Masalah Eksekusi Hukuman Mati
A
A
A
Frans H Winarta
Ketua Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum UPH
Beberapa waktu belakangan ini mencuat berita di media mengenai vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada puluhan terpidana narkoba di Indonesia serta penolakan grasi oleh Presiden Joko Widodo.
Maksud Presiden Joko Widodo menolak permintaan grasi dari 64 terpidana narkoba tersebut telah menimbulkan reaksi dari beberapa negara. Pemerintah Belanda dan Brasil menarik duta besarnya, pemerintah Australia mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengurungkan eksekusi hukuman mati atas warga negara Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
Tidak kurang, Sekjen PBB Ban Ki Moon juga meminta pemerintah Indonesia untuk mengurungkan niatnya itu. Memang sebagai negara berdaulat Indonesia dapat saja mengeksekusi para terpidana narkoba sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun perlu diperhatikan, penolakan grasi secara massal tersebut adalah tidak lazim karena permohonan grasi dari masing-masing terpidana tentunya diajukan dengan alasan- alasan yang berlainan satu sama lain.
Ada terpidana yang mengajukan permohonan grasi karena merasa bersalah dan menyesali perbuatannya, yang kemudian disusul dengan berkelakuan baik dan sadar selama masa tahanan dan rehabilitasi. Apakah terpidana seperti itu pantas untuk dihukum mati. Tentunya rakyat Indonesia paham bahwa alasan Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas ini agar tercipta efek jera kepada pelaku dan calon pelaku yang mengedarkan dan membuat narkoba perlu dipertimbangkan kembali secara hatihati.
Itu juga merupakan penjelasan atas hukuman mati selektif yang dianut Indonesia, di mana hukuman mati harus dilaksanakan secara selektif dan hati-hati serta dipertimbangkan dengan matang. Menolak permohonan grasi secara pukul rata dengan tidak melihat dan mempertimbangkan secara seksama alasan permohonan grasi masing-masing terpidana narkoba dapat berakibat fatal.
Kita semua tahu bahwa lembaga peradilan kita belum independen dan imparsial. Masih dipengaruhi faktor ekonomi dan politik. Korupsi yudisial (judicial coruption ) masih marak dan kualitas putusan pengadilan masih diragukan dan sering menyebabkan kontroversi atau ketidakadilan.
Berbagai akibat dari kebijakan menyamaratakan permohonan grasi untuk ditolak dapat membahayakan integritas dan kepercayaan publik akan politik hukum ini, karena bisa saja terjadi salah tangkap atau salah tuntut. Belum lagi salah bukti sehingga orang yang tidak bersalah dihukum mati. Kalau terpidana telah dieksekusi kemudian ternyata ada ”error in persona ” Maka terpidana yang sudah dieksekusi tidak dapat diperbaiki hukumannya dan dibebaskan lagi.
Di negara adidaya seperti Amerika Serikat pernah terjadi si terpidana sudah dihukum mati kemudian ada seseorang yang mengakui melakukan pembunuhan itu. Nyawa seseorang menjadi taruhannya. Tentunya ini merupakan kejadian yang dramatis dari segi kemanusiaan. Sudah terlambat itulah jawabannya dan memang kebenaran dan keadilan itu tidak ada yang absolut.
Ini bergantung bagaimana keyakinan hakim yang menjatuhkan vonis. Itulah sebabnya presiden harus meminta pendapat Mahkamah Agung RI untuk menerima atau menolak permohonan grasi terpidana secara individual dan bukan massal sebagai mana bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (UU Grasi) yaitu sebagai berikut: ”Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden”.
Begitupun dalam Pasal 2 ayat (1) UU Grasi yang berbunyi sebagai berikut: ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden”. Dapat dilihat secara nyata dalam sebuah kasus bahwa saat ini ada seseorang terpidana mati berasal dari Nigeria yang dipenjara di lembaga pema-syarakatan Surabaya dengan vonis hukuman mati.
Dia bukanlah residivis seperti nama yang tertera dalam paspor palsunya bernama Titus Ani. Namun, jaringan narkoba internasional telah menjebaknya seolah-olah dia adalah seorang residivis narkoba internasional. Padahal, dia hanyalah seorang kurir yang baru pertama kali membawa 396,6 gram narkoba golongan 1 (metamfetamine ) ke Indonesia.
