Do No Harm
A
A
A
Dicky Pelupessy
Dosen Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi UI, Kandidat Doktor di Victoria University, Melbourne
Bencana menimbulkan kerusakan dan penderitaan. Dan, kerusakan dan penderitaan itulah yang mengundang bantuan dari luar wilayah terjadinya bencana.
Makin besar skala bencana yang terjadi, biasanya makin besar bantuan yang datang. Ambil contoh, tsunami tahun 2004 di Aceh membuat datangnya bantuan yang luar biasa besar dari dalam negeri dan terlebih lagi dari luar negeri. Bantuan yang datang ke wilayah bencana bertujuan atau ditujukan untuk mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan.
Namun, ada kalanya bantuan yang datang tidak efektif atau tidak benar-benar bisa mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan. Bahkan, bantuan itu bisa pula berdampak negatif atau merusak di kemudian hari. Bantuan yang tidak membantu misalnya adalah bantuan yang menimbulkan konflik di antara penerima bantuan atau antara yang menerima bantuan dan tidak menerima bantuan. Contoh lainnya, bantuan yang menimbulkan kebergantungan terhadap bantuan.
Pada intinya, bantuan-bantuan yang diberikan bukannya memberikan hasil yang positif, tetapi malah memberikan hasil yang negatif. Mengacu pada kemungkinan timbulnya hasil yang justru negatif, dalam dunia pemberian bantuan dikenal prinsip ”do no harm”. Prinsip ini untuk mengantisipasi dan sekaligus mencegah sesuatu–dalam hal ini adalah hasil–yang tidak diinginkan.
Prinsip ini menggarisbawahi bahwa seyogianya apa yang dimaksudkan untuk mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan jangan sampai menimbulkan kerusakan lebih lanjut atau di kemudian hari. Prinsip ini amat penting karena seperti yang dinyatakan oleh Anderson (1999) bahwa bantuan bisa menimbulkan kerusakan yang tidak diperkirakan (unintentional harm).
Dasar dari prinsip ”do no harm” adalah empati terhadap mereka yang mengalami bencana dan kepekaan terhadap konteks, baik sosiobudaya maupun sosiopolitik, yang melingkupi mereka yang mengalami bencana. Empati membantu untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh mereka yang mengalami bencana.
Sedangkan kepekaan terhadap konteks membantu untuk menilai secara jernih apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, prinsip ini berujung pada tujuan untuk tidak menimbulkan kerusakan atau kerusakan lebih lanjut pada mereka yang mengalami bencana.
Bencana di KPK
Bermula dari pengajuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri oleh Jokowi dan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, yang terjadi kemudian adalah KPK bak mengalami bencana. Akibat ketidaktegasan– terutama terhadap Polri– dan ketidaksegeraan Jokowi mengambil keputusan, alih-alih mengalami penguatan, KPK mengalami pelemahan.
Kriminalisasi pimpinan KPK oleh Polri, pemberhentian sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dan penunjukan Plt pimpinan KPK telah membuat KPK tak berdaya. KPK sekarang tak bisa lagi bekerja memberantas korupsi seperti sedia kala. KPK, sebagailembagayangdinilaipublik memiliki rekam jejak paling baik dalam pemberantasan korupsi, telah lumpuh. KPK memang masih ada, namun KPK sedang mengalami kesulitan luar biasa saat ini.
Bahkan, sekarang KPK seolah sedang menunggu datangnya terpaan bencana lain, yaitu gelombang praperadilan dari para koruptor yang telah ditersangkakan oleh KPK yang akan menggerus tenaga dan konsentrasi KPK. Di tengah bencana yang telah terjadi dan menunggu bencana berikutnya, para pegawai KPK berusaha menunjukkan semangat bertahan menghadapi bencana yang terjadi.
Para pegawai KPK, yang notabene hasil perekrutan secara profesional–bukan perekrutan secara politik, menunjukkannya dengan melakukan aksi (3 Maret 2015) untuk menyatakan sikap mereka, yang di antaranya menolak rencana pelimpahan kasus Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung. Namun sungguh ironis, aksi tersebut ditanggapi oleh Wapres Jusuf Kalla dengan meminta pegawai KPK mengoreksi diri dan Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi menilai aksi pegawai KPK tersebut sebagai pembangkangan dan mengancam akan memberikan sanksi.
Baik JK maupun Yuddy sewajarnya paham bahwa KPK sedang mengalami bencana. Sewajarnya mereka mengerti bahwa KPK sedang mengalami kelumpuhan dan ketidakmampuan untuk menjalankan tugas utamanya memberantas korupsi.
Sudah seharusnya JK dan Yuddy tahu bahwa bukan hanya pimpinan tetap KPK sudah tidak ada karena diberhentikan sementara, tetapi juga para pegawai KPK bekerja di dalam suasana yang amat tidak kondusif karena konsentrasi dan fokus mereka tersita sejak terjadinya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.
