Bangsa Berbudaya dan Bahagia
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa yang ramah. Dengan keramahan itu, kita seolah merupakan bangsa paling unggul di dunia.
Tapi bangsa-bangsa lain kelihatannya tak tergiur untuk turut berlomba agar bisa menjadi bangsa yang ramah seperti bangsa kita. Dalam percaturan dunia, keramahan yang kita banggakan itu hampir tak memiliki arti apapun. Sifat ”ramahtamah”, dan ”budi bahasa yang manis”, tidak mengangkat derajat bangsa kita secara nyata. Ramah-tamah bukan ukuran sebuah kemajuan.
Kira tahu, ramah-tamah tak enak dimakan. Untuk menjadi bangsa yang sehat, produktif, dan juara olahraga yang dibutuhkan bukan sifat ramah-tamah. Suatu bangsa menjadi maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena memiliki suatu corak keunggulan, tapi tidak ada hubungannya dengan keramah-tamahan. Mengapa para pemimpin bangsa kita sering menghibur diri dengan watak, yang sama sekali bukan merupakan suatu keunggulan penting dalam percaturan dunia?
Ramahtamah yang berhenti hanya pada ramah-tamah itu sendiri, dan kita tak memiliki sesuatu apa pun yang dapat kita banggakan, mungkin kita hanya menjadi tontonan di pinggir jalan. Ketika sumber daya alam di dalam negeri kita sendiri diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia, dengan modal ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, dan keterampilan menyusun peraturan perundangundangan yang canggih, yang melindungi kepentingan dan segenapsepakterjangmereka, adakah gunanya sifat ramah-tamah itu?
Dapatkah ramah-tamah menjadi senjata yang bisa diandalkan untuk mencegah keserakahan mereka supaya kita tak menjadi kaum miskin, karena selalu dirampok terus menerus? Ramah-tamah sama sekali bukan senjata yang bisa menyelamatkan kita. Ramah-tamah pun jelas tak bisa melindungi kita dari para penjarah durjana yang melahap tambangtambang, hutan, air, tanah dan bebatuan kita. Tak diragukan, bahkan sebaliknya: ramah-tamah itulah yang membuat kita ditipu, dibodoh-bodohi dan dianggap sepele oleh bangsa lain.
Pada saat bangsa-bangsa lain di dunia berlomba menjadi kekuatan di garis paling depan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seharusnya kita mengimbangi mereka untuk menjadi bangsa yang yang paling maju di bidang sastra dan kebudayaan pada umumnya. Maju di bidang sastra dan kebudayaan membuat kita menjadi bangsa lebih kreatif di bidang kehidupan apapun. Kreativitas mendorong kita menjadi bangsa produktif.
Dengan kreativitas itu, segenap sumber daya alam, kekayaan hutan untuk obat-obatan, niscaya kita produksi sendiri dan tak dibiarkan dicuri bangsa-bangsa lain, dan diaku sebagai milik mereka. Kalau kreativitas kita membuat kita menjadi bangsa produktif di bidang obat-obatan, tak peduli disebut ”tradisional”, persetan disebut ”lokal” niscaya kita sudah maju dan tak perlu tergantung pada obatobatan bikinan bangsa lain yang mahalnya sontoloyo itu. Ini hanya urusan sederhana.
Dunia sastra menggali kembali khazanah obat-obat bikinan nenek moyang zaman dahulu, yang sekarang sudah tak tampak. Semua ditulis kembali, dan menjadi bacaan mulia bagi kita. Selebihnya, bacaan mulia itu menjadi sumber kekayaan ilmu pengetahuan di bidang obatobatan tadi. Sikap pemerintah yang berhubungan dengan perkara ini harus jelas.
Kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan dengan obat-obatan tadi harus dirumuskan dengan sebaik-baiknya, dan pemerintah melindungi rakyat yang kreatif dan produktif mengolahsumberdaya alam kita sendiri. Bukankah segenap kekayaan alam diabdikan bagi kehidupan bangsa, dan untuk memakmurkan kita semua, yang memang merupakan warga negara yang berbakti dan mengabdi bagi negeri, dengan segenap jiwa raga kami?
Para pemimpin bangsa, berpidatolah tentang betapa mendesaknya kebutuhan memajukan dunia sastra dan kebudayaan, dan semangat merangsang bangsa kita menjadi lebih kreatif dan produktif. Para pemimpin bangsa, yang memang punya kapasitas sebagai pemimpin, harus selalu ada di garis depan di bidang pemikiran. Jika perlu, para pemimpin wajib selalu mendahului pemikiran umum di kalangan kaum awam.
