Kartel Politik dan Posisi Jokowi
A
A
A
Aditya Perdana
Dosen Ilmu politik FISIP UI; Kandidat doktor dari University of Hamburg, Jerman
Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan resmi dicalonkan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mendapatkan dukungan penuh dari DPR RI pada tanggal 15 Januari 2015.
Meski pada saat yang bersamaan KPK sudah menyatakan Komjen Pol Budi sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi, parlemen terus melanjutkan proses pencalonan Kapolri dengan melakukan fit and proper test dan menyetujui pencalonan tersebut dalam sidang paripurna. Berbagai peristiwa pun berkait kelindan setelahnya.
PDI-P sebagai partai pendukung Jokowi mempertanyakan etika politik Ketua KPK Abraham Samad dalam pencalonan wapres pendamping Jokowi beberapa bulan lalu. Lalu tanggal 23 Januari 2015 publik dikagetkan dengan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh penyidik Polri karena terkait dengan sidang pilkada dalam Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu, meski kemudian dibebaskansehari berikutnya.
Media massa serta merta memberi judulpertarungan“ KPK-Polri” terulang kembali dengan episode yang jauh lebih menarik. Yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana posisi Presiden Jokowi dalam menyelesaikan political turmoil ini.
Di tengah rumor yang begitu dahsyat terkait lemahnya posisi Jokowi dalam memutuskan perkara pencalonan ini, masyarakat tengah menanti keberpihakan Presiden Jokowi dalam penyelesaian konflik tersebut. Dalam konteks itu, kita akan coba jelaskan fenomena tersebut dalam kerangka sebuah jebakan bagi pemerintahan Jokowi yang dipersiapkan oleh kartel partai politik dan kelompok antikorupsi lainnya. Jebakan ini membuat Jokowi dalam posisi sulit dalam memutuskan segera dalam pencalonan tersebut.
Kartel Partai Politik
Tema kartel partai politik adalahsebuahdiskursuspenting dalam referensi partai politik di dunia di pertengahan dekade 1990-an. Dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada 1995 dalam edisi pertama jurnal Party Politics, kedua ilmuwan politik ini beranggapan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi perjuangan partai politik dari catch-all party menjadi cartel party.
Dalamtipologi catchallparty , partaimerasaharusmelakukan banyak perubahan kebijakan yang efektif untuk merebut suara pemilih dari mana pun. Untuk mencapai tujuan tersebut, tipe partai ini berkompetisi secara bebas untuk meraih berbagaisumberdaya yangberagam dalam masyarakat.
Sedangkan, tipologi cartel party lebih menekankan aspek profesionalitas dari politisi dalam upaya memenangkan partainya dengan berbagai cara apapun. Di samping itu, partai dalam tipe ini memandang penting akses dan sumber daya di pemerintahan sebagai orientasi kekuasaannya. Oleh karenanya, setiap partai politik menganggap bahwa berada dalam lingkaran kekuasaan negara adalah sebuah keharusan, meskipun dukungan pemilih terhadap partai tersebut rendah.
Negara, dalam hal ini berbagai instansi dan lembaga pemerintahan, dianggap mampu menyediakan limpahan sumber daya bagi keberlanjutan hidup partai politik. Adalah Dan Slater (2004) dan Kuskhrido Ambardi (2008) yang menggunakan tesis kartel partai politik sebagai pisau analisis dalam melihat partai di Indonesia. Dan Slater mengobservasi berbagai peristiwa politik dalam masa transisi pemerintahan antara 1999-2002, di mana pergantian pemerintahan (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) adalah sebuah jebakan dari mekanisme akuntabilitas yang baru digunakan oleh elite politik.
Dalam kurun waktu tersebut, elite politik telah melakukan berbagai manuver dan memaksimalkan jejaring politik informal dalam merespons berbagai tindakan politik seperti impeachment terhadap Gus Dur. Sementara, Ambardi menegaskan dalam observasinya di DPR bahwa tidak ada koalisi partai politik yang memiliki orientasi ideologi yang jelas.
Ikatan di antara partai politik yang berbasiskan agama, misalkan, sangat lemah dan temporal dalam melihat “Poros Tengah” pada tahun 1999 dan 2001. Sementara, koalisi besar dari Pemerintahan SBY pun mempertegas asumsi Katz dan Mair yang menyatakan bahwa partai memilih untuk dekat dengan negara ketimbang menjadi oposisi.
