Eksepsionalisme Indonesia
A
A
A
FARIED F SAENONG
Peneliti pada Pusat Studi Alquran dan
The Nusa Institute
Dalam sebuah workshop bertajuk ”Female Islamic Authority in Comparative Perspective: Exemplars, Institutions, Practices” yang diadakan 8- 9 Januari 2015 di KITLV Leiden, diskusi tentang eksepsionalisme Indonesia kembali mengemuka.
Hampir semua paper dalam workshop yang diurus David Kloos (Indonesanis muda di KITLV) dan Mirjam Kunkler (Princeton University) itu membahas berbagai model otoritas ulama perempuan di Iran, Tajikistan, Thailand, Singapura, Indonesia, dan India. Mungkin oleh kekhasannya, di sini selalu saja berlangsung diskusi tentang Indonesian exceptionalism (keterkecualian Indonesia).
Secara khusus, paper penulis berjudul ”Exercising Religious Authority: Female Islamic Authority in Majelis Taklim Circles in Jakarta” juga menyedot perhatian tentang eksepsionalisme Indonesia. Exceptionalism mengandaikan adanya model budaya yang melekat kuat pada masyarakat tertentu–yang sulit dipengaruhi atau berubah oleh faktor eksternal.
Sejak muncul dalam konteks Weberianisme (yang awalnya meyakini hanya Protestanisme yang mampu menerima demokrasi dan modernitas), istilah exceptionalism sangat bernuansa negatif. Negara- negara Arab, misalnya, disebut sebagai exceptionalism karena hanya mereka yang tidak dapat menerapkan dan menjalankan demokrasi secara baik.
Menariknya, eksepsionalisme Indonesia justru bernuansa positif. Dalam banyak diskursus ilmiah di berbagai disiplin ilmu, Indonesia selalu dikecualikan secara positif. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia selalu mendapat pengecualian dengan dibedakan dari Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam hal tren negatif tentang Islam dan masyarakat muslim.
Dalam konteks dunia Islam pun, Indonesia selalu dikecualikan sebagai satusatunya negara berpenduduk muslim yang dapat mengembangkan demokrasi, baik secara teoretis, maupun dengan pengayaan melalui kreasi lokalitas. Dalam ekspresi yang lain, demokrasi di Indonesia kuat dan menguat karena ditopang oleh semangat moderasi para elite dan anggota masyarakat.
Dalam workshop di Leiden tersebut, Indonesia kembali disebut eksepsional karena memiliki banyak eksemplar dan institusi yang menopang terbentuknya otoritas ulama perempuan sejak dulu hingga kini. Sebelum Islam datang ke Indonesia, perempuan telah menikmati otoritas politik dengan adanya ratu-ratu yang berkuasa.
Perempuan-perempuan berstatus sultanah, pahlawan dan pejuang di berbagai bidang, mudah ditemukan di Indonesia. Dalam konteks keulamaan, Indonesia telah melahirkan ulama perempuan model Indonesia, meski tidak terekspos secara berimbang dengan ulama laki- laki. Kita mungkin bisa mengingat-ingat peran Rahmah El-Yunusiah, Nyai Ahmad Dahlan, Nyai Khiriyah Hasyim Asyari, Nyai Sholihah Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan perempuan Islam di awal Abad 20.
Di masa sekarang ini, sebagaimana dibahas dalam lima makalah tentang ulama perempuan Indonesia dalam workshop tersebut, beberapa individu dan berbagai institusi tampak terlibat dalam reproduksi ulama perempuan. Proses reproduksi itu dilakukan secara sadar dan terstruktur dalam lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia.
MUI, dengan program Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang awalnya hanya menerima laki-laki, telah melibatkan peserta perempuan. Secara khusus, LSM Rahima telah menjalankan program Pengaderan Ulama Perempuan (PUP) sejak 2005 dengan melibatkan nyai (istri kiai) dan ning (anak perempuan kiai) yang memiliki potensi besar dari berbagai pesantren di Indonesia.
