu, iman dan percaya pada hakikatnya tetap sinonim.
*** Pada Senin, 3 Maret 2015 di Universitas Indonesia berlangsung sebuah ujian doktor promovendus (calon doktor) yang mempertahankan disertasinya hari itu adalah Dr Melok Roro Kinanti, seorang psikolog, yang meneliti tentang perkawinan di Desa Dadap, Indramayu, Jawa Barat.
Desa yang berlokasi di pantura itu terkenal sebagai desa produsen tenaga kerja wanita (TKW), dan pekerjaan utama penduduknya adalah nelayan dan petani. Penelitian Dr Melok mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan perkawinan dalam konteks suami-istri yang harus berpisah selama bertahun- tahun karena istri harus bekerja di luar negeri. Untuk itu, peneliti telah mewawancarai 11 wanita mantan TKW, enam di antaranya sudah bercerai, sedangkan yang lima masih mempertahankan perkawinannya.
Dari enam yang sudah bercerai, empat disebabkan oleh suami berselingkuh selama istri bekerja di luar negeri, sedangkan yang dua bercerai karena faktor lain, termasuk faktor mertua. Sementara itu, yang tidak bercerai disebabkan ada komitmen perkawinan yang diupayakan oleh pasangan yang bersangkutan di tengah banyak faktor lingkungan yang sangat mungkin mengganggu pernikahan.
Temuan ini mengukuhkan pendapat sebagian psikolog (termasuk saya sendiri) bahwa dengan kepercayaan yang kuat kepada janji perkawinan (akad nikah), kemungkinan terjadi perceraian bisa diperkecil. Kepercayaan kepada akad-nikah ini bisa saya sebutkan sebagai beriman kepada perkawinan karena ada unsur agama dan ada Tuhan di dalamnya.
*** Di kelas psikologi klinis, di Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia, Jakarta, di mana saya mengajar, pernah saya tanyakan kepada mahasiswa, yang semuanya calon S-2 Psikologi Klinis, dan sudah bergelar S-1 Psikologi, apakah mereka percaya bahwa keberhasilan perkawinan itu lebih terjamin jika ada faktor yang dipercaya oleh adat Jawa yaitu ”bibit, bebet, dan bobot ” (keturunan, kelas ekonomi, dan tingkat pendidikan) yang baik?
Hampir semuanya menjawab, ”Percaya!” Penasaran, saya masih tanya mereka lagi, apakah mereka percaya bahwa dalam perkawinan, yang paling penting adalah faktor seiman (pasangan suami dan istri mempunya kepercayaan agama yang sama). Jawabnya lagi-lagi, ”Percaya!” Tetapi, dalam kenyataan yang sebenarnya, situasinya tidak seperti itu. Tengok saja di sekitar Anda, teman-teman, kenalan atau kerabat Anda, atau mungkin juga termasuk diri dan keluarga Anda sendiri.
Berapa banyak yang mengalami perceraian, padahal mereka sudah pas betul kalau soal bibit, bebet dan bobot, bahkan juga iman agama. Dua pihak, yang suami maupun yang istri sama-sama ganteng dan cantik, berasal dari keluarga-keluarga yang samasama terpandang, berada dan berintegritas tinggi, dan sudah umrah, atau bahkan berhaji bersama. Pokoknya pasangan yang sangat ideal. Masuk infotainment sudah beberapa kali untuk dijadikan teladan oleh kaum pasangan muda lain.
Tetapi, pasangan ini tiba-tiba diberitakan (dalam infotainment juga) sudah menghadap pengadilan negeri atau pengadilan agama untuk minta bercerai. Padahal, beberapa pekan lalu, seorang seniman musik besar, Rinto Harahap yang kebetulan Kristen, meninggal dunia dengan tenang, setelah menikah 42 tahun, tanpa cela, dengan istrinya yang muslim. Anak-anak mereka pun menjadi dewasa tanpa ada masalah hingar- bingar yang memalukan keluarga (setidaknya yang diketahui masyarakat).