Tanggapan yang diberikan JK dan Yuddy jelas menunjukkan betapa tidak berempatinya mereka, baik terhadap KPK sebagai institusi yang sedang mengalami pelemahan luar biasa maupun terhadap para pegawai KPK yang bisa jadi sedang mengalami demotivasi dan demoralisasi. Aksi para pegawai KPK tersebut di satu sisi menampilkan keresahan mereka, namun di sisi lain menampilkan semangat dan daya tahan mereka dalam mengemban tugas besar melakukan pemberantasan korupsi.
Tanggapan JK dan Yuddy mencerminkan ketidakmauan dan, boleh jadi, ketidakmampuan mereka memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan para pegawai KPK. Tanggapan mereka itu menggambarkan betapa tidak pekanya mereka terhadap apa yang dirasakan sedang terjadi pada KPK dan apa yang mungkin terjadi pada KPK seandainya para pegawainya terkena sanksi.
Respons yang ditunjukkan oleh JK dan Yuddy jelas tidak membuat situasi sulit yang dihadapi KPK berubah membaik karenanya. Malah, respons tersebut adalah tambahan tekanan terhadap mereka yang selama ini menjadi pelaksana sesungguhnya pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh KPK. Yuddy adalah menteri yang mendayagunakan aparatur negara. JK, selain wakil presiden, ia adalah ketua umum Palang Merah Indonesia–lembaga yang aktif merespons kondisi bencana.
Ia pun pernah menjabat sebagai kepala Bakornas Penanggulangan Bencana. Ia tentunya mafhum bahwa mereka yang mengalami bencana harus dihindarkan mengalami kerusakan lebih lanjut dari tindakan- tindakan yang diterima atau ditujukan kepada mereka. Oleh karena itu, kepada mereka berdua perlu diingatkan: apabila tidak bisa melakukan sesuatu yang membuat para pegawai KPK berdaya guna di tengah situasi sulit yang mereka hadapi, jangan pula mereka menimbulkan kerusakan pada KPK.
Dan, jika Jokowi telah menjadi bagian yang mendatangkan bencana bagi KPK maka jangan sampai mereka–JK dan Yuddy–menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada KPK. Pak Wapres dan Pak Menteri, please do no harm!
Dosen Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi UI, Kandidat Doktor di Victoria University, Melbourne
Bencana menimbulkan kerusakan dan penderitaan. Dan, kerusakan dan penderitaan itulah yang mengundang bantuan dari luar wilayah terjadinya bencana.
Makin besar skala bencana yang terjadi, biasanya makin besar bantuan yang datang. Ambil contoh, tsunami tahun 2004 di Aceh membuat datangnya bantuan yang luar biasa besar dari dalam negeri dan terlebih lagi dari luar negeri. Bantuan yang datang ke wilayah bencana bertujuan atau ditujukan untuk mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan.
Namun, ada kalanya bantuan yang datang tidak efektif atau tidak benar-benar bisa mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan. Bahkan, bantuan itu bisa pula berdampak negatif atau merusak di kemudian hari. Bantuan yang tidak membantu misalnya adalah bantuan yang menimbulkan konflik di antara penerima bantuan atau antara yang menerima bantuan dan tidak menerima bantuan. Contoh lainnya, bantuan yang menimbulkan kebergantungan terhadap bantuan.
Pada intinya, bantuan-bantuan yang diberikan bukannya memberikan hasil yang positif, tetapi malah memberikan hasil yang negatif. Mengacu pada kemungkinan timbulnya hasil yang justru negatif, dalam dunia pemberian bantuan dikenal prinsip ”do no harm”. Prinsip ini untuk mengantisipasi dan sekaligus mencegah sesuatu–dalam hal ini adalah hasil–yang tidak diinginkan.
Prinsip ini menggarisbawahi bahwa seyogianya apa yang dimaksudkan untuk mengatasi kerusakan dan mengurangi penderitaan jangan sampai menimbulkan kerusakan lebih lanjut atau di kemudian hari. Prinsip ini amat penting karena seperti yang dinyatakan oleh Anderson (1999) bahwa bantuan bisa menimbulkan kerusakan yang tidak diperkirakan (unintentional harm).
Dasar dari prinsip ”do no harm” adalah empati terhadap mereka yang mengalami bencana dan kepekaan terhadap konteks, baik sosiobudaya maupun sosiopolitik, yang melingkupi mereka yang mengalami bencana. Empati membantu untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh mereka yang mengalami bencana.
Sedangkan kepekaan terhadap konteks membantu untuk menilai secara jernih apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin terjadi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, prinsip ini berujung pada tujuan untuk tidak menimbulkan kerusakan atau kerusakan lebih lanjut pada mereka yang mengalami bencana.
