Antara Kasus BW, AS, dan Kasus AU
A
A
A
Ma’mun Murod Albarbasy.
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ dan Fungsionaris Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Dalam tiga minggu terakhir, publik disuguhi tontonan ”drama politik” yang berbalut hukum.
Pertama, penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka terkait kasus rekening gendut sehari setelah Jokowi menetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, ditangkapnya Bambang Widjojanto (BW) sekaligus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai perekayasa saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat.
Ketiga, konferensi pers plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait pertemuan Abraham Samad (AS) dengan beberapa petinggi PDI-P berkenaan rencana AS sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo. AS memang termasuk salah satu nominator cawapres untuk mendampingi Joko Widodo. Lantas apa kaitannya dengan Anas Urbaningrum (AU)? Kalau menilik kasus yang dialami BW dan AS tentu saja tak ada kaitan dengan AU.
Cara publik merespons kasus BW dan AS juga berbeda dengan cara merespons kasus AU. Padahal fakta-fakta yang mengiringi kasus AU, mulai saat ditetapkan sebagai tersangka sampai proses persidangan, nyaris tak berbeda jauh dengan kasus yang dialami BW saat ditangkap Bareskrim. Munculnya nama AS dalam pusaran ”drama politik” ini juga tak berbeda jauh dengan yang dialami AU selama menjalani persidangkan, di mana AU didakwa oleh JPU KPK -salah satunya- karena ingin menjadi presiden. Bedanya, AS dituduh berkeinginan menjadi cawapres.
Yang Sama antara Kasus BW dan Kasus AU
Sesaat setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim dalam posisinya sebagai tersangka, BW membuat pernyataan pers. Ada beberapa poin pernyataan BW yang menarik dan mengandung kesamaan saat AU ditersangkakan oleh KPK. Dalam pernyataannya, BW tak lupa ”jualan anak”.
BW seakan ingin menunjukkan kepada publik bahwa anaknya yang masih kecil dan tak tahu apa-apa harus ”dilibatkan” dalam kasus yang menimpa dirinya. Atau BW ingin menunjukkan kepada anaknya kalau dirinya telah diperlakukan semena-mena oleh Bareskrim. ”Jualan anak” ini cukup berhasil menyita perhatian publik. Mungkin BW tidak berpikir bahwa saat AS selaku Ketua KPK membocorkan s p r i n d i k A U , s a a t itu AU juga mempuny a i empat anak yang masih kecil-kecil.
Seperti halnya BW yang mempunyai anak, saat sprindik AU dibocorkan, kira-kira bagaimana perasaan anak-anak AU saat mengetahui abahnya dizalimi KPK melalui sprindik yang sengaja dibocorkan. BW juga menyoal sangkaan Bareskrim yang dinilai tidak tepat. BW mungkin lupa ketika menetapkan AU sebagai tersangka juga dengan surat dakwaan yang tak jelas: ”...dan atau proyek-proyek lainnya”.
Bagaimana mungkin, KPK menetapkan status tersangka seseorang begitu kabur. BW dan pendukungnya menyebut bahwa penangkapan BW bak menangkap seorang teroris, di mana puluhan Brimob dengan bersenjata lengkap dikerahkan. Apakah BW tidak ingat ketika sekadar untuk menggeledah rumah AU, KPK berlaku arogan dengan mengerahkan puluhan Brimob bersenjata lengkap.
Seperti pendukung BW, saat itu pun pendukung AU sempat berkomentar yang sama terkait sikap KPK yang bak menggerebek teroris. BW juga menyampaikan soal perlakuan Bareskrim yang dinilai intimidatif, termasuk kata-kata tak patut yang keluar dari mulut petugas saat penangkapan. Apakah BW lupa ketika menjelang penahanan AU, sikap AS dan BW juga arogan. Bahkan AS sampai mengeluarkan pernyataan yang tak patut: ”Pastinya saya akan panggil ini Anas. Dengar ya kata-kata saya, saya akan panggil Anas. Saya ingatkan kep a d a Anas lewat forum ini sekali lagi dia tidak datang saya akan memerintahkan penyidik saya untuk memanggil paksa,” (7/1/ 2014).
