Bukan Sekadar Oknum

Rabu, 28 Januari 2015 - 11:43 WIB
Bukan Sekadar Oknum
Bukan Sekadar Oknum
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu


Dalam beberapa minggu terakhir ini dunia politik kitamemanasakibattimbulnya perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Pendapat umum menyimpulkan bahwa perseteruan ini adalah ulah oknum dan bukan lembaga. Oleh sebab itu dalam wilayah media sosial, masyarakat mendorong kampanye untuk menyelamatkan tidak hanya KPK, tetapi juga Polri dalam bentuk #saveKPK dan #savePolri.

Tanpa mengurangi penghargaan atas advokasi yang dilakukan masyarakat terhadap dua institusi penegak hukum yang sangat kita hormati ini, konflik antar kedua institusi penegak hukum ini harus menjadi peringatan dini bagi kita. Bahwa masih ada masalah dalam upaya menguatkan lembaga penegakan hukum secara keseluruhan dan khususnya upaya pemberantasan korupsi.

Keberadaan KPK yang awalnya sebagai pelengkap dari institusi penegakan hukum yang sudah ada ternyata telah berkembang menjadi kompetitor dari institusi lain. Kita perlu mengakui bahwa masalah korupsi sudah menjadi kanker di dalam lembaga penegakan hukum kita. Korupsi memang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negaranegara lain seperti di Benua Amerika dan Eropa.

Hal yang membedakannya adalah bahwa korupsi di negara-negara yang sistem hukumnya sudah mapan dan kuat dilakukan sebagian besar oleh individu atau kelompok (alias oknum), sementara di negara berkembang seperti Indonesia, korupsi dilakukan secara melembaga. Berdirinya KPK dan legitimasi yang diperolehnya dari masyarakat adalah buah dari kinerja KPK yang baik, tetapi sayangnya secara tidak langsung juga mengurangi penghargaan atas institusi lain, khususnya kepolisian.

Permasalahannya, apa yang telah dilakukan dengan baik oleh KPK ternyata tidak otomatis mendorong instansi lain untuk melakukan hal serupa. Sebaliknya lembaga lain menganggap KPK sebagai ancaman dan kompetitor. Pertanyaannya kemudian adalah sampai kapan kompetisi ini akan terus terjadi?

Semakin tingginya tuntutan pertumbuhan ekonomi dan semakin besarnya arus investasi yang akan masuk ke Indonesia, peluang terjadinya korupsi baik di pusat maupun daerah juga akan semakin terbuka. Apabila tidak ada perbaikan dalam institusi penegakan hukum kita, konflik- konflik seperti ini terbuka untuk terjadi kembali di masa depan.

Apakah kompetisi ini harus berakhir sampai satu institusi terdominasi oleh institusi lain? Berapa biaya sosial yang akan ditimbulkan dari konflikkonflik yang terjadi nanti? Pertanyaan ini mungkin perlu dijawab melalui kajian ilmiah dengan berbagai pendekatan yang komprehensif, terutama tentang keberadaan institusi kepolisian yang memiliki kewenangan dan wilayah operasi yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke.

Sebagai sebuah institusi yang telah berdiri bersamaan dengan berdirinya republik ini, reformasi di dalam tubuh kepolisian tidak hanya dapat mengandalkan atau mengharapkan polisi yang bersih, tetapi juga perlu membersihkan lingkungan di dalam tubuh lembaga itu sendiri. Lingkungan yang dimaksud adalah praktik, kebiasaan, norma, nilai, kepemimpinan, struktur organisasi, atau pengawasan.

Usaha untuk menciptakan lingkungan yang bersih di dalam sebuah organisasi sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Organisasi seperti lembaga kepolisian tidak dapat disamakan dengan organisasi lain seperti departemen atau perusahaan. Organisasi kepolisian adalah sebuah institusi yang memiliki sebuah hierarki dengan distribusi kekuasaan atau kewenangan yang jelas dan sulit untuk ditentang (challenged).

Sifat alamiah organisasi kepolisian yang tidak egaliter membutuhkan sebuah intervensi pemberantasan korupsi yang khusus. Teori sosial dominasi sebagai contoh menjelaskan bahwa seseorang yang berdiri di puncak organisasi cenderung menjadi tidak terlalu peduli dengan praktik korupsi.

Hal ini terjadi karena ia memiliki perasaan sebagai bagian dari kelompok yang kuat, dengan kekuatan yang lebih besar dan kecenderungan untuk melakukan subordinasi pihak lain sesuai dengan sifat dari organisasi yang membutuhkan hierarki ketat. Intervensi untuk membersihkan organisasi yang memiliki hierarki ketat seperti ini mempersyaratkan perlunya perbaikan sejak awal, terutama dari rekrutmen, pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan kepemimpinan.

Contohnya, di tengah masyarakat masih berkembang keyakinan bahwa mendaftarkan diri menjadi aparat keamanan baik TNI maupun kepolisian membutuhkan uang pelicin agar dapat diterima di akademi. Secara ekonomis, hal ini menciptakan motivasi bagi para kadet untuk melakukan korupsi ketika telah bekerja agar dapat mengembalikan dana yang telah dikeluarkan dan secara moril mereka juga sudah tidak melihat lembaga penegakan hukum sebagai organisasi yang ideal.

Selain perbaikan internal, lingkungan eksternal yang terkait dengan penegakan hukum juga menyumbangkan atau mendorong praktik korupsi. Misalnya, dalam beberapa kasus, polisi bekerja keras dalam mengembangkan penyelidikan sebuah kasus. Mereka melakukan pengintaian berhari-hari, menyamar, mengumpulkan bukti-bukti dan menyusunnya agar sesuai dengan berkas yang diperlukan kejaksaan.

Pada saat sampai di pengadilan, kasus tersebut kemudian dimentahkan atau bahkan terdakwanya dapat bebas karena korupsi yang terjadi di antara para hakim. Kasus-kasus demikian yang secara tidak langsung membuat demoralisasi anggota kepolisian yang terlibat dalam kasus tersebut. Uraian di atas hanyalah puncak dari gunung es masalah yang terdapat di dalam lembaga penegakan hukum kita.

Penyelesaian dari masalah- masalah tersebut perlu dilakukan melalui sebuah rangkaian yang konstruktif dan sistematis. Kita berharap tidak hanya dapat memiliki pejabat penegakan hukum yang bersih, tetapi juga lingkungan yang bersih yang diupayakan secara bertahap. Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara perlu mengupayakan agar kinerja lembaga penegakan hukum dapat kembali menjadi saling melengkapi ketimbang saling berkompetisi.

Pemerintah perlu menyiapkan secara lebih detail rencana reformasi penegakan hukum yang tampaknya lebih sulit ketimbang agenda reformasi birokrasi lainnya. Problem KPK vs Polri ini ternyata cukup menarik bagi para Indonesianis alias ilmuwan yang mengamati Indonesia. Yang mereka soroti adalah terobosan kelembagaan dan kepemimpinan.

Untuk itu, jangan heran bila tanggapan atas problem KPK vs Polri ini kemudian membuka peluang kerja sama capacity building dari negara donor. Pertanyaannya, seberapa serius kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia bergerak memperbaiki sistem? Atau kita cenderung merasa tidak berdaya dan menunggu inisiatif dari presiden atau pendonor?

Semoga ulasan di atas mengingatkan kita akan pentingnya kontribusi kita sebagai warga negara dalam menjaga suasana lingkungan ”bersih korupsi” dan konsisten menindak siapa pun yang berniat melakukan atau melanggengkan praktik curang yang merugikan para pembayar pajak.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5618 seconds (0.1#10.140)