Di sini pemimpin berarti komando. Dan apa yang dikomandokan, menghadapi kerasnya– bahkan kejamnya–persaingan dunia hari ini. Biarkanlah mereka bersaing dalam bidang yang kita belum mampu, dan kita sebaiknya memilih untuk tak ikut-ikutan dalam persaingan itu agar kita tak tergilas. Tapi diam-diam, kita mengembangkan suatu kompetensi khusus, yang tak mereka perhatikan, dan di bidang khusus itu kita maju, unggul, jitu, nomor satu.
Kita kuasai bidang obatobatan tadi, dan produksi kita nomor satu. Perlahan-lahan, dari sana kita menggali dari sumber keunggulan sastra dan kebudayaan kita tadi, segi apa lagi yang kira-kira memberi kita peluang untuk maju di bidang yang lain lagi. Kita pilih bidangbidang yang kita kuasai, dan bangsa lain tidak. Melalui lahan kemajuan itu kita ”hadir” di dalam percaturan dunia.
Dan kita ”dihitung”, ”direken”, dan dihargai. Tapi, jangan sekali-kali mengulangi kebanggaan bahwa kita bangsa yang ramah-tamah tadi. Ini kebanggaan palsu, kosong, tanpa isi. Tak perlu ramah, tak perlu indah budi bahasanya, tapi kita melek politik, kita paham gerak pemikiran bangsabangsa lain. Kita tahu apa yang mereka jadikan persaingan.
Tidak ramah mungkin tak menjadi soal, asal kita kreatif. Tidak murah senyum pada bangsa lain tak menjadi persoalan apapun, asal kita produktif. Jika produksi kita tak menjadi unggulan di pasar dunia, jangan mengeluh. Negeri kita ini pasar yang sebesar- besarnya pasar. Kita jual produk kita, untuk sementara, di dalam negeri. Dan itu sudah cukup. Kita wajib menjadi bangsa yang kaya dan berwibawa.
Tapi jika kita belum mampu mencapai target itu, kita tak usah kaya dulu, tak menjadi masalah. Tapi dengan kemajuan dalam bidang sastra dan kebudayaan tadi, kita menargetkan cita-cita dan aspirasi hidup yang lain: menjadi bangsa yang berbudaya, dan berbahagia.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa yang ramah. Dengan keramahan itu, kita seolah merupakan bangsa paling unggul di dunia.
Tapi bangsa-bangsa lain kelihatannya tak tergiur untuk turut berlomba agar bisa menjadi bangsa yang ramah seperti bangsa kita. Dalam percaturan dunia, keramahan yang kita banggakan itu hampir tak memiliki arti apapun. Sifat ”ramahtamah”, dan ”budi bahasa yang manis”, tidak mengangkat derajat bangsa kita secara nyata. Ramah-tamah bukan ukuran sebuah kemajuan.
Kira tahu, ramah-tamah tak enak dimakan. Untuk menjadi bangsa yang sehat, produktif, dan juara olahraga yang dibutuhkan bukan sifat ramah-tamah. Suatu bangsa menjadi maju di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena memiliki suatu corak keunggulan, tapi tidak ada hubungannya dengan keramah-tamahan. Mengapa para pemimpin bangsa kita sering menghibur diri dengan watak, yang sama sekali bukan merupakan suatu keunggulan penting dalam percaturan dunia?
Ramahtamah yang berhenti hanya pada ramah-tamah itu sendiri, dan kita tak memiliki sesuatu apa pun yang dapat kita banggakan, mungkin kita hanya menjadi tontonan di pinggir jalan. Ketika sumber daya alam di dalam negeri kita sendiri diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia, dengan modal ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, dan keterampilan menyusun peraturan perundangundangan yang canggih, yang melindungi kepentingan dan segenapsepakterjangmereka, adakah gunanya sifat ramah-tamah itu?
Dapatkah ramah-tamah menjadi senjata yang bisa diandalkan untuk mencegah keserakahan mereka supaya kita tak menjadi kaum miskin, karena selalu dirampok terus menerus? Ramah-tamah sama sekali bukan senjata yang bisa menyelamatkan kita. Ramah-tamah pun jelas tak bisa melindungi kita dari para penjarah durjana yang melahap tambangtambang, hutan, air, tanah dan bebatuan kita. Tak diragukan, bahkan sebaliknya: ramah-tamah itulah yang membuat kita ditipu, dibodoh-bodohi dan dianggap sepele oleh bangsa lain.