BW dan pendukungnya juga mempertanyakan soal tiga alat bukti yang digunakan Bareskrim untuk menahan BW. Sama, ketika AU ditersangkakan, pendukung AU pun mempertanyakan dua alat bukti yang digunakan KPK. Hingga akhir persidangan, AU tak pernah tahu dua alat bukti dimaksud, dan juga tidak tahu bukti terkait ”dan atau proyek-proyek lainnya”.
Ketika BW jadi tersangka, pendukungnya memenuhi kantor KPK, padahal BW ditahan tidak dalam kapasitas sebagai pimpinan KPK, tapi sebagai pribadi yang terkena kasus hukum. Semestinya solidaritas dukungan juga dilakukan di rumah BW. Ketika aksi dilakukan di gedung KPK itu menjadi bias dan tidak netral. Akan timbul opini yang menyesatkan di bahwa seakanakan pimpinan KPK tidak bisa salah.
Karenanya, kalau ada pimpinan KPK terkena kasus hukum, maka akan dicap sebagai kriminalisasi KPK. Ketika AU menjadi tersangka, pendukungnya pun kumpul di kediaman AU di Duren Sawit, bukan di Kantor Partai Demokrat, simbol institusi yang dinilai turut andil dalam menersangkakan AU. Kenapa para pendukung BW berjubel memenuhi gedung KPK?
Karena diyakini ada yang salah dalam menersangkakan BW. Sama, pendukung AU pun meyakini ada yang salah dari KPK dalam menersangkakan A U . Pendukung AU meyakini ada nuansa politik yang begitu dominan dalam penetapan AU sebagai tersangka.
Amoral Pimpinan KPK Berpolitik
Tak berbeda dengan kasus BW, pemberitaan terkait pernyataan Hasto Kristiyanto yang menyebut bahwa AS sempat bertemu dengan petinggi PDI-P terkait pencawapresan AS, juga mempunyai kemiripan ketika AU didakwa oleh JPU KPK bahwa AU berkeinginan menjadi presiden, sebuah dakwaan yang disebut AU sebagai imajiner.
Ketika AS diyakini mempunyai niatan ingin jadi cawapres, berkembang pernyataan publik yang bernada membela AS: ”sebagai warga negara, apanya yang salah kalau Samad berkeinginan menjadi cawapres”. Ironisnya, ketika AU didakwa JPU karena ”ingin menjadi presiden”, ”publik” diam membisu seakan mengamini dakwaan JPU.
Sebagian lainnya berkomentar sinis dengan menyebut bahwa AU dinilai terlalu cepat dan ambisius ingin menjadi presiden. Ini rasanya komentar publik yang tidak jujur. Komentar publik yang aneh. Mestinya komentar ”apanya yang salah...” itu disematkan ke AU bukan ke AS. Sebagai ketua umum partai, apanya yang salah dan aneh kalau AU berkeinginan menjadi presiden? Sangat wajar AU berkeinginan menjadi presiden.
Tidak ada yang dilanggar baik secara konstitusional maupun moral politik. Justru harus dipandang aneh dan amoral ketika ketua KPK berkeinginan menjadi cawapres. Itu ibarat orang laki-laki salat hanya dengan memakai celana yang panjangnya dari pusar hingga di bawah lutut tanpa memakai baju. Secara fikih tentu salatnya sah, karena aurat laki-laki memang antara pusar dan di bawah lutut. Tapi pertanyaannya, apakah patut salat hanya dengan menutup aurat yang minimalis?
Secara konstitusi, memang tidak salah AS berkeinginan menjadi cawapres, karena itu hak setiap warga negara. Tapi secara moral, apakah patut sebagai ketua KPK yang dalam menjalankantugas harusbetul-betul mengedepankan integritas moral lalu berkeinginan menjadi wapres? Lantas di mana integritas moralnya? Moralitas itu nilainya di atas konstitusi ataupun aturan apapun, dan ini semestinya menjadi perhatian bagi pejabat-pejabat publik .
