Governabilitas Jokowi
A
A
A
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Nasional,
Jakarta
Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertajam kepemimpinannya di kawah candradimuka politik Indonesia, ataukah tengah memperlihatkan ketekoran kepemimpinannya?
Pertanyaan tersebut mengemuka ketika sebagai presiden, Jokowi diuji untuk menyelesaikan kemelut konflik antarelite dalam institusi kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari-hari ini. Kasusnya memang dilematis dan tidak sederhana, tetapi Jokowi punya kewenangan politik untuk memutuskan sesuatu yang dapat memengaruhi jalannya cerita di kemudian hari.
Tetapi dalam konteks kepemimpinan, memutuskan saja tidak cukup. Pemimpin harus mampu mengendalikan beragam sumber daya melalui pengaruhnya. Konteksnya, pengelolaan konflik. Dalam kasus kepemimpinan politik Jokowi, sepertinya dia kurang mempertimbangkan aspek-aspek kontestasi antarelite, sebelumnya. Yang tampak, Jokowi banyak bergantung pada asumsi semua orang bisa diajak bekerja sesuai dengan kemauannya.
Namun bahkan dalam hal memilih para pembantu atau anggota kabinet, nyatanya Jokowi tidak bisa melakukannya secara optimal. Dia terpaksa harus mengakomodasi ragam kekuatan politik pendukungnya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi berikhtiar membentuk keseimbangan antarelite pendukungnya ataupun dengan kelompok penyeimbang.
Pasca pembentukan kabinet, sesungguhnya Jokowi telah menggambar peta politik yang dinamis. Peta itu masih akan terus berubah, setidaknya karena dua faktor. Pertama, faktor kepentingan Jokowi untuk menjadi pemimpin yang seotentik mungkin, lepas dari bayang-bayang figur-figur kekuatan-kekuatan politik lain.
Katakan, kalaupun memang Jokowi menyadari hal ini, dia akan bertransformasi dari ranah ”petugas partai” ke ”petugas rakyat” atau pemimpin bangsa yang sepenuhnya mandiri. Benturan-benturan keras dengan partai-partai politik pengusungnya, apalagi khususnya PDIP dengan ikon utamanya Megawati Soekarnoputri, pasti tidak terelakkan.
Kedua, faktor kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri. Ini terkait dengan bagaimana dia sebagai pemimpin bangsa merespons kasus-kasus krusial. Kapasitas kepemimpinan merujuk pada kecakapan memimpin serta ketepatan kebijakan dan respons terhadap perkembangan, juga dalam menjaga momentum. Kapasitas pemimpin jelas juga terkait dengan konteks pengambilan risiko, selain pengelolaan harapan.
Dalam hal ini, Jokowi dapat menjadi penentu. Kalau kapasitas kepemimpinannya mantap, dia akan mampu mengelola perubahan menuju visinya. Tetapi kalau kepemimpinannya tekor, peta politik juga bisa berubah drastis. Ketekoran kepemimpinan tidak semata-mata terkait dengan konteks tercabutnya dukungan politik, tetapi juga dalam hal-hal yang bermuara pada kemerosotan daya kepemimpinan atau pengaruh di segala lini.
Kondisinya bisa jadi lebih parah ketimbang kondisi ”tidak dapat memerintah”, karena ketekoran kepemimpinan ditandai oleh resistensi dari segala arah.Uraian di atas dimaksudkan untuk memahami bahwa siapa pun yang menjadi presiden, juga akan dihadapkan pada problem yang sama. Adanya realitas kontestasi antarelite dan kelompok kepentingan tentu berpotensi mengganggu fokus pemerintah untuk bekerja.
Tetapi justru di sini, kepemimpinan politik presiden diuji, bagaimana dia mampu menjadi integrator dan dinamisator yang produktif sehingga politik menjadi kondusif. Pembangunan membutuhkan kehadiran para teknokrat sebagai sosok-sosok ahli yang berkompeten dalam mengimplementasikan program-program pembangunan.
Golongan yang tergabung dalam kabinet inilah diharapkan mampu mempercepat perwujudan visi presiden. Namun, ini juga bukan hal statis robotik. Kabinet yang bernuansa politik, tentu membutuhkan pendekatan kepemimpinan yang berorientasi keseimbangan dan mekanisme ”reward and punishment ” yang jelas. Maka itu, governabilitas atau daya memerintah Presiden Jokowi tergantung, lebih-lebih, pada kapasitas kepemimpinannya.
Sejauh mana daya pengaruh dan daya geraknya mampu mengondisikan segenap potensi sumber daya pemerintahan secara sinergis, selain kecakapannya dalam mengelola kekuasaan, termasuk kemampuannya untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja dengan profesional. Pun dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima tertinggi militer. Pemimpin memang perlu banyak masukan, formal maupun tidak formal dari berbagai spektrum dan sumber.