Pada saat bangsa-bangsa lain di dunia berlomba menjadi kekuatan di garis paling depan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seharusnya kita mengimbangi mereka untuk menjadi bangsa yang yang paling maju di bidang sastra dan kebudayaan pada umumnya. Maju di bidang sastra dan kebudayaan membuat kita menjadi bangsa lebih kreatif di bidang kehidupan apapun. Kreativitas mendorong kita menjadi bangsa produktif.
Dengan kreativitas itu, segenap sumber daya alam, kekayaan hutan untuk obat-obatan, niscaya kita produksi sendiri dan tak dibiarkan dicuri bangsa-bangsa lain, dan diaku sebagai milik mereka. Kalau kreativitas kita membuat kita menjadi bangsa produktif di bidang obat-obatan, tak peduli disebut ”tradisional”, persetan disebut ”lokal” niscaya kita sudah maju dan tak perlu tergantung pada obatobatan bikinan bangsa lain yang mahalnya sontoloyo itu. Ini hanya urusan sederhana.
Dunia sastra menggali kembali khazanah obat-obat bikinan nenek moyang zaman dahulu, yang sekarang sudah tak tampak. Semua ditulis kembali, dan menjadi bacaan mulia bagi kita. Selebihnya, bacaan mulia itu menjadi sumber kekayaan ilmu pengetahuan di bidang obatobatan tadi. Sikap pemerintah yang berhubungan dengan perkara ini harus jelas.
Kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan dengan obat-obatan tadi harus dirumuskan dengan sebaik-baiknya, dan pemerintah melindungi rakyat yang kreatif dan produktif mengolahsumberdaya alam kita sendiri. Bukankah segenap kekayaan alam diabdikan bagi kehidupan bangsa, dan untuk memakmurkan kita semua, yang memang merupakan warga negara yang berbakti dan mengabdi bagi negeri, dengan segenap jiwa raga kami?
Para pemimpin bangsa, berpidatolah tentang betapa mendesaknya kebutuhan memajukan dunia sastra dan kebudayaan, dan semangat merangsang bangsa kita menjadi lebih kreatif dan produktif. Para pemimpin bangsa, yang memang punya kapasitas sebagai pemimpin, harus selalu ada di garis depan di bidang pemikiran. Jika perlu, para pemimpin wajib selalu mendahului pemikiran umum di kalangan kaum awam.
Di sini pemimpin berarti komando. Dan apa yang dikomandokan, menghadapi kerasnya– bahkan kejamnya–persaingan dunia hari ini. Biarkanlah mereka bersaing dalam bidang yang kita belum mampu, dan kita sebaiknya memilih untuk tak ikut-ikutan dalam persaingan itu agar kita tak tergilas. Tapi diam-diam, kita mengembangkan suatu kompetensi khusus, yang tak mereka perhatikan, dan di bidang khusus itu kita maju, unggul, jitu, nomor satu.
Kita kuasai bidang obatobatan tadi, dan produksi kita nomor satu. Perlahan-lahan, dari sana kita menggali dari sumber keunggulan sastra dan kebudayaan kita tadi, segi apa lagi yang kira-kira memberi kita peluang untuk maju di bidang yang lain lagi. Kita pilih bidangbidang yang kita kuasai, dan bangsa lain tidak. Melalui lahan kemajuan itu kita ”hadir” di dalam percaturan dunia.
Dan kita ”dihitung”, ”direken”, dan dihargai. Tapi, jangan sekali-kali mengulangi kebanggaan bahwa kita bangsa yang ramah-tamah tadi. Ini kebanggaan palsu, kosong, tanpa isi. Tak perlu ramah, tak perlu indah budi bahasanya, tapi kita melek politik, kita paham gerak pemikiran bangsabangsa lain. Kita tahu apa yang mereka jadikan persaingan.
Tidak ramah mungkin tak menjadi soal, asal kita kreatif. Tidak murah senyum pada bangsa lain tak menjadi persoalan apapun, asal kita produktif. Jika produksi kita tak menjadi unggulan di pasar dunia, jangan mengeluh. Negeri kita ini pasar yang sebesar- besarnya pasar. Kita jual produk kita, untuk sementara, di dalam negeri. Dan itu sudah cukup. Kita wajib menjadi bangsa yang kaya dan berwibawa.
Tapi jika kita belum mampu mencapai target itu, kita tak usah kaya dulu, tak menjadi masalah. Tapi dengan kemajuan dalam bidang sastra dan kebudayaan tadi, kita menargetkan cita-cita dan aspirasi hidup yang lain: menjadi bangsa yang berbudaya, dan berbahagia.
(ars)