Pelajaran Berharga
Sulit untuk mengatakan bahwa proses penetapan status tersangka AU, BG, BW, dan mungkin sebentar lagi akan menimpa AS sebagai kasus hukum murni. AU jadi tersangka setelah didahului dengan sprindik bocor. BG tersangka hanya selang sehari setelah ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri.
BW menjadi tersangka begitu mendadak saat mengantar anaknya sekolah. Dan bila AS nantinya ditetapkan menjadi tersangka, kemungkinan kasus pemalsuan dokumen akan dijadikan sebagai alasan menetapkan AS sebagai tersangka, sesuatu yang selama ini dipandang lumrah dan sepele. Kasus yang mendera AU, BW, AS, dan BG ini harus menjadi media introspeksi (muhasabah) bagi institusi penegak hukum.
Ke depan, transparansi penegakan hukum, utamanya dalam penetapan tersangka, harus dikedepankan. Institusi penegak hukum harus menyampaikan secara terbuka alat bukti yang dijadikan sebagai alasan untuk menersangkakan seseorang. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari tuduhan adanya invisible hand dalam proses penetapan tersangka. Selain itu, hukum adalah ranah publik, sudah semestinya publik juga mengetahui prosesnya.
Tidak sepatutnya proses hukum ditutup-tutupi. Bukan hanya itu, penetapan status tersangka juga terkait dengan seseorang yang mempunyai harga diri (marwah), mempunyai sanak keluarga dan sahabat. Semestinya aspek keadilan harus benar-benar dikedepankan, bukan karena nafsu atau orderan politik. Sehingga jangan sampai ada penzaliman dalam penetapan seseorang menjadi tersangka.
Siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, pasti juga akan merasakan sakit bila dirinya mendapat perlakuan tidak adil proses penegakan hukum. Dan biasanya seseorang memang baru akan merasakan arti ketidakadilan bila yang bersangkutan sudah mengalami ”ketidakadilan”.
Ketika belum, mungkin sulit untuk bisa merasakan atau berempati bagaimana menderitanya menjadi orang yang terzalimi secara hukum. Sekarang BW, BG, dan -mungkin menyusul- AS sudah dan akan bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang terzalimi. Semoga!
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ dan Fungsionaris Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Dalam tiga minggu terakhir, publik disuguhi tontonan ”drama politik” yang berbalut hukum.
Pertama, penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka terkait kasus rekening gendut sehari setelah Jokowi menetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, ditangkapnya Bambang Widjojanto (BW) sekaligus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai perekayasa saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat.
Ketiga, konferensi pers plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait pertemuan Abraham Samad (AS) dengan beberapa petinggi PDI-P berkenaan rencana AS sebagai calon wakil presiden mendampingi Joko Widodo. AS memang termasuk salah satu nominator cawapres untuk mendampingi Joko Widodo. Lantas apa kaitannya dengan Anas Urbaningrum (AU)? Kalau menilik kasus yang dialami BW dan AS tentu saja tak ada kaitan dengan AU.
Cara publik merespons kasus BW dan AS juga berbeda dengan cara merespons kasus AU. Padahal fakta-fakta yang mengiringi kasus AU, mulai saat ditetapkan sebagai tersangka sampai proses persidangan, nyaris tak berbeda jauh dengan kasus yang dialami BW saat ditangkap Bareskrim. Munculnya nama AS dalam pusaran ”drama politik” ini juga tak berbeda jauh dengan yang dialami AU selama menjalani persidangkan, di mana AU didakwa oleh JPU KPK -salah satunya- karena ingin menjadi presiden. Bedanya, AS dituduh berkeinginan menjadi cawapres.
Yang Sama antara Kasus BW dan Kasus AU
Sesaat setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim dalam posisinya sebagai tersangka, BW membuat pernyataan pers. Ada beberapa poin pernyataan BW yang menarik dan mengandung kesamaan saat AU ditersangkakan oleh KPK. Dalam pernyataannya, BW tak lupa ”jualan anak”.
