Kasih Bersemi di Saat Banjir

Senin, 16 Februari 2015 - 09:18 WIB
Kasih Bersemi di Saat Banjir
Kasih Bersemi di Saat Banjir
A A A
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta

Banjir merupakan kenduri tahunan yang melanda beberapa daerah di Indonesia dari mulai Bandung, Tangerang, sampai Jakarta dan seakan menjadi peristiwa yang minim solusi.

Ketika terjadi banjir, berbagai keluh kesah menghiasi wajah media cetak, media elektronik, media sosial. Semua berisi tentang cerita dukanya banjir. Tetapi jangan lupa, banjir juga bisa menjadi ekspresi kebahagiaan bagi anak-anak. Mereka bebas bermain di jalan raya, bebas berenang, bebas tidak ke sekolah, bahkan orang tuanya juga ikut bebas tidak ngantor.

Di jalan raya, bebas dari pelanggaran lalu lintas dan motor bebas masuk ke jalan tol. Ternyata banjir ada nikmatnya juga ya? Coba kalau tarif listrik, tarif telepon, ketika banjir ikut dibebaskan. Sempurna deh ... Ini namanya banjir yang membawa bahagia. Kita memang tidak tahu kalau ditanya banjir ini salah siapa. Salah pembuang sampahkah, salah penata permukimankah, atau salah PLN-kah? Yang jelas jawabannya ya salah sendiri, kenapa mau tinggal di daerah banjir?

Ketika banjir aktivitas kehidupan nyaris lumpuh. Mobil mewah berharga miliaran bahkan puluhan miliar rupiah yang menghiasi jalan-jalan di ibu kota dengan berbagai kegagahannya seolah tak berdaya menghadapi tingginya arus air. Sebaliknya, barang-barang yang biasanya dianggap sepele, bahkan nyaris tak dihargai, yang menjadi penghuni tempat-tempat pembuangan sampah dan daerah-daerah kumuh, justru menjadi begitu bermanfaat.

Ban bekas, jeriken, sepeda kayuh, gerobak sampah, dan rakit bambu, menjadi hal-hal yang begitu dicari dan dicintai. Banjir berhasil mengikat tali cinta tanpa kasta, yang kaya dan yang miskin bahu membahu untuk saling menyelamatkan. Mereka tiba-tiba menjadi sangat dermawan, ketika naik rakit, naik gerobak, tangannya menggenggam erat para pemikul dan pendorongnya, karena khawatir terjatuh terbawa arus. Banjir juga ternyata mampu merenda kembali cinta kasih yang selama ini tergadaikan oleh suami atau istri yang sibuk dengan pekerjaan.

Istri biasanya sibuk dengan aktivitas kebugaran seperti nyalon , nyenam, nyoping, serta anak-anak yang sibuk dengan pelajaran dan les. Pada saat banjir mereka tinggal di rumah, menjalankan ritual kebersamaan, membersihkan lantai, mencuci, makan bersama, bahu-membahu dengan pembantu yang biasanya jarang dilakukan di saat normal. Ternyata banjir mampu mendatangkan gelombang kasih sayang.

Namun, seperti biasa, manakala banjir sudah surut, mereka akan kembali dicampakkan tanpa harga sedikit pun. Itulah tradisi kita yang selalu menghargai sesuatu pada saat dibutuhkan dan mencampakkannya manakala seluruh hajatnya sudah terpenuhi. Mungkin ini adalah sebuah kutukan dari sebuah ungkapan kalimat, yang entah siapa pertama kali mengucapkannya, “Habis manis sepah dibuang.” Perilaku tersebut bukan hanya pada urusan banjir, tetapi juga melanda hampir seluruh pranata kehidupan sosial kita.

Ketika menjadi atlet ternama maka kita membanjirinya dengan pujian setinggi langit, namun membiarkan dia hidup terlunta-lunta manakala sudah renta dari prestasi. Perilaku ini juga menimpa pada kaum hidung belang yang menemui wanita penghibur dengan penuh hasrat dan meninggalkannya tanpa kata setelah seluruh hasratnya terpenuhi. Mengukur seluruh keinginan dengan kalkulasi jual beli, waktunya pendek dan terbatas, tanpa ungkapan cinta dan rasa.

Yang ada, berapa harga nafsu harus kutumpahkan? Bandingkan dengan orang asing, yang memperlakukan wanita dengan penuh etika dan estetika. Tak peduli dengan identitas PSK sekalipun, mereka menganggapnya sebuah profesi yang harus dihormati, sehingga mereka tak canggung untuk menemani minum, makan, berjalan, bercengkerama, berdansa, berdisko. Maka bolehlah kita jujur, kita berperikehewanan, mereka berperikemanusiaan.