Tentu banyak yang protes pada apa yang saya sampaikan ini. Tetapi, itulah faktanya, dan saya sedang bicara tentang perkawinan di sini, di dunia ini, bukan tentang apa yang akan terjadi kelak di akhirat. Pertanyaan kita sekarang, sebagai orang kebanyakan yang masih mendambakan perkawinan yang hanya sekali seumur hidup adalah mengapa perkawinan Rinto Harahap dan para TKW di Desa Dadap bisa bertahan, sementara banyak pasangan lain tidak?
Perkawinan Rinto bertahan walau beda agama, perkawinan sebagian TKW bertahan walau hidup terpisah selama beberapa tahun. Menurut istilah Dr Melok, yang menggunakan teori Bioekologi dari psikolog Brofenbrenner, penyebab bertahannya perkawinan adalah ada proximal processes yang optimal, yang dalam bahasa Indonesia yang sederhana bisa diartikan sebagai komitmen untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai rintangan yang tujuannya untuk mempertahankan perkawinan itu sendiri.
*** Seperti dengan setiap janji, janji perkawinan harus dipercaya, dan dilaksanakan dengan taat sampai kepada titik takwa (pokoknya perkawinanku nomor satu). Tentu saja dalam perkawinan tidak digunakan istilah takwa seperti di dalam agama. Karena itulah, ada istilah proses proksimal atau komitmen terhadap perkawinan.
Yang penting, dua pihak yang terlibat perkawinan harus sama-sama punya komitmen yang besar terhadap janji perkawinannya sendiri untuk mempertahankan perkawinan. Itulah temuan dari disertasi Dr Melok Roro Kinanti.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Iman artinya percaya. Istilah ini khusus digunakan untuk agama dan Tuhan. Jadi dalam agama kita mengatakan bahwa kita beriman kepada Tuhan, dan karena itu kita bersungguh-sungguh (berkomitmen) melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya serta menghindari apa yang dilarang-Nya.
Tetapi, kita tidak mengatakan beriman kepada istri walau kita sungguh-sungguh percaya kepadanya dan karena itu bersungguhsungguh (berkomitmen) pula melaksanakan apa yang diperintahkannya serta menghindari apa yang dilarangnya. Saya misalnya minum beberapa butir obat dan segelas jamu yang disiapkan istri saya tiap pagi dan sore.
Saya tidak tahu obat-obat apa itu karena setiap kali ke dokter, dia ikut masuk ke ruang periksa dan dialah yang menghafal obat-obatan yang diresepkan oleh dokter dan meraciknya tiap hari untuk saya. Dengan patuh saya meminumnya karena saya percaya kepada istri saya. Tetapi, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya beriman kepada istri saya. Walau begitu, iman dan percaya pada hakikatnya tetap sinonim.
*** Pada Senin, 3 Maret 2015 di Universitas Indonesia berlangsung sebuah ujian doktor promovendus (calon doktor) yang mempertahankan disertasinya hari itu adalah Dr Melok Roro Kinanti, seorang psikolog, yang meneliti tentang perkawinan di Desa Dadap, Indramayu, Jawa Barat.
Desa yang berlokasi di pantura itu terkenal sebagai desa produsen tenaga kerja wanita (TKW), dan pekerjaan utama penduduknya adalah nelayan dan petani. Penelitian Dr Melok mengenai faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan perkawinan dalam konteks suami-istri yang harus berpisah selama bertahun- tahun karena istri harus bekerja di luar negeri. Untuk itu, peneliti telah mewawancarai 11 wanita mantan TKW, enam di antaranya sudah bercerai, sedangkan yang lima masih mempertahankan perkawinannya.
Dari enam yang sudah bercerai, empat disebabkan oleh suami berselingkuh selama istri bekerja di luar negeri, sedangkan yang dua bercerai karena faktor lain, termasuk faktor mertua. Sementara itu, yang tidak bercerai disebabkan ada komitmen perkawinan yang diupayakan oleh pasangan yang bersangkutan di tengah banyak faktor lingkungan yang sangat mungkin mengganggu pernikahan.