BW seakan ingin menunjukkan kepada publik bahwa anaknya yang masih kecil dan tak tahu apa-apa harus ”dilibatkan” dalam kasus yang menimpa dirinya. Atau BW ingin menunjukkan kepada anaknya kalau dirinya telah diperlakukan semena-mena oleh Bareskrim. ”Jualan anak” ini cukup berhasil menyita perhatian publik. Mungkin BW tidak berpikir bahwa saat AS selaku Ketua KPK membocorkan s p r i n d i k A U , s a a t itu AU juga mempuny a i empat anak yang masih kecil-kecil.
Seperti halnya BW yang mempunyai anak, saat sprindik AU dibocorkan, kira-kira bagaimana perasaan anak-anak AU saat mengetahui abahnya dizalimi KPK melalui sprindik yang sengaja dibocorkan. BW juga menyoal sangkaan Bareskrim yang dinilai tidak tepat. BW mungkin lupa ketika menetapkan AU sebagai tersangka juga dengan surat dakwaan yang tak jelas: ”...dan atau proyek-proyek lainnya”.
Bagaimana mungkin, KPK menetapkan status tersangka seseorang begitu kabur. BW dan pendukungnya menyebut bahwa penangkapan BW bak menangkap seorang teroris, di mana puluhan Brimob dengan bersenjata lengkap dikerahkan. Apakah BW tidak ingat ketika sekadar untuk menggeledah rumah AU, KPK berlaku arogan dengan mengerahkan puluhan Brimob bersenjata lengkap.
Seperti pendukung BW, saat itu pun pendukung AU sempat berkomentar yang sama terkait sikap KPK yang bak menggerebek teroris. BW juga menyampaikan soal perlakuan Bareskrim yang dinilai intimidatif, termasuk kata-kata tak patut yang keluar dari mulut petugas saat penangkapan. Apakah BW lupa ketika menjelang penahanan AU, sikap AS dan BW juga arogan. Bahkan AS sampai mengeluarkan pernyataan yang tak patut: ”Pastinya saya akan panggil ini Anas. Dengar ya kata-kata saya, saya akan panggil Anas. Saya ingatkan kep a d a Anas lewat forum ini sekali lagi dia tidak datang saya akan memerintahkan penyidik saya untuk memanggil paksa,” (7/1/ 2014).
BW dan pendukungnya juga mempertanyakan soal tiga alat bukti yang digunakan Bareskrim untuk menahan BW. Sama, ketika AU ditersangkakan, pendukung AU pun mempertanyakan dua alat bukti yang digunakan KPK. Hingga akhir persidangan, AU tak pernah tahu dua alat bukti dimaksud, dan juga tidak tahu bukti terkait ”dan atau proyek-proyek lainnya”.
Ketika BW jadi tersangka, pendukungnya memenuhi kantor KPK, padahal BW ditahan tidak dalam kapasitas sebagai pimpinan KPK, tapi sebagai pribadi yang terkena kasus hukum. Semestinya solidaritas dukungan juga dilakukan di rumah BW. Ketika aksi dilakukan di gedung KPK itu menjadi bias dan tidak netral. Akan timbul opini yang menyesatkan di bahwa seakanakan pimpinan KPK tidak bisa salah.
Karenanya, kalau ada pimpinan KPK terkena kasus hukum, maka akan dicap sebagai kriminalisasi KPK. Ketika AU menjadi tersangka, pendukungnya pun kumpul di kediaman AU di Duren Sawit, bukan di Kantor Partai Demokrat, simbol institusi yang dinilai turut andil dalam menersangkakan AU. Kenapa para pendukung BW berjubel memenuhi gedung KPK?
Karena diyakini ada yang salah dalam menersangkakan BW. Sama, pendukung AU pun meyakini ada yang salah dari KPK dalam menersangkakan A U . Pendukung AU meyakini ada nuansa politik yang begitu dominan dalam penetapan AU sebagai tersangka.
Amoral Pimpinan KPK Berpolitik
Tak berbeda dengan kasus BW, pemberitaan terkait pernyataan Hasto Kristiyanto yang menyebut bahwa AS sempat bertemu dengan petinggi PDI-P terkait pencawapresan AS, juga mempunyai kemiripan ketika AU didakwa oleh JPU KPK bahwa AU berkeinginan menjadi presiden, sebuah dakwaan yang disebut AU sebagai imajiner.
