Ihwal Jargon di Ranah Publik
A
A
A
Yuliz AR Komarawan
Duta Bahasa Jawa Barat 2014
“Sekarang ‘seperti itu’ ya. Kalian kekasih hati tahu, ... .” “… 11 ka bupaten dan kota berstatus kejadian luar biasa atau KLB demam berdarah.” “ … berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan juga di bidang budaya,… ”
Saat ini kita sering mendengar kata-kata atau istilah kurang familiar yang dilon tarkan oleh berbagai kalangan di negeri ini. Sebut saja Syahrini yang baru-baru ini mempopulerkan istilah “seperti itu”. Para wartawan pun tak ketinggalan menggunakan frase “kejadian luar biasa” ketika melaporkan berita tentang suatu penyakit.
Bahkan, Presiden Jokowi pun ikut serta dengan meng gu na - kan istilah ‘berdikari’ saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 20 November 2014 lalu. Istilah “seperti itu”, “kejadian luar biasa”, dan “berdikari” inilah yang kemudian disebut jargon. Secara etimologi, kata jargon berasal dari bahasa Inggris Abad Pertengahan Jargo(u)n, gar - goun, gir goun yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung. Menurut KBBI, jargon merupakan kosakata khusus yang digunakan di bidang kehidupan (lingkungan) tertentu.
Adapun pakar bahasa men definisikan jargon sebagai bahasa yang digunakan oleh kalangan tertentu, tetapi kurang dipahami oleh masyarakat luas. Jargon bukanlah bahasa yang bersifat rahasia karena bisa di pahami dengan cara mem pe lajarinya. Jargon dapat berupa frase, kalimat, singkatan, atau akronim seperti berdikari, DPO, dan KLB. Di lingkungan tertentu, jargon berupa huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi keduanya.
Dalam kehidupan seharihari, jargon merupakan sebuah identitas kelompok tertentu. Jargon berhubungan erat dengan suatu komunitas atau profesi tertentu. Jargon seperti gan, cendol, bata merah, pertamax, pejwan, no afgan, COD (cash on delivery), dan WTB (want to buy) identik dengan para kaskuser. Sementara itu, “ke jadian luar biasa” merupakan jargon yang digunakan oleh orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan.
Masyarakat awam pada umumnya hanya me ngenal istilah itu dengan kata wabah. Pada prinsipnya, jargon-jargon tersebut digunakan untuk mempermudah komunikasi antaranggotanya. Jargon juga digunakan untuk mengefektifkan proses komunikasi dan meningkatkan citra diri. Dengan meng gunakan jargon berupa singkatan dan angka tertentu, anggota komunitas dapat dengan singkat menyampaikan suatu ide tanpa harus menggunakan banyak kata.
Umpamanya, anggota kepolisian sering menggunakan jargon seperti DPO (daftar pencarian orang), DVI (disaster victim identification), RI 1 (presiden), 5-4 (sedang ada demonstrasi) atau buntut tikus (handy talky) antaranggotanya. Sementara itu, jargon berdikari (berdiri di kaki sendiri) berfungsi untuk meningkatkan citra pemerintahan.
Jargon tersebut kurang lebih bermakna pemerintah berusaha menjadi kan bangsa Indonesia menjadi bang sa yang mandiri dengan mengandalkan kemampuan sendiri. Melalui jargon ini, pemerintah berusaha meraih dukung an dari masyarakat luas. Nampaknya penggunaan jargon di ranah publik merupakan cara efektif untuk meraih sim pati dari khalayak.
Di sisi lain, penggunaan jar gon di ruang publik pun menimbul kan polemik. Farid Gaban yang merupakan seorang wartawan pada 2008 meng kritik penggunaan jargon oleh para pemegang kepe tingan. Menurutnya, penggunaan jargon te lah mengotak-ngotakkan ma sya rakat menjadi kelompok-ke lompok kecil dan mengaburkan pesan yang akan disampaikan. Makin hari, makin banyak pejabat publik, politikus, dan pakar yang menggunakan dan memproduksi jargon. Baru-baru ini, Hikmahanto Juwana, salah satu tim independen KPK - POLRI , dalam salah satu pernya taannya menyebut istilah ‘anomali’.
