Kejarlah Daku, Kau Kutangkap
A
A
A
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta
Air merupakan sumber inspirasi dari seluruh kehidupan di muka bumi ini. Dengan airlah terciptanya asal mula kehidupan dunia, mulai dari penciptaan bumi dan seluruh isinya termasuk tumbuhan, hewan, dan manusia di dalamnya.
Betapa pentingnya peran air sehingga tidak mungkin berlangsungnya sebuah kehidupan tanpa kehadiran air di dalamnya. Kebutuhan air dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor hujan. Kekuatan hujan itu menjadi penentu bagi keberlangsungan sistem tata kelola pertanian, tata kelola peternakan, tata kelola industri, dan berbagai perangkat kegiatan kehidupan lain.
Kini semua tinggal cerita. Ketika hujan terjatuh ke bumi, air sulit mencari tempat bersemayam karena gunung tak bisa lagi menjadi tempat berteduh, berlari ke sungai telah penuh dengan sampah, di bukit berjejer vila-vila mewah, sehingga air berlarilah ke rawa-rawa. Namun, semua sudah tertimbun menjadi rumah dan apartemen, seluruh tanah sudah berbeton. Air pun berkumpul dan berserikat dalam sebuah ikatan persaudaraan yang bernama “banjir”.
Jakarta salah satu daerah dataran yang satu hamparan dengan laut sehingga banjir menjadi langganan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Ketika air ditanya, “Kenapa kamu datang ke sini?” Air menjawab, “Rumahku telah kau gunduli, tempat bermainku telah kau huni, kini izinkan aku untuk menginap di rumahmu sampai seluruh energiku habis terkuras.” Musim hujan saat ini memang sangat berbeda.
Curahnya kini tak sederas dulu, waktunya pun berubah-ubah, hujannya pun tidak menentu. Entah apa sebabnya, saya tidak bisa menjelaskan secara detail karena tidak punya kapasitas untuk menjelaskan itu. Secara umum orang menyebutnya perubahan iklim dengan berbagai argumentasi teori dari efek rumah kaca, pembakaran gas karbon, penggundulan hutan, dan berbagai teori lain.
Kegalauan ini kini melanda saudarasaudara kita di DPRD yang sangat terkejut dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Keluaran karena hari ini yang biasa dapat lebih dari perjalanan luar kota kini ongkosnya pas-pasan, ditambah dengan semakin ketatnya pertanggungjawaban administrasi keuangannya.
Duh , jangankan dapat untung, untuk balik modal saja sudah susah, tambah lagi konstituen yang terus-menerus menagih, “Mana janjimu”. Mau dikasih bansos, kini sudah dilarang. Kata teman saya, nyesel deh jadi anggota DPRD. Sudah jual sawah, jual mobil, tapi penghasilannya tak sesuai impian. Tahu begini, dulu enggak akan nyalon anggota DPRD, lebih baik menjadi calo anggota DPRD, tanpa modal hasilnya lumayan.
Kegalauan kini juga melanda masyarakat yang bermimpi ke luar negeri atau liburan dalam setiap minggu dengan menggunakan pesawat karena fasilitas naik pesawat murah tidak akan lagi bisa dijumpai. Jalan-jalan ke Singapura, Malaysia, Bali, Yogyakarta, dan berbagai tempat lain kini akan sepi karena masyarakat kelas bawah tak akan mampu lagi membeli tiket pesawat.
Kata Ma Icih, tetangga di kampung saya, “Duh, enggak jadi deh nini pergi ke Singapura untuk melihat Orchard Road sama Marina Bay Sands Sky Park. Sekarang mah ninipergikeSingaparnasaja, pulangnya mampir di Rajapolah beli boboko, hihid sama aseupan , biar cucu nini yang perempuan bisa belajar masak seperti nini waktu muda. Cucu nini sekarang memang aneh, pengen makanan enak, tapi tidak bisa memasak.