Walaupun dari sisi nilai, kedua-duanya memang bukan hal yang mulia. Ketika banjir melanda, maka kita sibuk mencari cara mengalirkan air agar tidak tergenang. Berbagai perangkat teknologi pun disiapkan. Mesin pompa, kanal, biopori, bahkan sampai terowongan pintar ala Malaysia. Namun, kita masih sibuk dengan fogging, sibuk dengan infus, sibuk dengan suntik, operasi, kemoterapi, dan berbagai kegiatan pengobatan lainnya.

Di sisi lain, kita tidak pernah sibuk untuk membiayai, membangun perangkat, membuat hukuman yang tegas bagi siapa pun yang merusak karakter lingkungan sehingga memiliki dampak menurunnya kesehatan masyarakat. Lantas, kekuatan mana yang bisa menyelesaikan seluruh problem di hilir, sedangkan hulunya tidak pernah kita rawat dan kita cintai. Ahli fikih kita sibuk dengan kata halal dan haram yang sangat normatif.

Dari mulai babi, anjing, ular, tikus, dan berbagai hal-hal yang diharamkan lainnya, namun kita seperti tidak lagi bisa berkata haram untuk kadar gula yang tinggi, kadar lemak yang tinggi, kadar asam yang tinggi, zat pewarna, makanan kedaluwarsa, udara yang tercemar, air yang tercemar, tanah yang tercemar.

Seolah itu semua bukan ranahnya para ahli fikih. Setiap hari kita bicara persoalan mengendalikan inflasi, meningkatkan daya beli, membangun produktivitas, tetapi kita biarkan anak-anak muda kita bercengkerama dengan berbagai perangkat yang bersifat konsumtif, mulai perangkat otomotif, elektronik, fashion, yang semuanya digunakan hanya untuk meningkatkan gengsi.

Sedangkan kehidupan mereka semakin jauh dari kreativitas, minim inovasi. Sikap konsumtif itu telah melahirkan banjir produk impor di negeri yang serbaada, mulai dari banjir mobil impor, motor impor, beras impor, garam impor, kedelai impor, gula impor, yang akan membawa tenggelamnya bangsa ini pada utang yang tidak akan pernah habis ceritanya.

Mang Udin, tetangga di kampung saya, tersenyum ketika ditanya masalah pengendalian inflasi, “Saya tidak mengerti apa itu inflasi. Yang jelas saya menanam padi pupuknya dari kotoran sapi, kalau pengen ikan tinggal pasang pancing di pinggir kali, kalau pengen makan sayur saya memetik kacang panjang di pematang sawah. Kalau bepergian paling hanya ke pasar, itu pun memakai sepeda.

Kalau makan tidak pernah berpikir tentang kadar gula dan kadar lemak, sebab habis makan, kecruk macul. Lamun hayang kapake ku pamajikan, cukup ngala buah jambe (kalau mau dipuji istri, tinggal petikin pinang). Makanya ketika ada pejabat yang berkampanye One day no rice (sapoe teu nyatu kejo), saya jadi bingung. Ari aing kudu nyatu naon? Da dahareun nu sejen mah euweuh di lembur aing. Piraku kudu ngadahar kumeli dicocol kanu sambel, asa teu pantes jeung kumelina oge kudu meuli ka pasar (Saya mesti makan apa? Makanan yang lain tidak ada di kampung saya.

Masa mesti makan kentang dicolek sambal, rasa-rasanya kurang pantas, lagipula kentangnya mesti beli di pasar).” Ma Icih, istri setia Mang Udin, ikut menimpali, “Ema diberi pengarahan masalah pengendalian inflasi di kantor desa.

Ema kan jadi bingung, sabab pan ema mah nyangu jeung nyambel ku sorangan, ngagoreng lauk make minyak keletik meunang nyieun ema sorangan, baju meunang ngecos, samping meunang nenun. Lamun peuting-peuting hayang kapake ku Mang Udin, Ema mah cukup ngalembar daun seureuh diapuan make jambe, taah... tingali huntu ema, rangeteng can aya nu coplok (Sebab ema menanak nasi dan membuat sambal sendiri, menggoreng ikan memakai minyak kepala buatan sendiri, baju dijahit sendiri, selendang hasil tenun sendiri.

Kalau malam ingin dipuji Mang Udin, Ema cukup makan daun sirih, tuh lihat gigi ema masih lengkap). Mantak ge ema mah, (makanya ema) berani unjuk gigi di depan para tetangga, karena gigi ema mah beres keneh (masih rapi).

Sekalipun rumah Ema sekadar rumah panggung, namun tidak pernah runtuh oleh gempa atau terbawa banjir, karena leuweung tutupan tonggoheun imah (hutan lindung di atas bukit) selalu diberi sesajen, tanda kasih sayang antara Ema dan hutan. Di usia yang semakin senja, Ema dan Mang Udin hidup rukun bahagia. Tiada hari tanpa banjir kasih sayang, walaupun Ema tidak pernah merayakan Valentine.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7178 seconds (0.1#10.140)