Jargon ini meru pa kan istilah ilmu pengetahuan alam untuk menjelaskan se buah penyimpangan atau ke ti dak normalan. Namun, dalam hal ini istilah ini digunakan untuk meng gambar kan keadaan yang sedang terjadi antara KPK dan Polri. Anomali hanya di pa hami oleh segelintir orang. Tentunya, orang-orang awam di pangkalan ojek dan pasar ku rang familiar de ngan jargon itu.
Mungkin bagi mereka istilah itu terdengar rumit dan abstrak. Dalam kasus ini, penggunaan jargon tersebut dirasa kurang tepat digunakan di ruang pub lik. Jargon berupa singkatan atau akronim juga bisa mem buat orang pusing. Pasalnya, jar gon tersebut hanya dimengerti kalangan tertentu saja dan masyarakat luas umumnya ku rang paham. Jargon seperti kon tras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Ke kerasan), markus (makelar kasus), cakus (calo kasus), cakil (calo keliling), curas (pencurian de ngan kekerasan), KLB (keja di an luar biasa) merupakan con toh kecil akronim dan singkatan yang sering muncul di ranah publik.
Kebanyakan jargon tersebut dihasilkan pejabat publik dan disebarluaskan melalui me dia. Menyikapi penggunaan jargon di ranah publik, ada baiknya kita melihat kembali tujuan kita berkomunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan. Namun, apa jadinya jika pesan yang disampaikan sulit dipahami bahkan terdengar abstrak dan rumit karena jargon. Tentunya kita bisa dikatakan gagal dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, kita sebaiknya menghindari penggunaan jargon di ranah publik yang merupakan komunitas heterogen.
Salah satu caranya dengan mem bayangkan lawan bicara kita ketika hendak berbicara atau menulis. Selain itu, sebisa mungkin kita menggunakan kata-kata sederhana, konkret, spesifik, dan mudah dipahami khalayak ramai termasuk tukang ojek dan penjual di pasar.
Duta Bahasa Jawa Barat 2014
“Sekarang ‘seperti itu’ ya. Kalian kekasih hati tahu, ... .” “… 11 ka bupaten dan kota berstatus kejadian luar biasa atau KLB demam berdarah.” “ … berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan juga di bidang budaya,… ”
Saat ini kita sering mendengar kata-kata atau istilah kurang familiar yang dilon tarkan oleh berbagai kalangan di negeri ini. Sebut saja Syahrini yang baru-baru ini mempopulerkan istilah “seperti itu”. Para wartawan pun tak ketinggalan menggunakan frase “kejadian luar biasa” ketika melaporkan berita tentang suatu penyakit.
Bahkan, Presiden Jokowi pun ikut serta dengan meng gu na - kan istilah ‘berdikari’ saat menyampaikan pidato kenegaraan pada 20 November 2014 lalu. Istilah “seperti itu”, “kejadian luar biasa”, dan “berdikari” inilah yang kemudian disebut jargon. Secara etimologi, kata jargon berasal dari bahasa Inggris Abad Pertengahan Jargo(u)n, gar - goun, gir goun yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung. Menurut KBBI, jargon merupakan kosakata khusus yang digunakan di bidang kehidupan (lingkungan) tertentu.
Adapun pakar bahasa men definisikan jargon sebagai bahasa yang digunakan oleh kalangan tertentu, tetapi kurang dipahami oleh masyarakat luas. Jargon bukanlah bahasa yang bersifat rahasia karena bisa di pahami dengan cara mem pe lajarinya. Jargon dapat berupa frase, kalimat, singkatan, atau akronim seperti berdikari, DPO, dan KLB. Di lingkungan tertentu, jargon berupa huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi keduanya.
Dalam kehidupan seharihari, jargon merupakan sebuah identitas kelompok tertentu. Jargon berhubungan erat dengan suatu komunitas atau profesi tertentu. Jargon seperti gan, cendol, bata merah, pertamax, pejwan, no afgan, COD (cash on delivery), dan WTB (want to buy) identik dengan para kaskuser. Sementara itu, “ke jadian luar biasa” merupakan jargon yang digunakan oleh orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan.