Tradisi kitab kuning selalu menjadi bagian penting dalam program ini. NU dan Muhammadiyah juga melakukan reproduksi yang sama sehingga dapat terlibat dalam forum bahtsul masail dan majlis tarjih yang memutuskan banyak hal tentang hukum Islam di Indonesia.
Lingkungan majelis taklim (MT) di Jakarta juga cukup memiliki model dalam reproduksi muballighah yang berotoritas di lingkungannya masing-masing. Kehadiran Tuti Alawiyah, Suryani Thahir dan Faizah Ali adalah sosok ulama perempuan yang mewarisi otoritas keagamaan dari bapak mereka yang ulama besar.
Ditambah dengan pewarisan tradisi keulamaan dan keilmuan dari Indonesia (MT, pesantren, dan IAIN) dan Mesir (Al-Azhar), mereka mampu membangun otoritas keagamaan yang diakui secara nasional. Hal ini kemudian terdiseminasi secara efektif dan terstruktur dalam lingkungan majelis taklim yang telah menjadi fenomena luar biasa di Indonesia.
Individu dan institusi seperti ini yang jarang–untuk mengatakan tidak ada–ditemui di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lain. Paper yang mengangkat ulama perempuan dari negara lain lebih fokus pada model alamiah (Iran dan India), atau memang peran otoritas keagamaan yang sulit dilakukan oleh ulama laki-laki (Tajikistan).
Meski dengan model otoritas keagamaan yang telah terfragmentasi sedemikian rupa, Indonesia mampu hadir sebagai negara muslim yang dapat beradaptasi secara cepat dan tepat dengan demokrasi dan modernitas. Akademisi seperti Henk Nordholt, Mirjam Kunkler dan Ben Soares yang terlibat aktif dalam diskusi di workshop ini pun mengakui banyak hal bahwa Indonesia selalu menjadi pengecualian.
Peneliti pada Pusat Studi Alquran dan
The Nusa Institute
Dalam sebuah workshop bertajuk ”Female Islamic Authority in Comparative Perspective: Exemplars, Institutions, Practices” yang diadakan 8- 9 Januari 2015 di KITLV Leiden, diskusi tentang eksepsionalisme Indonesia kembali mengemuka.
Hampir semua paper dalam workshop yang diurus David Kloos (Indonesanis muda di KITLV) dan Mirjam Kunkler (Princeton University) itu membahas berbagai model otoritas ulama perempuan di Iran, Tajikistan, Thailand, Singapura, Indonesia, dan India. Mungkin oleh kekhasannya, di sini selalu saja berlangsung diskusi tentang Indonesian exceptionalism (keterkecualian Indonesia).
Secara khusus, paper penulis berjudul ”Exercising Religious Authority: Female Islamic Authority in Majelis Taklim Circles in Jakarta” juga menyedot perhatian tentang eksepsionalisme Indonesia. Exceptionalism mengandaikan adanya model budaya yang melekat kuat pada masyarakat tertentu–yang sulit dipengaruhi atau berubah oleh faktor eksternal.
Sejak muncul dalam konteks Weberianisme (yang awalnya meyakini hanya Protestanisme yang mampu menerima demokrasi dan modernitas), istilah exceptionalism sangat bernuansa negatif. Negara- negara Arab, misalnya, disebut sebagai exceptionalism karena hanya mereka yang tidak dapat menerapkan dan menjalankan demokrasi secara baik.
Menariknya, eksepsionalisme Indonesia justru bernuansa positif. Dalam banyak diskursus ilmiah di berbagai disiplin ilmu, Indonesia selalu dikecualikan secara positif. Dalam konteks Asia Tenggara, Indonesia selalu mendapat pengecualian dengan dibedakan dari Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam hal tren negatif tentang Islam dan masyarakat muslim.