Bencana di KPK
Bermula dari pengajuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri oleh Jokowi dan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK, yang terjadi kemudian adalah KPK bak mengalami bencana. Akibat ketidaktegasan– terutama terhadap Polri– dan ketidaksegeraan Jokowi mengambil keputusan, alih-alih mengalami penguatan, KPK mengalami pelemahan.
Kriminalisasi pimpinan KPK oleh Polri, pemberhentian sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dan penunjukan Plt pimpinan KPK telah membuat KPK tak berdaya. KPK sekarang tak bisa lagi bekerja memberantas korupsi seperti sedia kala. KPK, sebagailembagayangdinilaipublik memiliki rekam jejak paling baik dalam pemberantasan korupsi, telah lumpuh. KPK memang masih ada, namun KPK sedang mengalami kesulitan luar biasa saat ini.
Bahkan, sekarang KPK seolah sedang menunggu datangnya terpaan bencana lain, yaitu gelombang praperadilan dari para koruptor yang telah ditersangkakan oleh KPK yang akan menggerus tenaga dan konsentrasi KPK. Di tengah bencana yang telah terjadi dan menunggu bencana berikutnya, para pegawai KPK berusaha menunjukkan semangat bertahan menghadapi bencana yang terjadi.
Para pegawai KPK, yang notabene hasil perekrutan secara profesional–bukan perekrutan secara politik, menunjukkannya dengan melakukan aksi (3 Maret 2015) untuk menyatakan sikap mereka, yang di antaranya menolak rencana pelimpahan kasus Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung. Namun sungguh ironis, aksi tersebut ditanggapi oleh Wapres Jusuf Kalla dengan meminta pegawai KPK mengoreksi diri dan Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi menilai aksi pegawai KPK tersebut sebagai pembangkangan dan mengancam akan memberikan sanksi.
Baik JK maupun Yuddy sewajarnya paham bahwa KPK sedang mengalami bencana. Sewajarnya mereka mengerti bahwa KPK sedang mengalami kelumpuhan dan ketidakmampuan untuk menjalankan tugas utamanya memberantas korupsi.
Sudah seharusnya JK dan Yuddy tahu bahwa bukan hanya pimpinan tetap KPK sudah tidak ada karena diberhentikan sementara, tetapi juga para pegawai KPK bekerja di dalam suasana yang amat tidak kondusif karena konsentrasi dan fokus mereka tersita sejak terjadinya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.
Tanggapan yang diberikan JK dan Yuddy jelas menunjukkan betapa tidak berempatinya mereka, baik terhadap KPK sebagai institusi yang sedang mengalami pelemahan luar biasa maupun terhadap para pegawai KPK yang bisa jadi sedang mengalami demotivasi dan demoralisasi. Aksi para pegawai KPK tersebut di satu sisi menampilkan keresahan mereka, namun di sisi lain menampilkan semangat dan daya tahan mereka dalam mengemban tugas besar melakukan pemberantasan korupsi.
Tanggapan JK dan Yuddy mencerminkan ketidakmauan dan, boleh jadi, ketidakmampuan mereka memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan para pegawai KPK. Tanggapan mereka itu menggambarkan betapa tidak pekanya mereka terhadap apa yang dirasakan sedang terjadi pada KPK dan apa yang mungkin terjadi pada KPK seandainya para pegawainya terkena sanksi.
Respons yang ditunjukkan oleh JK dan Yuddy jelas tidak membuat situasi sulit yang dihadapi KPK berubah membaik karenanya. Malah, respons tersebut adalah tambahan tekanan terhadap mereka yang selama ini menjadi pelaksana sesungguhnya pemberantasan korupsi yang dijalankan oleh KPK. Yuddy adalah menteri yang mendayagunakan aparatur negara. JK, selain wakil presiden, ia adalah ketua umum Palang Merah Indonesia–lembaga yang aktif merespons kondisi bencana.
Ia pun pernah menjabat sebagai kepala Bakornas Penanggulangan Bencana. Ia tentunya mafhum bahwa mereka yang mengalami bencana harus dihindarkan mengalami kerusakan lebih lanjut dari tindakan- tindakan yang diterima atau ditujukan kepada mereka. Oleh karena itu, kepada mereka berdua perlu diingatkan: apabila tidak bisa melakukan sesuatu yang membuat para pegawai KPK berdaya guna di tengah situasi sulit yang mereka hadapi, jangan pula mereka menimbulkan kerusakan pada KPK.
Dan, jika Jokowi telah menjadi bagian yang mendatangkan bencana bagi KPK maka jangan sampai mereka–JK dan Yuddy–menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada KPK. Pak Wapres dan Pak Menteri, please do no harm!
(ars)