Masyarakat awam pada umumnya hanya me ngenal istilah itu dengan kata wabah. Pada prinsipnya, jargon-jargon tersebut digunakan untuk mempermudah komunikasi antaranggotanya. Jargon juga digunakan untuk mengefektifkan proses komunikasi dan meningkatkan citra diri. Dengan meng gunakan jargon berupa singkatan dan angka tertentu, anggota komunitas dapat dengan singkat menyampaikan suatu ide tanpa harus menggunakan banyak kata.
Umpamanya, anggota kepolisian sering menggunakan jargon seperti DPO (daftar pencarian orang), DVI (disaster victim identification), RI 1 (presiden), 5-4 (sedang ada demonstrasi) atau buntut tikus (handy talky) antaranggotanya. Sementara itu, jargon berdikari (berdiri di kaki sendiri) berfungsi untuk meningkatkan citra pemerintahan.
Jargon tersebut kurang lebih bermakna pemerintah berusaha menjadi kan bangsa Indonesia menjadi bang sa yang mandiri dengan mengandalkan kemampuan sendiri. Melalui jargon ini, pemerintah berusaha meraih dukung an dari masyarakat luas. Nampaknya penggunaan jargon di ranah publik merupakan cara efektif untuk meraih sim pati dari khalayak.
Di sisi lain, penggunaan jar gon di ruang publik pun menimbul kan polemik. Farid Gaban yang merupakan seorang wartawan pada 2008 meng kritik penggunaan jargon oleh para pemegang kepe tingan. Menurutnya, penggunaan jargon te lah mengotak-ngotakkan ma sya rakat menjadi kelompok-ke lompok kecil dan mengaburkan pesan yang akan disampaikan. Makin hari, makin banyak pejabat publik, politikus, dan pakar yang menggunakan dan memproduksi jargon. Baru-baru ini, Hikmahanto Juwana, salah satu tim independen KPK - POLRI , dalam salah satu pernya taannya menyebut istilah ‘anomali’.
Jargon ini meru pa kan istilah ilmu pengetahuan alam untuk menjelaskan se buah penyimpangan atau ke ti dak normalan. Namun, dalam hal ini istilah ini digunakan untuk meng gambar kan keadaan yang sedang terjadi antara KPK dan Polri. Anomali hanya di pa hami oleh segelintir orang. Tentunya, orang-orang awam di pangkalan ojek dan pasar ku rang familiar de ngan jargon itu.
Mungkin bagi mereka istilah itu terdengar rumit dan abstrak. Dalam kasus ini, penggunaan jargon tersebut dirasa kurang tepat digunakan di ruang pub lik. Jargon berupa singkatan atau akronim juga bisa mem buat orang pusing. Pasalnya, jar gon tersebut hanya dimengerti kalangan tertentu saja dan masyarakat luas umumnya ku rang paham. Jargon seperti kon tras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Ke kerasan), markus (makelar kasus), cakus (calo kasus), cakil (calo keliling), curas (pencurian de ngan kekerasan), KLB (keja di an luar biasa) merupakan con toh kecil akronim dan singkatan yang sering muncul di ranah publik.
Kebanyakan jargon tersebut dihasilkan pejabat publik dan disebarluaskan melalui me dia. Menyikapi penggunaan jargon di ranah publik, ada baiknya kita melihat kembali tujuan kita berkomunikasi. Kita menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan. Namun, apa jadinya jika pesan yang disampaikan sulit dipahami bahkan terdengar abstrak dan rumit karena jargon. Tentunya kita bisa dikatakan gagal dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, kita sebaiknya menghindari penggunaan jargon di ranah publik yang merupakan komunitas heterogen.
Salah satu caranya dengan mem bayangkan lawan bicara kita ketika hendak berbicara atau menulis. Selain itu, sebisa mungkin kita menggunakan kata-kata sederhana, konkret, spesifik, dan mudah dipahami khalayak ramai termasuk tukang ojek dan penjual di pasar.
(ars)