Gong Xi Fa Cai, Hujan Rezeki Sepanjang Tahun

Senin, 23 Februari 2015 - 10:17 WIB
Gong Xi Fa Cai, Hujan...
Gong Xi Fa Cai, Hujan Rezeki Sepanjang Tahun
A A A
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta


Hujan bagi orang kota saat ini menjadi peristiwa yang menakutkan, karena ketika hujan turun mereka mesti bersiap menghadapi genangan air yang tak mampu lagi diserap tanah akibat seluruh lapisan permukaannya sudah berbeton.

Hendak lari ke sungai sudah tertimbun oleh sampah, bersemayam di rawa sudah berubah menjadi hutan-hutan beton. Tapi bagi masyarakat perdesaan, hujan adalah anugerah Tuhan yang dikirim melalui jasa angin, awan, kabut, dan matahari yang senantiasa turun pada suhu tertentu. Sang Penjaga Suhu jutaan hektare belantara yang terhampar di berbagai belahan dunia serta dewa salju yang bertapa di Kutub Utara dan Kutub Selatan, mereka diam dalam kebisuan untuk menjaga keseimbangan penghuni semesta antara dua musim atau empat musim.

Pertapaan mereka kini sering terusik oleh berisiknya anak manusia yang senantiasa mengganggu kekhusyukannya melalui pembabatan hutan, pembakaran batu bara serta faktor yang memicu peningkatan emisi karbon lainnya yang mengakibatkan efek rumah kaca. Perubahan iklim adalah bencana bagi kaum petani dan nelayan yang mengubah siklus kehidupan mereka yang selama ini menggantungkan diri dari kemurahan dan kasih sayang alam.

Gangguan yang mereka alami merupakan dampak dari kerakusan kelompok manusia yang menumpukkan seluruh kekayaannya pada lalu lintas keuangan yang kadang mereka sendiri tak mampu menikmatinya. Tumpukan gedung pencakar langit, gemerlap kehidupan di pusat-pusat kota, serta hobi yang kadang sudah tidak masuk akal sehat, adalah bagian dari gaya hidup manusia yang memberikan dampak bagi perubahan iklim.

Hujan pada saat Tahun Baru Imlek bagi masyarakat Tionghoa adalah pancaran harapan rezeki yang akan didapat pada perjalanan waktu yang akan dijalani. Imlek atau tahun baru bagi masyarakat Tionghoa sudah melekat dalam tradisi kehidupan masyarakat kita. Hubungan kekerabatan yang sangat alami terpatri dalam rentang waktu yang cukup lama. Orang Sunda menyebut Imlek dengan kalimat “Babaru Cina”.

Babaru artinya membuka areal persawahan baru yang dalam bahasa ilmu pertanian disebut ekstensifikasi . Biasanya orang Sunda membuka beberapa bukit yang memiliki sumber-sumber air dengan bentuk posisi tapak siring atau sengked agar sawahnya teraliri air dengan baik dari sumber air di gunung.

Kecerdasan membuka areal pertanian baru oleh leluhur kita ternyata tak mampu diwujudkan ketika 1 juta hektare lahan pertanian dibuka di bumi Kalimantan pada era Orde Baru yang menghancurkan tatanan ekosistem dan hanya menghasilkan rawa-rawa baru. Yang menjadi faktor utama kegagalan tersebut mungkin adalah hawa nafsu membukanya karena ada pohon besar di situ yang bisa ditebang, mungkin pula karena nominal proyek yang bisa melahirkan keuntungan atau mungkin karena penghitungan teknis yang tidak tepat.

Terlepas dari itu semua, kita mestinya belajar bahwa kekuatan perencanaan dan modal tak akan ada arti manakala tidak lahir dari kejernihan hati dan penghormatan terhadap para leluhur. Babaru Cina, bisa jadi dalam setiap tahun baru masyarakat Tionghoa yang mayoritas para pebisnis punya rezeki baru. Rezeki baru akan lahir dari imajinasi, improvisasi, dan langkah-langkah baru yang terlahir dari adanya tantangan dan persaingan hidup yang semakin kompetitif.

China dengan hamparan negara dan karakternya kini menjadi kekuatan tangguh dalam dunia bisnis, baik kekuatan negaranya maupun kekuatan individunya yang tersebar di seluruh dunia yang telah berhasil menjadi sosok para pebisnis tangguh dan mumpuni di berbagai bidang. Mereka adalah kelompok masyarakat dan individu yang tekun dalam mengelola sesuatu.

Hal-hal kecil yang sering kali kita remehkan justru mereka produksi dengan baik: jarum pentul, peniti, kancing cetet, ritsleting, kancing, dan silet. Kini mereka pun menguasai produksi kapal perang, kapal selam, pesawat tempur, pesawat angkut, motor, televisi, perangkat komunikasi, bahkan teknologi luar angkasa. Prinsip-prinsip hidup yang diterapkan merupakan kekuatan fundamen dari seluruh keberhasilan yang dicapainya.