Jebakan
Berangkat dari pemahaman tentang kartel partai politik dan potret awal yang sudah dilakukan oleh Slater dan Ambardi, fenomena kekinian yang dialami oleh Jokowi pun tidak bisa dilepaskan dalam diskusi di atas. Jokowi pun sebenarnya telah sadar akan jebakan yang disiapkan oleh kartel partai pada pembentukan kabinetnya. Namun pada saat itu, Jokowi lolos dan mendapat dukungan positif dari publik.
Hal tersebut dimungkinkan karena Jokowi menggunakan “tangan” KPK dan PPATK untuk melakukan penyaringan terhadap nama-nama calon menteri yang diduga memiliki masalah terkait dengan korupsi atau pencucian uang. Berdasarkan pengalaman pada era pemerintahan SBY, sebagian menteri yang dipilih memiliki track record buruk dalam kasus korupsi.
Meski demikian, pemetaan asal dan riwayat para menteri saat ini pun tidaklah sepenuhnya bersih dalam persoalanyangdikhawatirkanolehKPK. Pada waktu itu Jokowi terlihat begitu kewalahan dalam mengatur dan menegosiasikan komposisi dan nama-nama menteri dalam kabinetnya hingga detik terakhir sebelum pengumuman.
Alasannya adalah Jokowi harus mempertimbangkan secara serius masukan dari KPK, usulan nama dari partai politik dan juga tanggapan dari kelompok relawan dan publik luas. Jebakan berikutnya adalah pencalonan Komjen Pol Budi yang kontroversial. Salah satu faktor penjelas dalam jebakan ini adalah dukungan penuh dari hampir seluruh partai politik di DPR dalam pencalonan ini.
Padahal seperti yang sudah kita ketahui bahwa DPR baru saja menyelesaikan sebuah konflik panjang akibat dari perseteruan pasca-Pemilu 2014 antara KIH dan KMP. Sebuah hal yang aneh apabila DPR sudah terlihat kompak secara cepat dalam menyikapi pencalonan Komjen Pol Budi yang disangka melakukan pencucian uang dan memiliki transaksi uang yang mencurigakan.
Meski desakan nama Komjen Pol Budi tersebut berasal dari PDIP, ada fenomena penggalangan dukungan penuh di DPR yang sulit dilihat kasatmata. Bahkan, proses pencalonan yang cepat tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa tindakan politik ini adalah skenario jebakan yang telah disiapkan lebih serius dari sekelompok elite politik, baik dalam ataupun di luar pemerintahan Jokowi.
Dalam konteks penjelasan resmi pemerintah ataupun gesture tubuh dan fisik dari Jokowi, publik bisa melihat bahwa kegalauan Jokowi dalam pemutusan kata akhir dalam pencalonan ini. Apalagi intensitas pertemuan Surya Paloh dengan Jokowi, sebagai pemegang saham pemerintahan Jokowi-JK, terekam jelas dalam laporan media massa pada waktu itu.
Kondisi konflik semakin memanas manakala PDIP melalui Hasto Kristyanto melancarkan serangan pertama kepada KPK dengan menyatakan buruknya etika politik Abraham Samad dalam “ikut serta” pencalonan wapresnya Jokowi. Puncaknya adalah Polri melakukan tindakan tidak populer dengan menangkap tangan Bambang Widjojanto manakala tengah mengantar anaknya sekolah.
Inilah jebakan yang memperumit posisi Jokowi dalam memutus perkara pencalonan Kapolri. Di satu sisi, Jokowi terdesak oleh kepentingan partai politik pendukungnya dalam pengajuan calon Kapolri. Sementara di sisi lain, Jokowi pun tengah dikritik keras tentang komitmennya dalam pemberantasan korupsi oleh para relawan pendukungnya dan para aktivis LSM antikorupsi.
Presiden Populis
Jokowi adalah satu di antara banyak presiden di dunia yang terpilih karena alasan kepopuleran ketimbang dukungan mesin partai politik yang kuat dan efektif. Oleh karena ia adalah presiden yang populis, maka semestinya Jokowi sadar bahwa dukungan pemilih adalah nomor satu.
Dukungan partai politik bukannya tidak penting, namun saat ini, di mana lemahnya partai politik dan menguatnya popularitas seorang presiden, maka posisi Jokowi berada dalam titik aman. Dalam konteks saat ini, Jokowi pun semestinya paham bahwa sebuah kebijakan politik yang tidak populer dan cenderung menegosiasikan kehendak rakyat tentu akan berdampak terhadap besaran dukungannya yang harus terus dipelihara.
Ini adalah logika menjaga popularitas dan citra seorang presiden. Sehingga, pilihan terhadap kebijakan dalam pencalonan sudah sangat jelas, apakah ia memilih masuk dalam agenda kartel partai politik atau memilih menjadi presiden populis yang tentu kerapkali tidak populer di kalangan partai politik yang ingin menjebaknya.