Perikemanusiaan yang Beradab
Apa yang diinginkan penegak hukum di Indonesia terhadap seseorang yang telah menjalani hukuman 10 tahun lebih, kemudian dieksekusi hukuman mati? Ini menimbulkan kebijakan yang dapat dikategorikan sebagai standar ganda karena hukumannya menjadi berlipat. Lambannya proses peradilan di Indonesia tidak dapat diletakkan di bahu terpidana.
Mulai dari proses peradilan di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung, sampai dengan peninjauan kembali dapat saja memakan waktu lebih dari 5 tahun sampai 10 tahun. Perlakuan seperti ini dapat menimbulkan pertanyaan: Sebenarnya kebijakan apa yang dianut di Indonesia sehingga menerapkan politik hukum yang tidak sesuai dengan segi perikemanusiaan jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia.
Hukuman mati telah menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Apakah hukuman mati masih perlu dianut oleh Indonesia atau tidak. Apalagi, mengingat bunyi Pasal 28 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan sebagai berikut: ” Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Begitupun dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (”UU HAM”) yang berbunyi sebagai berikut: ”(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Banyak pro dan kontra akan penjatuhan vonis hukuman mati.
Jika alasannya adalah untuk menciptakan efek jera, maka statistik di banyak negara menunjukkan sebaliknya. Banyak negara yang telah menerapkan hukuman mati sejak dahulu namun angka kejahatan di negara tersebut tetap saja tumbuh dan tidak berkurang. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat masih menerapkan hukuman mati tetapi angka kejahatan tetap bertambah termasuk kejahatan narkoba (drugs trafficking ).
Implikasi Kebijakan Diplomasi Ganda
Salah satu implikasi yang pernah kita alami adalah ketika terjadi kasus pembunuhan Munir di tahun 2004 di dalam pesawat menuju Amsterdam, Pemerintah Indonesia meminta hasil otopsi jenazah Munir, namun Kementerian Hukum Belanda menolak dengan alasan Indonesia masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Mereka khawatir dari hasil laboratorium forensik akan dapat diketahui siapa pembunuh Munir sebenarnya yang pada akhirnya akan dihukum mati sebagai balasan dari perbuatan yang telah dilakukannya. Inilah salah satu akibat yang ke depan dapat saja terjadi lagi jika Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan hukuman mati. Pasti akan ada reaksi timbal-balik dalam diplomasi internasional.
Begitu pula protes keras Indonesia terhadap vonis hukuman mati atas WNI di Malaysia, Saudi Arabia, dan negara- negara Timur Tengah lainnya. Tetapi, Indonesia sendiri juga menerapkan hukuman mati kepada WNA dari negara yang tidak menerapkan hukuman mati seperti Australia dan Belanda.
Selain itu, sewaktu Hendra Rahardja dijadikan tersangka akan diekstradisi dari Australia ke Indonesia, permohonan ekstradisi tadi ditolak oleh Pemerintah Australia karena pemerintah Indonesia dianggap menerapkan sistem hukum yang diskriminatif terhadap minoritas Tionghoa. Juga pemerintah Singapura pernah menolak ekstradisi Nursalim debitur BLBI karena yang bersangkutan belum diputus bersalah oleh pengadilan Indonesia dan belum pernah dinyatakan sebagai tersangka.
Hal-hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian pemerintahan Joko Widodo jika kita ingin dilihat konsisten dalam politik hukum di dalam pergaulan dunia internasional. Jika kita tidak ingin didiskiriminasi oleh dunia internasional, janganlah menerapkan hukum yang diskriminatif terhadap negara lain. Permohonan Sekjen PBB Ban Ki Moon dan Perdana Menteri Tony Abbott terhadap Indonesia perlu mendapatkan perhatian dan dicarikan win-win solution yang terhormat.
Kiranya catatan kecil ini dapat memberikan sumbangsih yang berguna bagi politik hukum di Indonesia selanjutnya. Sehingga, Indonesia dapat menjadi negara berdaulat yang bermartabat di mata dunia, tanpa harus mengorbankan nyawa manusia.