Kalau ngomong, selalu patriotisme dan nasionalisme serta semangat kebangsaan, tapi sangu akeul dan pergulatan pangarih di dulang saja tidak tahu. Untuk ngakeul , pangarih, dan dulang , nini menyampaikan permohonan maaf karena saking orisinalnya tak bisa nini terjemahkan dalam Bahasa Indonesia.”
*** Ketika kemarau datang, Indonesia kerontang. Air menjadi kekuatan yang paling dicari, asap pekat karena pembakaran gambut dan ilalang menghiasi wajah Indonesia. Riau, Singapura, sebagian Malaysia, dan Kalimantan merupakan daerah-daerah langganan kabut asap.
Citra negara Indonesia seringkali tercoreng dan menjadi bulan-bulanan dalam media diplomasi internasional karena dianggap tidak mampu menyelesaikan kebakaran dan pembakaran hutan di Indonesia. Negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk mengumpulkan awan, membuat hujan buatan. Ketegangan terjadi di manamana, panas yang menyengat, air yang sulit dicari, berebutlah seluruh masyarakat yang seringkali berdampak pada konflik sosial yang terjadi secara terbuka.
Berebut air untuk minum, untuk mandi, untuk ternak, untuk persawahan adalah pemandangan yang umum kita jumpai ketika kemarau tiba. Air dikejar ke manamana, menjadi sosok makhluk yang sangat dibutuhkan. Gemuruh doa diucapkan, menghiasi langitlangit spiritualitas manusia yang meminta kepada Tuhan untuk menurunkan air dalam bentuk hujan.
Pada saat seperti ini air bicara, “Kenapa ketika aku datang menyapa, kau sia-siakan aku, kau benci aku, kau campakkan aku, kau khianati aku? Ketika aku pergi, kau kejar aku, kau berusaha untuk menangkapku.” Wajah itulah wajah politik kita. Ketika seorang pemimpin membutuhkan dukungan, dia begitu penyayang dan memperlakukan masyarakat penuh kelembutan.
Senyum, sapa, cinta mengalir jernih dengan wajah tanpa kaca. Bergemuruhlah gairah demokrasi dalam cinta dan kehangatan, berjanji saling menyayangi, saling mengasihi untuk mengantar ke taman kemakmuran. Namun, kadang seluruh gairah itu sirna ketika seluruh hasrat bertepuk sebelah tangan. Cinta berubah menjadi petaka, sanjungan berubah menjadi kebencian.
Seringkali dalam menjalani mahligai hidup bernegara, diakhiri dengan histeria kaum kritis yang kecewa dengan berbagai cacian, makian, hujatan, bahkan kadang melampaui batas-batas garis etika dan nalar intelektual. Sejumlah tokoh ternama yang penuh dengan karisma terjatuh dari pelaminan kekuasaan dalam gemuruh sorak-sorai kegembiraan. Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, adalah tokoh kharismatik yang begitu memiliki komitmen kebangsaan yang kuat.
Tapi, semua tak mampu menahan arus gempita histeria politik yang tak menyukainya lagi. Ujung dari kisah dramatik yang sering terlontar adalah sebuah penyesalan ketika menghadapi era baru yang tidak sesuai harapan. Dalam setiap obrolan kecil seringkali ada kata terucap, memuja pemimpin yang dulu pernah dilupakan.
“Mending keneh zaman Bung Karno nya ?” Itulah yang terucap saat OrdeBaru.“Piyekabare? Enakzamanku, toh ?” Itulah seloroh yang diucapkan pada Era Reformasi. Ketika terjadi ketegangan politik karena persoalan pemahaman pluralisme, muncullah ucapan, “Gitu aja kok repot”, dan terbayanglah sosok Gus Dur yang pluralis.
Ketika kita mendengar pidato Pak SBY yang sering bercerita tentang keluh kesah, kita membanggakan Ibu Mega yang banyak memendam kata dalam setiap menghadapi problem negara sehingga ada idiom yang sering diucapkan bahwa diam itu emas. