Imlek dan Kesejahteraan

Kamis, 19 Februari 2015 - 10:00 WIB
Imlek dan Kesejahteraan
Imlek dan Kesejahteraan
A A A
TOM SAPTAATMAJA
Teolog

Tidak terasa Imlek sudah datang kembali yang jatuh bersamaan dengan 19 Februari 2015 kalender Masehi. Tahunnya menunjukkan angka 2566, yang dihitung sejak kelahiran Confucius pada 551 Sebelum Masehi.

Dengan demikian, angka 2566 merupakan penjumlahan angka 551 dan 2015. Kata ”Imlek” berasal dari bahasa Hokkian Selatan, berarti ”penanggalan bulan”. Perhitungan penanggalan Imlek semula didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar calendar) dan telah dikenal sejak ribuan tahun sebelum masehi.

Uniknya perhitungan penanggalan ini juga didasarkan atas peredaran bumi mengelilingi matahari (solar calendar) seperti penanggalan masehi. Jika dibanding dengan tahun baru lainnya, Imlek boleh jadi merupakan satu-satunya hari yang paling unik dan inklusif. Keunikannya, perayaan tahun baru ini bisa dirayakan warga Tionghoa atau China yang beragama apa pun.

Awalnya dahulu, Imlek atau Sin Tjia merupakan perayaan para petani yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama awal tahun baru. Perayaan itu juga berkaitan dengan pesta menyambut musim semi, yang dimulai pada tanggal 30 bulan ke- 12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh.

Tujuannya, tak lain sebagai syukur dan doa harapan agar tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, di sampinguntukmenjamuleluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga. Jadi pada mulanya Imlek bukan perayaan keagamaan tertentu, melainkan upacara tradisional masyarakat Tiongkok.

Di Republik Rakyat Tiongkok, Imlek diperingati bersama oleh warga yang beragama Konghucu, Buddha, Hindu, Islam, Katolik, dan Kristen. Tetapi, khusus bagi saudarasaudara penganut Konghucu dan Buddha, hingga kini Imlek tetap merupakan perayaan keagamaan. Bagi umat Konghucu misalnya secara khusus Imlek merupakan peringatan tahun kelahiran Sang Nabi (Kongzi atau Confucius), tokoh yang punya banyak pesan moral.

Upacara menyambut Tahun Baru Imlek oleh penganut Konghucu disebut taopekong, dilakukan pada bulan 12 atau Cap Ji Gwee (bahasa Hokkian)/ bulan La (bahasa Mandarin) tanggal 23 atau 24. Kata ”taopekong” bermakna ”paman buyut” (saudara laki-laki buyut) dengan makna kiasan ”dewa”. Taopekong digambarkan sebagai orang yang seusia buyut atau generasi di atasnya.

SedangkanidentifikasiImleksebagaihari raya Buddhis dimulai setelah agama Buddha menyebar di Tiongkok pada zaman Dinasti Han (202 SM - 221 M), di bawah Raja Han Ming Ti. Awalnya agama Buddha hanya dianut kalangan istana, lalu menyebar ke masyarakat. Rakyat yang sudah menganut agama Buddha masih tetap mempertahankan budaya tradisionalnya, bahkan kadang tercampur dengan kepercayaan kuno seperti Taoisme dan Konfusianisme.

Bagi Tionghoa Kristen atau muslim, Imlek jelas bukan merupakan hari keagamaan. Meski demikian, tentu tidak ada salahnya jika pada Tahun Baru Imlek yang merupakan tradisi dari nenek moyang ini, Tionghoa Kristen atau muslim berdoa dan bersyukur pada Sang Khalik. Nah, dari ilustrasi di atas menjadi menarik bahwa Imlek ternyata tidak eksklusif, tapi inklusif karena bukan terkait agama atau golongan tertentu.

Dalam Imlek terkandung pesan yang mencobamenjembatanisemua sekat-sekat yang ada. Imlek menjadi hari raya kultural Tionghoa secara umum. Singkatnya ada satu Imlek yang bisa dirayakan oleh semua. Karena itu, semua etnis Tionghoa, baik yang totok atau peranakan, tidakperlutakutatauragu lagi untuk secara terbuka merayakan Imlek.

Entah Tionghoa penganut Konghucu, Buddha, Islam, atau Kristen pada satu hari Imlekinibisabersatudalam satu rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Satu. Segala perbedaan bukan coba dihapus, tetapi diterima dan dihargai keberadaannya. Semua yang berbeda bisa bersatu memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.

Semangat membuka diri bagi semua ini persis dengan filosofi yang ada di sebagian kelenteng di Jawa seperti Kelenteng Kwan Sing Bio di Tuban yang menerima siapa pun yang hendak masuk maupun menginap. Saking terbuka terhadap lingkungannya, dalam kelenteng-kelenteng itu sering terdapat patung-patung setempat yang sama sekali tidak terdapat dalam tradisi Tiongkok.

C Salmon dan Lombard sudah menyelidiki sekitar 115 dewa yang ada di kelenteng-kelenteng di Jawa, paling sedikit 23 dewa berasal dari peradaban Jawa atau Sunda. Ini boleh jadi selaras dengan prinsip ”Yin-Yang” agar harmoni dengan semua pihak bisa senantiasa dijaga. Harmoni bukan berarti hendak menghapus perbedaan, tapi justru dijaga agar perbedaan itu bisa dikelola sehingga menjadi satu lagu merdu.

Bukankah sebuah lagu merdu tersusun dari nada-nada yang berbeda? Karena itu, pesan inklusif Imlek harus mampu diterjemahkan dalam bentuk menghindari segala bentuk komersialisasi Imlek yang hanya mengumbar semangat konsumerisme. Imlek harus diterjemahkan menjadi solidaritas dan empati bagi saudara-saudara sebangsa, khususnya yang tengah menjadi korban banjir baik di Jakarta, Bandung, atau di dekat Kali Lamong, Surabaya.

Jangan lupa, dalam Imlek melekat satu tradisi yakni pemberian ”angpau”. Nah, di tengah kondisi saudara-saudara sebangsa dilanda banyak bencana banjir, rasanya bijak jika kita juga berbagi angpau dengan mereka, sebagai ekspresi solidaritas kita. Tanpa solidaritas atau bela rasa bagi yang lemah, kemakmuran atau kesejahteraan yang kita nikmati tiada akan berarti, malah menjerat kita dalam sikap tamak penuh egosentrisme.

Tanpa kesediaan berbagi dengan yang lemah dan miskin, kita jelas gagal menghidupi pesan atau semangat inklusif Imlek. Selama ini kekayaan dan kemakmuran hanya dinikmati sebagian kecil kalangan atas dan tidak menyentuh sebagian besar kaum jelata atau wong cilik. Semoga ke depan akan kian banyak perbaikan demi kesejahteraan negeri ini. Semoga kita semua sadar bahwa kesejahteraan seharusnya menjadi milik semua orang. Gong Xi Fa Choi 2566.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9414 seconds (0.1#10.140)