Kapasitas pemimpin, dalam konteks ini ialah menemukan poin-poin penting sebagai referensi yang mendasari kebijakan (policy ) yang diambilnya secara bijak (wisdom). Dari berbagai masukan, semua akan berpulang ke dirinya. Pemimpin perlu kesunyian di tengah keramaian. Kesunyian itulah detik-detik untuk memutuskan yang dianggapnya terbaik, kendatipun tidak populer. Jokowi tentu akan terus dihadapkan pada kesunyian- kesunyian itu.
Governabilitas Jokowi sebagai presiden akan efektif kalau program-program pemerintah berjalan secara terencana dan terukur. Tentu ini terkait dengan sistem dan sarana-prasarana. Dalam aspek tertentu, seiring dengan ikhtiar untuk melakukan terobosan-terobosan kebijakan, pemerintahan Jokowi tampak ingin tampil beda dengan pemerintahan sebelumnya. Artinya, sistem harus ada yang diubah.
Perubahan sistem memang perlu waktu, selain proses adaptasi yang melibatkan semua pihak. Namun, dia memang akan bertemu dengan berbagai keterbatasan di lapangan, tidak saja soal saranaprasarana, tetapi juga aspek-aspek kultur dan mentalitas. Di sinilah urgensi pemimpin sebagai panduan moral dalam perubahan sistem yang kompleks.
Dalam kasus Jokowi, sesungguhnya dia punya modal kepercayaan (trust ) yang tinggi, bahwa dia adalah sosok ”pemimpin moralis” yang timbul dari bawah. Simbol kerakyatan masih sering dilekatkan ke Jokowi, tetapi setidaknya hingga saat ini dia belum dilengkapi segera dengan simbol kecakapan. Jokowi masih terkesan belum begitu cakap dalam menyelesaikan konflik kepolisian dan KPK dewasa ini, kendatipun keriuhannya bisa semakin mereda.
Masa seratus hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih tampak diwarnai ikhtiar adaptasi kepemimpinan di tengah realitas kontestasi politik yang dinamis. Keriuhan politik seolah menenggelamkan program-program baik yang bersifat terobosan pemerintah. Juga belum optimalnya governabilitas Jokowi dalam mengarahkan sinergisitas seluruh kekuatan sumber daya pemerintahan untuk bergerak cepat ke arah pencapaian visinya.
Apakah setelah ini akan terjadi pergerakan yang lebih cepat, stagnan, atau mundur? Bergantung faktor kepemimpinan Jokowi sebagai penentu kebijakan-kebijakan utama di negeri ini.
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik,
Universitas Nasional,
Jakarta
Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertajam kepemimpinannya di kawah candradimuka politik Indonesia, ataukah tengah memperlihatkan ketekoran kepemimpinannya?
Pertanyaan tersebut mengemuka ketika sebagai presiden, Jokowi diuji untuk menyelesaikan kemelut konflik antarelite dalam institusi kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari-hari ini. Kasusnya memang dilematis dan tidak sederhana, tetapi Jokowi punya kewenangan politik untuk memutuskan sesuatu yang dapat memengaruhi jalannya cerita di kemudian hari.
Tetapi dalam konteks kepemimpinan, memutuskan saja tidak cukup. Pemimpin harus mampu mengendalikan beragam sumber daya melalui pengaruhnya. Konteksnya, pengelolaan konflik. Dalam kasus kepemimpinan politik Jokowi, sepertinya dia kurang mempertimbangkan aspek-aspek kontestasi antarelite, sebelumnya. Yang tampak, Jokowi banyak bergantung pada asumsi semua orang bisa diajak bekerja sesuai dengan kemauannya.
Namun bahkan dalam hal memilih para pembantu atau anggota kabinet, nyatanya Jokowi tidak bisa melakukannya secara optimal. Dia terpaksa harus mengakomodasi ragam kekuatan politik pendukungnya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi berikhtiar membentuk keseimbangan antarelite pendukungnya ataupun dengan kelompok penyeimbang.
Pasca pembentukan kabinet, sesungguhnya Jokowi telah menggambar peta politik yang dinamis. Peta itu masih akan terus berubah, setidaknya karena dua faktor. Pertama, faktor kepentingan Jokowi untuk menjadi pemimpin yang seotentik mungkin, lepas dari bayang-bayang figur-figur kekuatan-kekuatan politik lain.
Katakan, kalaupun memang Jokowi menyadari hal ini, dia akan bertransformasi dari ranah ”petugas partai” ke ”petugas rakyat” atau pemimpin bangsa yang sepenuhnya mandiri. Benturan-benturan keras dengan partai-partai politik pengusungnya, apalagi khususnya PDIP dengan ikon utamanya Megawati Soekarnoputri, pasti tidak terelakkan.
Kedua, faktor kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri. Ini terkait dengan bagaimana dia sebagai pemimpin bangsa merespons kasus-kasus krusial. Kapasitas kepemimpinan merujuk pada kecakapan memimpin serta ketepatan kebijakan dan respons terhadap perkembangan, juga dalam menjaga momentum. Kapasitas pemimpin jelas juga terkait dengan konteks pengambilan risiko, selain pengelolaan harapan.