Temuan ini mengukuhkan pendapat sebagian psikolog (termasuk saya sendiri) bahwa dengan kepercayaan yang kuat kepada janji perkawinan (akad nikah), kemungkinan terjadi perceraian bisa diperkecil. Kepercayaan kepada akad-nikah ini bisa saya sebutkan sebagai beriman kepada perkawinan karena ada unsur agama dan ada Tuhan di dalamnya.
*** Di kelas psikologi klinis, di Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia, Jakarta, di mana saya mengajar, pernah saya tanyakan kepada mahasiswa, yang semuanya calon S-2 Psikologi Klinis, dan sudah bergelar S-1 Psikologi, apakah mereka percaya bahwa keberhasilan perkawinan itu lebih terjamin jika ada faktor yang dipercaya oleh adat Jawa yaitu ”bibit, bebet, dan bobot ” (keturunan, kelas ekonomi, dan tingkat pendidikan) yang baik?
Hampir semuanya menjawab, ”Percaya!” Penasaran, saya masih tanya mereka lagi, apakah mereka percaya bahwa dalam perkawinan, yang paling penting adalah faktor seiman (pasangan suami dan istri mempunya kepercayaan agama yang sama). Jawabnya lagi-lagi, ”Percaya!” Tetapi, dalam kenyataan yang sebenarnya, situasinya tidak seperti itu. Tengok saja di sekitar Anda, teman-teman, kenalan atau kerabat Anda, atau mungkin juga termasuk diri dan keluarga Anda sendiri.
Berapa banyak yang mengalami perceraian, padahal mereka sudah pas betul kalau soal bibit, bebet dan bobot, bahkan juga iman agama. Dua pihak, yang suami maupun yang istri sama-sama ganteng dan cantik, berasal dari keluarga-keluarga yang samasama terpandang, berada dan berintegritas tinggi, dan sudah umrah, atau bahkan berhaji bersama. Pokoknya pasangan yang sangat ideal. Masuk infotainment sudah beberapa kali untuk dijadikan teladan oleh kaum pasangan muda lain.
Tetapi, pasangan ini tiba-tiba diberitakan (dalam infotainment juga) sudah menghadap pengadilan negeri atau pengadilan agama untuk minta bercerai. Padahal, beberapa pekan lalu, seorang seniman musik besar, Rinto Harahap yang kebetulan Kristen, meninggal dunia dengan tenang, setelah menikah 42 tahun, tanpa cela, dengan istrinya yang muslim. Anak-anak mereka pun menjadi dewasa tanpa ada masalah hingar- bingar yang memalukan keluarga (setidaknya yang diketahui masyarakat).
Tentu banyak yang protes pada apa yang saya sampaikan ini. Tetapi, itulah faktanya, dan saya sedang bicara tentang perkawinan di sini, di dunia ini, bukan tentang apa yang akan terjadi kelak di akhirat. Pertanyaan kita sekarang, sebagai orang kebanyakan yang masih mendambakan perkawinan yang hanya sekali seumur hidup adalah mengapa perkawinan Rinto Harahap dan para TKW di Desa Dadap bisa bertahan, sementara banyak pasangan lain tidak?
Perkawinan Rinto bertahan walau beda agama, perkawinan sebagian TKW bertahan walau hidup terpisah selama beberapa tahun. Menurut istilah Dr Melok, yang menggunakan teori Bioekologi dari psikolog Brofenbrenner, penyebab bertahannya perkawinan adalah ada proximal processes yang optimal, yang dalam bahasa Indonesia yang sederhana bisa diartikan sebagai komitmen untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai rintangan yang tujuannya untuk mempertahankan perkawinan itu sendiri.
*** Seperti dengan setiap janji, janji perkawinan harus dipercaya, dan dilaksanakan dengan taat sampai kepada titik takwa (pokoknya perkawinanku nomor satu). Tentu saja dalam perkawinan tidak digunakan istilah takwa seperti di dalam agama. Karena itulah, ada istilah proses proksimal atau komitmen terhadap perkawinan.
Yang penting, dua pihak yang terlibat perkawinan harus sama-sama punya komitmen yang besar terhadap janji perkawinannya sendiri untuk mempertahankan perkawinan. Itulah temuan dari disertasi Dr Melok Roro Kinanti.
(ars)