Hukum Praperadilan di Indonesia
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya.
Bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana. Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.
Sebelumnya seseorang yang terlibat itu dianggap sebagai objek, lalu berkembang dipandang sebagai subjek yang wajib memperoleh perlindungan hukum tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, politik dll. Filosofi hukum acara pidana Indonesia yang baru dalam bentuk UU RI Nomor 8/1981 juga telah sejalan dengan UU RI Nomor 12/1995 tentang Pengesahan ICCPR.
Di dalamnya antara lain ditegaskan mengenai perlindungan minimum (minimum gurarantees ) terhadap setiap orang yang telah diduga melakukan tindak pidana (Pasal 14 angka 3 huruf b) dan jaminan upaya pemulihan dari negara terhadap setiap orang dari perlakuan aparatur hukum sekalipun di dalam melaksanakan jabatannya (Pasal 2 angka 3 huruf a dan b).
*** Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa mengajukan keberatan terhadap perlakuan aparatur hukum dalam empat hal: penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan.
Dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan UU tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyatanyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara.
Peristiwa ini pernah terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta atas kekeliruan mengenai orang (error in persona ) yang baru ditemukan setelah kedua orang ini menjalani hukuman sehingga diakui kemudian dibolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana. Lalu muncullah pengakuan alat bukti elektronik dalam beberapa undang-undang pidana khusus yang semula tidak diakui dalam KUHAP.
Yang terkini lahir beberapa putusan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam kenyataan masyarakat menurut pendapat saya bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum yang bersangkutan.
Peristiwa hukum yang terjadi sekalipun tidak diatur dalam suatu UU (hukum tertulis) menurut penulis merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat dalam mencari, memperoleh, dan menemukan keadilan sebagai salah satu tujuan hukum di samping kepastian hukum dan kemanfaatan.
Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values ) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Jika hukum diperlakukan secara konservatif atau hanya mempertahankan statusquo, akan dihasilkan hukum yang tidak aspiratif terhadap perkembangan kehidupan masyarakat atau bukan hukum yang baik. Di sinilah makna perkembangan hukum yang sesungguhnya dalam pandangan aliran sociological jurisprudence yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan aliran positivisme hukum yang memandang hukum sebagai suatu sistem norma dan logika (system of norms and logic).
Cara pandang pertama telah diwujudkan dalam ketentuan Pasal 5 UU RI Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Aturan tersebut sudah tentu merupakan pedoman dan rujukan para hakim di Indonesia dalam penanganan setiap perkara, termasuk perkara praperadilan.
*** Setiap tindakan hukum oleh aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan hasil dari suatu proses panjang sejak penyelidikan sampai pemeriksaan di pengadilan; bukan suatu tindakan hukum yang serta-merta dan tergesa-gesa karena tindakan hukum tersebut bersinggungan dengan hak-hak asasi seseorang.
Kulminasi dari serangkaian tindakan hukum tersebut seharusnya dapat mencerminkan ketelitian dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu kebenaran material. Atas dasar itu, setiap tindakan hukum sejak penyelidikan sampai penuntutan harus memenuhi asas akuntabilitas, profesionalitas, dan integritas serta transparansi, terlebih tindakan hukum dimaksud telah ditentukan di dalam KUHAP.
Dalam membaca dan memahami hukum praperadilan berdasarkan KUHAP, terpenting adalah tidak melihat dan memahaminya hanya sebagai suatu norma kewenangan penegak hukum, termasuk KPK, melainkan harus dipandang juga sebagai wujud perlindungan hak asasi seseorang tersangka sebagaimana telah diamanatkan di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.”
Wujud perlindungan hak asasi dimaksud juga telah diatur di dalam KUHAP yang merupakan ketentuan tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Berdasarkan uraian ini, tidaklah aneh dan tidak mustahil jikawilayahhukumpraperadilan tidak hanya mempersoalkan kebenaran langkah hukum dalam keempat hal sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan juga termasuk tindakan hukum lain yang bersinggungan dengan perlindungan hak asasi setiap tersangka.
Peristiwa penetapan tersangka yang dilanjutkan pada penangkapan dan penahanan merupakan conditio sine qua non, bukan merupakan conditio cum qua non dari proses penyelidikan danpenyidikan. Maka jika dalam kedua prosedur tersebut terjadi perbuatan melawan hukum, proses penetapan tersangka juga termasuk penangkapan dan penahanannya adalah cacat hukum dan dapat dibatalkan (vernietegbaar).
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya.