Ketika AS diyakini mempunyai niatan ingin jadi cawapres, berkembang pernyataan publik yang bernada membela AS: ”sebagai warga negara, apanya yang salah kalau Samad berkeinginan menjadi cawapres”. Ironisnya, ketika AU didakwa JPU karena ”ingin menjadi presiden”, ”publik” diam membisu seakan mengamini dakwaan JPU.
Sebagian lainnya berkomentar sinis dengan menyebut bahwa AU dinilai terlalu cepat dan ambisius ingin menjadi presiden. Ini rasanya komentar publik yang tidak jujur. Komentar publik yang aneh. Mestinya komentar ”apanya yang salah...” itu disematkan ke AU bukan ke AS. Sebagai ketua umum partai, apanya yang salah dan aneh kalau AU berkeinginan menjadi presiden? Sangat wajar AU berkeinginan menjadi presiden.
Tidak ada yang dilanggar baik secara konstitusional maupun moral politik. Justru harus dipandang aneh dan amoral ketika ketua KPK berkeinginan menjadi cawapres. Itu ibarat orang laki-laki salat hanya dengan memakai celana yang panjangnya dari pusar hingga di bawah lutut tanpa memakai baju. Secara fikih tentu salatnya sah, karena aurat laki-laki memang antara pusar dan di bawah lutut. Tapi pertanyaannya, apakah patut salat hanya dengan menutup aurat yang minimalis?
Secara konstitusi, memang tidak salah AS berkeinginan menjadi cawapres, karena itu hak setiap warga negara. Tapi secara moral, apakah patut sebagai ketua KPK yang dalam menjalankantugas harusbetul-betul mengedepankan integritas moral lalu berkeinginan menjadi wapres? Lantas di mana integritas moralnya? Moralitas itu nilainya di atas konstitusi ataupun aturan apapun, dan ini semestinya menjadi perhatian bagi pejabat-pejabat publik .
Pelajaran Berharga
Sulit untuk mengatakan bahwa proses penetapan status tersangka AU, BG, BW, dan mungkin sebentar lagi akan menimpa AS sebagai kasus hukum murni. AU jadi tersangka setelah didahului dengan sprindik bocor. BG tersangka hanya selang sehari setelah ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri.
BW menjadi tersangka begitu mendadak saat mengantar anaknya sekolah. Dan bila AS nantinya ditetapkan menjadi tersangka, kemungkinan kasus pemalsuan dokumen akan dijadikan sebagai alasan menetapkan AS sebagai tersangka, sesuatu yang selama ini dipandang lumrah dan sepele. Kasus yang mendera AU, BW, AS, dan BG ini harus menjadi media introspeksi (muhasabah) bagi institusi penegak hukum.
Ke depan, transparansi penegakan hukum, utamanya dalam penetapan tersangka, harus dikedepankan. Institusi penegak hukum harus menyampaikan secara terbuka alat bukti yang dijadikan sebagai alasan untuk menersangkakan seseorang. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari tuduhan adanya invisible hand dalam proses penetapan tersangka. Selain itu, hukum adalah ranah publik, sudah semestinya publik juga mengetahui prosesnya.
Tidak sepatutnya proses hukum ditutup-tutupi. Bukan hanya itu, penetapan status tersangka juga terkait dengan seseorang yang mempunyai harga diri (marwah), mempunyai sanak keluarga dan sahabat. Semestinya aspek keadilan harus benar-benar dikedepankan, bukan karena nafsu atau orderan politik. Sehingga jangan sampai ada penzaliman dalam penetapan seseorang menjadi tersangka.
Siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, pasti juga akan merasakan sakit bila dirinya mendapat perlakuan tidak adil proses penegakan hukum. Dan biasanya seseorang memang baru akan merasakan arti ketidakadilan bila yang bersangkutan sudah mengalami ”ketidakadilan”.
Ketika belum, mungkin sulit untuk bisa merasakan atau berempati bagaimana menderitanya menjadi orang yang terzalimi secara hukum. Sekarang BW, BG, dan -mungkin menyusul- AS sudah dan akan bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang terzalimi. Semoga!
(ars)