Ketua Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum UPH
Beberapa waktu belakangan ini mencuat berita di media mengenai vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada puluhan terpidana narkoba di Indonesia serta penolakan grasi oleh Presiden Joko Widodo.
Maksud Presiden Joko Widodo menolak permintaan grasi dari 64 terpidana narkoba tersebut telah menimbulkan reaksi dari beberapa negara. Pemerintah Belanda dan Brasil menarik duta besarnya, pemerintah Australia mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengurungkan eksekusi hukuman mati atas warga negara Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
Tidak kurang, Sekjen PBB Ban Ki Moon juga meminta pemerintah Indonesia untuk mengurungkan niatnya itu. Memang sebagai negara berdaulat Indonesia dapat saja mengeksekusi para terpidana narkoba sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun perlu diperhatikan, penolakan grasi secara massal tersebut adalah tidak lazim karena permohonan grasi dari masing-masing terpidana tentunya diajukan dengan alasan- alasan yang berlainan satu sama lain.
Ada terpidana yang mengajukan permohonan grasi karena merasa bersalah dan menyesali perbuatannya, yang kemudian disusul dengan berkelakuan baik dan sadar selama masa tahanan dan rehabilitasi. Apakah terpidana seperti itu pantas untuk dihukum mati. Tentunya rakyat Indonesia paham bahwa alasan Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas ini agar tercipta efek jera kepada pelaku dan calon pelaku yang mengedarkan dan membuat narkoba perlu dipertimbangkan kembali secara hatihati.
Itu juga merupakan penjelasan atas hukuman mati selektif yang dianut Indonesia, di mana hukuman mati harus dilaksanakan secara selektif dan hati-hati serta dipertimbangkan dengan matang. Menolak permohonan grasi secara pukul rata dengan tidak melihat dan mempertimbangkan secara seksama alasan permohonan grasi masing-masing terpidana narkoba dapat berakibat fatal.
Kita semua tahu bahwa lembaga peradilan kita belum independen dan imparsial. Masih dipengaruhi faktor ekonomi dan politik. Korupsi yudisial (judicial coruption ) masih marak dan kualitas putusan pengadilan masih diragukan dan sering menyebabkan kontroversi atau ketidakadilan.
Berbagai akibat dari kebijakan menyamaratakan permohonan grasi untuk ditolak dapat membahayakan integritas dan kepercayaan publik akan politik hukum ini, karena bisa saja terjadi salah tangkap atau salah tuntut. Belum lagi salah bukti sehingga orang yang tidak bersalah dihukum mati. Kalau terpidana telah dieksekusi kemudian ternyata ada ”error in persona ” Maka terpidana yang sudah dieksekusi tidak dapat diperbaiki hukumannya dan dibebaskan lagi.
Di negara adidaya seperti Amerika Serikat pernah terjadi si terpidana sudah dihukum mati kemudian ada seseorang yang mengakui melakukan pembunuhan itu. Nyawa seseorang menjadi taruhannya. Tentunya ini merupakan kejadian yang dramatis dari segi kemanusiaan. Sudah terlambat itulah jawabannya dan memang kebenaran dan keadilan itu tidak ada yang absolut.
Ini bergantung bagaimana keyakinan hakim yang menjatuhkan vonis. Itulah sebabnya presiden harus meminta pendapat Mahkamah Agung RI untuk menerima atau menolak permohonan grasi terpidana secara individual dan bukan massal sebagai mana bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (UU Grasi) yaitu sebagai berikut: ”Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden”.
Begitupun dalam Pasal 2 ayat (1) UU Grasi yang berbunyi sebagai berikut: ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden”. Dapat dilihat secara nyata dalam sebuah kasus bahwa saat ini ada seseorang terpidana mati berasal dari Nigeria yang dipenjara di lembaga pema-syarakatan Surabaya dengan vonis hukuman mati.
Dia bukanlah residivis seperti nama yang tertera dalam paspor palsunya bernama Titus Ani. Namun, jaringan narkoba internasional telah menjebaknya seolah-olah dia adalah seorang residivis narkoba internasional. Padahal, dia hanyalah seorang kurir yang baru pertama kali membawa 396,6 gram narkoba golongan 1 (metamfetamine ) ke Indonesia.