Bahkan hukum praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana. Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.
Sebelumnya seseorang yang terlibat itu dianggap sebagai objek, lalu berkembang dipandang sebagai subjek yang wajib memperoleh perlindungan hukum tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, politik dll. Filosofi hukum acara pidana Indonesia yang baru dalam bentuk UU RI Nomor 8/1981 juga telah sejalan dengan UU RI Nomor 12/1995 tentang Pengesahan ICCPR.
Di dalamnya antara lain ditegaskan mengenai perlindungan minimum (minimum gurarantees ) terhadap setiap orang yang telah diduga melakukan tindak pidana (Pasal 14 angka 3 huruf b) dan jaminan upaya pemulihan dari negara terhadap setiap orang dari perlakuan aparatur hukum sekalipun di dalam melaksanakan jabatannya (Pasal 2 angka 3 huruf a dan b).
*** Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa mengajukan keberatan terhadap perlakuan aparatur hukum dalam empat hal: penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan.
Dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan UU tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyatanyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari negara.
Peristiwa ini pernah terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta atas kekeliruan mengenai orang (error in persona ) yang baru ditemukan setelah kedua orang ini menjalani hukuman sehingga diakui kemudian dibolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara pidana. Lalu muncullah pengakuan alat bukti elektronik dalam beberapa undang-undang pidana khusus yang semula tidak diakui dalam KUHAP.
Yang terkini lahir beberapa putusan mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam kenyataan masyarakat menurut pendapat saya bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum yang bersangkutan.
Peristiwa hukum yang terjadi sekalipun tidak diatur dalam suatu UU (hukum tertulis) menurut penulis merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat dalam mencari, memperoleh, dan menemukan keadilan sebagai salah satu tujuan hukum di samping kepastian hukum dan kemanfaatan.
Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values ) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Jika hukum diperlakukan secara konservatif atau hanya mempertahankan statusquo, akan dihasilkan hukum yang tidak aspiratif terhadap perkembangan kehidupan masyarakat atau bukan hukum yang baik. Di sinilah makna perkembangan hukum yang sesungguhnya dalam pandangan aliran sociological jurisprudence yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan aliran positivisme hukum yang memandang hukum sebagai suatu sistem norma dan logika (system of norms and logic).
Cara pandang pertama telah diwujudkan dalam ketentuan Pasal 5 UU RI Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Aturan tersebut sudah tentu merupakan pedoman dan rujukan para hakim di Indonesia dalam penanganan setiap perkara, termasuk perkara praperadilan.
*** Setiap tindakan hukum oleh aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan hasil dari suatu proses panjang sejak penyelidikan sampai pemeriksaan di pengadilan; bukan suatu tindakan hukum yang serta-merta dan tergesa-gesa karena tindakan hukum tersebut bersinggungan dengan hak-hak asasi seseorang.
Kulminasi dari serangkaian tindakan hukum tersebut seharusnya dapat mencerminkan ketelitian dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana yaitu kebenaran material. Atas dasar itu, setiap tindakan hukum sejak penyelidikan sampai penuntutan harus memenuhi asas akuntabilitas, profesionalitas, dan integritas serta transparansi, terlebih tindakan hukum dimaksud telah ditentukan di dalam KUHAP.
Dalam membaca dan memahami hukum praperadilan berdasarkan KUHAP, terpenting adalah tidak melihat dan memahaminya hanya sebagai suatu norma kewenangan penegak hukum, termasuk KPK, melainkan harus dipandang juga sebagai wujud perlindungan hak asasi seseorang tersangka sebagaimana telah diamanatkan di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di muka hukum.”
Wujud perlindungan hak asasi dimaksud juga telah diatur di dalam KUHAP yang merupakan ketentuan tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Berdasarkan uraian ini, tidaklah aneh dan tidak mustahil jikawilayahhukumpraperadilan tidak hanya mempersoalkan kebenaran langkah hukum dalam keempat hal sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan juga termasuk tindakan hukum lain yang bersinggungan dengan perlindungan hak asasi setiap tersangka.
Peristiwa penetapan tersangka yang dilanjutkan pada penangkapan dan penahanan merupakan conditio sine qua non, bukan merupakan conditio cum qua non dari proses penyelidikan danpenyidikan. Maka jika dalam kedua prosedur tersebut terjadi perbuatan melawan hukum, proses penetapan tersangka juga termasuk penangkapan dan penahanannya adalah cacat hukum dan dapat dibatalkan (vernietegbaar).
(ars)