Dosen Ilmu politik FISIP UI; Kandidat doktor dari University of Hamburg, Jerman
Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan resmi dicalonkan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mendapatkan dukungan penuh dari DPR RI pada tanggal 15 Januari 2015.
Meski pada saat yang bersamaan KPK sudah menyatakan Komjen Pol Budi sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi, parlemen terus melanjutkan proses pencalonan Kapolri dengan melakukan fit and proper test dan menyetujui pencalonan tersebut dalam sidang paripurna. Berbagai peristiwa pun berkait kelindan setelahnya.
PDI-P sebagai partai pendukung Jokowi mempertanyakan etika politik Ketua KPK Abraham Samad dalam pencalonan wapres pendamping Jokowi beberapa bulan lalu. Lalu tanggal 23 Januari 2015 publik dikagetkan dengan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh penyidik Polri karena terkait dengan sidang pilkada dalam Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu, meski kemudian dibebaskansehari berikutnya.
Media massa serta merta memberi judulpertarungan“ KPK-Polri” terulang kembali dengan episode yang jauh lebih menarik. Yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana posisi Presiden Jokowi dalam menyelesaikan political turmoil ini.
Di tengah rumor yang begitu dahsyat terkait lemahnya posisi Jokowi dalam memutuskan perkara pencalonan ini, masyarakat tengah menanti keberpihakan Presiden Jokowi dalam penyelesaian konflik tersebut. Dalam konteks itu, kita akan coba jelaskan fenomena tersebut dalam kerangka sebuah jebakan bagi pemerintahan Jokowi yang dipersiapkan oleh kartel partai politik dan kelompok antikorupsi lainnya. Jebakan ini membuat Jokowi dalam posisi sulit dalam memutuskan segera dalam pencalonan tersebut.
Kartel Partai Politik
Tema kartel partai politik adalahsebuahdiskursuspenting dalam referensi partai politik di dunia di pertengahan dekade 1990-an. Dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada 1995 dalam edisi pertama jurnal Party Politics, kedua ilmuwan politik ini beranggapan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi perjuangan partai politik dari catch-all party menjadi cartel party.
Dalamtipologi catchallparty , partaimerasaharusmelakukan banyak perubahan kebijakan yang efektif untuk merebut suara pemilih dari mana pun. Untuk mencapai tujuan tersebut, tipe partai ini berkompetisi secara bebas untuk meraih berbagaisumberdaya yangberagam dalam masyarakat.
Sedangkan, tipologi cartel party lebih menekankan aspek profesionalitas dari politisi dalam upaya memenangkan partainya dengan berbagai cara apapun. Di samping itu, partai dalam tipe ini memandang penting akses dan sumber daya di pemerintahan sebagai orientasi kekuasaannya. Oleh karenanya, setiap partai politik menganggap bahwa berada dalam lingkaran kekuasaan negara adalah sebuah keharusan, meskipun dukungan pemilih terhadap partai tersebut rendah.
Negara, dalam hal ini berbagai instansi dan lembaga pemerintahan, dianggap mampu menyediakan limpahan sumber daya bagi keberlanjutan hidup partai politik. Adalah Dan Slater (2004) dan Kuskhrido Ambardi (2008) yang menggunakan tesis kartel partai politik sebagai pisau analisis dalam melihat partai di Indonesia. Dan Slater mengobservasi berbagai peristiwa politik dalam masa transisi pemerintahan antara 1999-2002, di mana pergantian pemerintahan (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) adalah sebuah jebakan dari mekanisme akuntabilitas yang baru digunakan oleh elite politik.
Dalam kurun waktu tersebut, elite politik telah melakukan berbagai manuver dan memaksimalkan jejaring politik informal dalam merespons berbagai tindakan politik seperti impeachment terhadap Gus Dur. Sementara, Ambardi menegaskan dalam observasinya di DPR bahwa tidak ada koalisi partai politik yang memiliki orientasi ideologi yang jelas.
Ikatan di antara partai politik yang berbasiskan agama, misalkan, sangat lemah dan temporal dalam melihat “Poros Tengah” pada tahun 1999 dan 2001. Sementara, koalisi besar dari Pemerintahan SBY pun mempertegas asumsi Katz dan Mair yang menyatakan bahwa partai memilih untuk dekat dengan negara ketimbang menjadi oposisi.
Jebakan
Berangkat dari pemahaman tentang kartel partai politik dan potret awal yang sudah dilakukan oleh Slater dan Ambardi, fenomena kekinian yang dialami oleh Jokowi pun tidak bisa dilepaskan dalam diskusi di atas. Jokowi pun sebenarnya telah sadar akan jebakan yang disiapkan oleh kartel partai pada pembentukan kabinetnya. Namun pada saat itu, Jokowi lolos dan mendapat dukungan positif dari publik.