Dalam hal ini, Jokowi dapat menjadi penentu. Kalau kapasitas kepemimpinannya mantap, dia akan mampu mengelola perubahan menuju visinya. Tetapi kalau kepemimpinannya tekor, peta politik juga bisa berubah drastis. Ketekoran kepemimpinan tidak semata-mata terkait dengan konteks tercabutnya dukungan politik, tetapi juga dalam hal-hal yang bermuara pada kemerosotan daya kepemimpinan atau pengaruh di segala lini.
Kondisinya bisa jadi lebih parah ketimbang kondisi ”tidak dapat memerintah”, karena ketekoran kepemimpinan ditandai oleh resistensi dari segala arah.Uraian di atas dimaksudkan untuk memahami bahwa siapa pun yang menjadi presiden, juga akan dihadapkan pada problem yang sama. Adanya realitas kontestasi antarelite dan kelompok kepentingan tentu berpotensi mengganggu fokus pemerintah untuk bekerja.
Tetapi justru di sini, kepemimpinan politik presiden diuji, bagaimana dia mampu menjadi integrator dan dinamisator yang produktif sehingga politik menjadi kondusif. Pembangunan membutuhkan kehadiran para teknokrat sebagai sosok-sosok ahli yang berkompeten dalam mengimplementasikan program-program pembangunan.
Golongan yang tergabung dalam kabinet inilah diharapkan mampu mempercepat perwujudan visi presiden. Namun, ini juga bukan hal statis robotik. Kabinet yang bernuansa politik, tentu membutuhkan pendekatan kepemimpinan yang berorientasi keseimbangan dan mekanisme ”reward and punishment ” yang jelas. Maka itu, governabilitas atau daya memerintah Presiden Jokowi tergantung, lebih-lebih, pada kapasitas kepemimpinannya.
Sejauh mana daya pengaruh dan daya geraknya mampu mengondisikan segenap potensi sumber daya pemerintahan secara sinergis, selain kecakapannya dalam mengelola kekuasaan, termasuk kemampuannya untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja dengan profesional. Pun dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima tertinggi militer. Pemimpin memang perlu banyak masukan, formal maupun tidak formal dari berbagai spektrum dan sumber.
Kapasitas pemimpin, dalam konteks ini ialah menemukan poin-poin penting sebagai referensi yang mendasari kebijakan (policy ) yang diambilnya secara bijak (wisdom). Dari berbagai masukan, semua akan berpulang ke dirinya. Pemimpin perlu kesunyian di tengah keramaian. Kesunyian itulah detik-detik untuk memutuskan yang dianggapnya terbaik, kendatipun tidak populer. Jokowi tentu akan terus dihadapkan pada kesunyian- kesunyian itu.
Governabilitas Jokowi sebagai presiden akan efektif kalau program-program pemerintah berjalan secara terencana dan terukur. Tentu ini terkait dengan sistem dan sarana-prasarana. Dalam aspek tertentu, seiring dengan ikhtiar untuk melakukan terobosan-terobosan kebijakan, pemerintahan Jokowi tampak ingin tampil beda dengan pemerintahan sebelumnya. Artinya, sistem harus ada yang diubah.
Perubahan sistem memang perlu waktu, selain proses adaptasi yang melibatkan semua pihak. Namun, dia memang akan bertemu dengan berbagai keterbatasan di lapangan, tidak saja soal saranaprasarana, tetapi juga aspek-aspek kultur dan mentalitas. Di sinilah urgensi pemimpin sebagai panduan moral dalam perubahan sistem yang kompleks.
Dalam kasus Jokowi, sesungguhnya dia punya modal kepercayaan (trust ) yang tinggi, bahwa dia adalah sosok ”pemimpin moralis” yang timbul dari bawah. Simbol kerakyatan masih sering dilekatkan ke Jokowi, tetapi setidaknya hingga saat ini dia belum dilengkapi segera dengan simbol kecakapan. Jokowi masih terkesan belum begitu cakap dalam menyelesaikan konflik kepolisian dan KPK dewasa ini, kendatipun keriuhannya bisa semakin mereda.
Masa seratus hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih tampak diwarnai ikhtiar adaptasi kepemimpinan di tengah realitas kontestasi politik yang dinamis. Keriuhan politik seolah menenggelamkan program-program baik yang bersifat terobosan pemerintah. Juga belum optimalnya governabilitas Jokowi dalam mengarahkan sinergisitas seluruh kekuatan sumber daya pemerintahan untuk bergerak cepat ke arah pencapaian visinya.
Apakah setelah ini akan terjadi pergerakan yang lebih cepat, stagnan, atau mundur? Bergantung faktor kepemimpinan Jokowi sebagai penentu kebijakan-kebijakan utama di negeri ini.
(bbg)