Pola hidup prihatin pada saat seluruh usahanya belum mencapai keberhasilan adalah ideologi hidup yang patut menjadi teladan. Bubur adalah saksi dari perjalanan keprihatinan yang mesti dijalani. Manakala hasil produksinya belum berjalan sesuai harapan, bubur adalah bagian dari makanan yang harus disantap agar seluruh pengeluaran menjadi efisien.

Hari ini ternyata bubur sudah dianggap tidak relevan lagi bagi masyarakat Tionghoa karena mereka sudah subur makmur sehingga bubur dianggap sebagai simbol kemiskinan. Tapi bagi orang Sunda, tidak ada urusan antara bubur dengan miskin atau kaya. Bubur adalah bagian dari energi pagi. Tanpa bubur, hidup tanpa vitalitas. Itulah sebabnya, tukang bubur hampir ada pada setiap sudut: ada Bubur Ayam Sampoerna Cianjur, Bubur Ayam PRSavoy Homann Bandung, atau Bubur Ayam Sukabumi.

Tapi di Purwakarta, bubur ayam yang enak justru adanya di malam hari, Bubur Check Shift namanya. Mungkin sebagian orang tidak akan nyenyak tidur tanpa dihantar oleh semangkuk bubur. Bagi masyarakat Sunda, bukan hanya bubur yang menjadi penghantar pagi. Ada soto, kupat tahu, surabi, lontong sayur, pokoknya seluruh penganan yang terbuat dari beras.

Kata Mang Udin, tetangga di kampung saya, “Ku urang Sunda mah bubur teh teu dianggap dahar ( bagi orang Sunda menyantap bubur tidak dianggap makan ), soto teu dianggap dahar, surabi teu dianggap dahar , kupat tahu lontong sayur juga belum dianggap makan, kecuali kalau sudah makan nasi. Orang Sunda itu makannya cuma sekali, da isuk-isuk mah sasarap (pagi-pagi sarapan), beurang ngawadang, tah sore karek dahar ... (nah, sore baru makan).”

Makanya, beras itu sesuatu yang sangat penting. Jangan coba ganggu urusan yang satu ini. Masyarakat bisa berteriak, mata melotot, badan bergetar karena salatri (perut melilit saking lapar). Kalau sudah salatri , hukumnya ada dua. Yang satu pingsan, yang satu lagi kesurupan. Dengan profesinya yang mayoritas pebisnis, hujan rezeki masyarakat Tionghoa tidak ada musimnya. Karena dalam setiap waktu, seluruh keuangannya berputar tak terpengaruh lagi oleh musim.

Di musim hujan saat orang perlu payung, perlu jas hujan, perlu jaket, perlu kaus tangan, kaus kaki, belinya di toko engkoh . Di musim kemarau saat petani perlu pompa air, perlu topi, perlu kaca mata rayban , belanjanya tetap saja di toko engkoh . Tiap malam, tiap hari, beli obat nyamuk, beli sabun, sikat gigi, odol, sampo, belinya tetap saja di toko engkoh . Beli motor, beli mobil, beli sepeda, beli dorongan bayi, di toko engkoh juga.

Eeh , waktu Natalan yang ramai tokonya engkoh . Lebaran, yang ramai tokonya engkoh juga. Ternyata kalau dipikir-pikir, si engkoh itu lebarannya sepanjang tahun, malah bisa dibilang tiap hari juga lebaran. Kata Ma Icih, komentator setia di kampung saya, istri cantiknya Mang Udin, “Kalau rezeki kita terbatas, itu salah kita dalam berdoa. Kenapa tangannya tengadah, kan artinya menunggu diberi. Coba si enci dan si engkoh kalau berdoa, pasti diajul (dijolok) pake hio.

Makanya rezekinya lebih banyak jatuh dibanding kita yang cuma nunggu rezeki yang jatuh. Si engkoh dan si enci itu sebelum ngajul (menjolok) susuguh (memberi persembahan) dulu, Disiapkan buah yang bagus, ratus yang bagus. Semakin bagus susuguhnya , semakin banyak rezeki yang didapatnya. Nggak tau apa alasannya, tradisi susuguh kepada leluhur banyak para tokoh yang melarang. Akibatnya, anak cucu kami sudah tidak kenal lagi leluhurnya.

Mungkin suatu saat kami pun tak akan lagi memiliki tanah leluhur karena sudah habis terjual dan tergusur. Kalau yang ngajulnya si engkoh dan si enci, sedangkan tangan kita cuma tengadah, wajar saja kalau kita kebagiannya sedikit.

Itu pun kalau si engkoh dan si enci nya masih punya hati untuk ngasih pada kita. Tapi, sekarang, si engkoh dan si enci tidak mungkin ngasih kepada kita karena si engkoh dan si enci tidak mau terlibat gratifikasi....” Selamat Tahun Baru, Koh, Ci .... Melimpah rezeki sepanjang tahun, Gong Xi Fa Cai.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0799 seconds (0.1#10.140)