Hal tersebut dimungkinkan karena Jokowi menggunakan “tangan” KPK dan PPATK untuk melakukan penyaringan terhadap nama-nama calon menteri yang diduga memiliki masalah terkait dengan korupsi atau pencucian uang. Berdasarkan pengalaman pada era pemerintahan SBY, sebagian menteri yang dipilih memiliki track record buruk dalam kasus korupsi.
Meski demikian, pemetaan asal dan riwayat para menteri saat ini pun tidaklah sepenuhnya bersih dalam persoalanyangdikhawatirkanolehKPK. Pada waktu itu Jokowi terlihat begitu kewalahan dalam mengatur dan menegosiasikan komposisi dan nama-nama menteri dalam kabinetnya hingga detik terakhir sebelum pengumuman.
Alasannya adalah Jokowi harus mempertimbangkan secara serius masukan dari KPK, usulan nama dari partai politik dan juga tanggapan dari kelompok relawan dan publik luas. Jebakan berikutnya adalah pencalonan Komjen Pol Budi yang kontroversial. Salah satu faktor penjelas dalam jebakan ini adalah dukungan penuh dari hampir seluruh partai politik di DPR dalam pencalonan ini.
Padahal seperti yang sudah kita ketahui bahwa DPR baru saja menyelesaikan sebuah konflik panjang akibat dari perseteruan pasca-Pemilu 2014 antara KIH dan KMP. Sebuah hal yang aneh apabila DPR sudah terlihat kompak secara cepat dalam menyikapi pencalonan Komjen Pol Budi yang disangka melakukan pencucian uang dan memiliki transaksi uang yang mencurigakan.
Meski desakan nama Komjen Pol Budi tersebut berasal dari PDIP, ada fenomena penggalangan dukungan penuh di DPR yang sulit dilihat kasatmata. Bahkan, proses pencalonan yang cepat tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa tindakan politik ini adalah skenario jebakan yang telah disiapkan lebih serius dari sekelompok elite politik, baik dalam ataupun di luar pemerintahan Jokowi.
Dalam konteks penjelasan resmi pemerintah ataupun gesture tubuh dan fisik dari Jokowi, publik bisa melihat bahwa kegalauan Jokowi dalam pemutusan kata akhir dalam pencalonan ini. Apalagi intensitas pertemuan Surya Paloh dengan Jokowi, sebagai pemegang saham pemerintahan Jokowi-JK, terekam jelas dalam laporan media massa pada waktu itu.
Kondisi konflik semakin memanas manakala PDIP melalui Hasto Kristyanto melancarkan serangan pertama kepada KPK dengan menyatakan buruknya etika politik Abraham Samad dalam “ikut serta” pencalonan wapresnya Jokowi. Puncaknya adalah Polri melakukan tindakan tidak populer dengan menangkap tangan Bambang Widjojanto manakala tengah mengantar anaknya sekolah.
Inilah jebakan yang memperumit posisi Jokowi dalam memutus perkara pencalonan Kapolri. Di satu sisi, Jokowi terdesak oleh kepentingan partai politik pendukungnya dalam pengajuan calon Kapolri. Sementara di sisi lain, Jokowi pun tengah dikritik keras tentang komitmennya dalam pemberantasan korupsi oleh para relawan pendukungnya dan para aktivis LSM antikorupsi.
Presiden Populis
Jokowi adalah satu di antara banyak presiden di dunia yang terpilih karena alasan kepopuleran ketimbang dukungan mesin partai politik yang kuat dan efektif. Oleh karena ia adalah presiden yang populis, maka semestinya Jokowi sadar bahwa dukungan pemilih adalah nomor satu.
Dukungan partai politik bukannya tidak penting, namun saat ini, di mana lemahnya partai politik dan menguatnya popularitas seorang presiden, maka posisi Jokowi berada dalam titik aman. Dalam konteks saat ini, Jokowi pun semestinya paham bahwa sebuah kebijakan politik yang tidak populer dan cenderung menegosiasikan kehendak rakyat tentu akan berdampak terhadap besaran dukungannya yang harus terus dipelihara.
Ini adalah logika menjaga popularitas dan citra seorang presiden. Sehingga, pilihan terhadap kebijakan dalam pencalonan sudah sangat jelas, apakah ia memilih masuk dalam agenda kartel partai politik atau memilih menjadi presiden populis yang tentu kerapkali tidak populer di kalangan partai politik yang ingin menjebaknya.
(ars)