Dalam konteks dunia Islam pun, Indonesia selalu dikecualikan sebagai satusatunya negara berpenduduk muslim yang dapat mengembangkan demokrasi, baik secara teoretis, maupun dengan pengayaan melalui kreasi lokalitas. Dalam ekspresi yang lain, demokrasi di Indonesia kuat dan menguat karena ditopang oleh semangat moderasi para elite dan anggota masyarakat.
Dalam workshop di Leiden tersebut, Indonesia kembali disebut eksepsional karena memiliki banyak eksemplar dan institusi yang menopang terbentuknya otoritas ulama perempuan sejak dulu hingga kini. Sebelum Islam datang ke Indonesia, perempuan telah menikmati otoritas politik dengan adanya ratu-ratu yang berkuasa.
Perempuan-perempuan berstatus sultanah, pahlawan dan pejuang di berbagai bidang, mudah ditemukan di Indonesia. Dalam konteks keulamaan, Indonesia telah melahirkan ulama perempuan model Indonesia, meski tidak terekspos secara berimbang dengan ulama laki- laki. Kita mungkin bisa mengingat-ingat peran Rahmah El-Yunusiah, Nyai Ahmad Dahlan, Nyai Khiriyah Hasyim Asyari, Nyai Sholihah Wahid Hasyim dalam bidang pendidikan perempuan Islam di awal Abad 20.
Di masa sekarang ini, sebagaimana dibahas dalam lima makalah tentang ulama perempuan Indonesia dalam workshop tersebut, beberapa individu dan berbagai institusi tampak terlibat dalam reproduksi ulama perempuan. Proses reproduksi itu dilakukan secara sadar dan terstruktur dalam lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia.
MUI, dengan program Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang awalnya hanya menerima laki-laki, telah melibatkan peserta perempuan. Secara khusus, LSM Rahima telah menjalankan program Pengaderan Ulama Perempuan (PUP) sejak 2005 dengan melibatkan nyai (istri kiai) dan ning (anak perempuan kiai) yang memiliki potensi besar dari berbagai pesantren di Indonesia.
Tradisi kitab kuning selalu menjadi bagian penting dalam program ini. NU dan Muhammadiyah juga melakukan reproduksi yang sama sehingga dapat terlibat dalam forum bahtsul masail dan majlis tarjih yang memutuskan banyak hal tentang hukum Islam di Indonesia.
Lingkungan majelis taklim (MT) di Jakarta juga cukup memiliki model dalam reproduksi muballighah yang berotoritas di lingkungannya masing-masing. Kehadiran Tuti Alawiyah, Suryani Thahir dan Faizah Ali adalah sosok ulama perempuan yang mewarisi otoritas keagamaan dari bapak mereka yang ulama besar.
Ditambah dengan pewarisan tradisi keulamaan dan keilmuan dari Indonesia (MT, pesantren, dan IAIN) dan Mesir (Al-Azhar), mereka mampu membangun otoritas keagamaan yang diakui secara nasional. Hal ini kemudian terdiseminasi secara efektif dan terstruktur dalam lingkungan majelis taklim yang telah menjadi fenomena luar biasa di Indonesia.
Individu dan institusi seperti ini yang jarang–untuk mengatakan tidak ada–ditemui di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lain. Paper yang mengangkat ulama perempuan dari negara lain lebih fokus pada model alamiah (Iran dan India), atau memang peran otoritas keagamaan yang sulit dilakukan oleh ulama laki-laki (Tajikistan).
Meski dengan model otoritas keagamaan yang telah terfragmentasi sedemikian rupa, Indonesia mampu hadir sebagai negara muslim yang dapat beradaptasi secara cepat dan tepat dengan demokrasi dan modernitas. Akademisi seperti Henk Nordholt, Mirjam Kunkler dan Ben Soares yang terlibat aktif dalam diskusi di workshop ini pun mengakui banyak hal bahwa Indonesia selalu menjadi pengecualian.
(bbg)