Perikemanusiaan yang Beradab
Apa yang diinginkan penegak hukum di Indonesia terhadap seseorang yang telah menjalani hukuman 10 tahun lebih, kemudian dieksekusi hukuman mati? Ini menimbulkan kebijakan yang dapat dikategorikan sebagai standar ganda karena hukumannya menjadi berlipat. Lambannya proses peradilan di Indonesia tidak dapat diletakkan di bahu terpidana.
Mulai dari proses peradilan di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung, sampai dengan peninjauan kembali dapat saja memakan waktu lebih dari 5 tahun sampai 10 tahun. Perlakuan seperti ini dapat menimbulkan pertanyaan: Sebenarnya kebijakan apa yang dianut di Indonesia sehingga menerapkan politik hukum yang tidak sesuai dengan segi perikemanusiaan jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia.
Hukuman mati telah menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Apakah hukuman mati masih perlu dianut oleh Indonesia atau tidak. Apalagi, mengingat bunyi Pasal 28 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan sebagai berikut: ” Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Begitupun dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (”UU HAM”) yang berbunyi sebagai berikut: ”(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Banyak pro dan kontra akan penjatuhan vonis hukuman mati.
Jika alasannya adalah untuk menciptakan efek jera, maka statistik di banyak negara menunjukkan sebaliknya. Banyak negara yang telah menerapkan hukuman mati sejak dahulu namun angka kejahatan di negara tersebut tetap saja tumbuh dan tidak berkurang. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat masih menerapkan hukuman mati tetapi angka kejahatan tetap bertambah termasuk kejahatan narkoba (drugs trafficking ).
Implikasi Kebijakan Diplomasi Ganda
Salah satu implikasi yang pernah kita alami adalah ketika terjadi kasus pembunuhan Munir di tahun 2004 di dalam pesawat menuju Amsterdam, Pemerintah Indonesia meminta hasil otopsi jenazah Munir, namun Kementerian Hukum Belanda menolak dengan alasan Indonesia masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
Mereka khawatir dari hasil laboratorium forensik akan dapat diketahui siapa pembunuh Munir sebenarnya yang pada akhirnya akan dihukum mati sebagai balasan dari perbuatan yang telah dilakukannya. Inilah salah satu akibat yang ke depan dapat saja terjadi lagi jika Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan hukuman mati. Pasti akan ada reaksi timbal-balik dalam diplomasi internasional.
Begitu pula protes keras Indonesia terhadap vonis hukuman mati atas WNI di Malaysia, Saudi Arabia, dan negara- negara Timur Tengah lainnya. Tetapi, Indonesia sendiri juga menerapkan hukuman mati kepada WNA dari negara yang tidak menerapkan hukuman mati seperti Australia dan Belanda.
Selain itu, sewaktu Hendra Rahardja dijadikan tersangka akan diekstradisi dari Australia ke Indonesia, permohonan ekstradisi tadi ditolak oleh Pemerintah Australia karena pemerintah Indonesia dianggap menerapkan sistem hukum yang diskriminatif terhadap minoritas Tionghoa. Juga pemerintah Singapura pernah menolak ekstradisi Nursalim debitur BLBI karena yang bersangkutan belum diputus bersalah oleh pengadilan Indonesia dan belum pernah dinyatakan sebagai tersangka.
Hal-hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian pemerintahan Joko Widodo jika kita ingin dilihat konsisten dalam politik hukum di dalam pergaulan dunia internasional. Jika kita tidak ingin didiskiriminasi oleh dunia internasional, janganlah menerapkan hukum yang diskriminatif terhadap negara lain. Permohonan Sekjen PBB Ban Ki Moon dan Perdana Menteri Tony Abbott terhadap Indonesia perlu mendapatkan perhatian dan dicarikan win-win solution yang terhormat.
Kiranya catatan kecil ini dapat memberikan sumbangsih yang berguna bagi politik hukum di Indonesia selanjutnya. Sehingga, Indonesia dapat menjadi negara berdaulat yang bermartabat di mata dunia, tanpa harus mengorbankan nyawa manusia.
(ars)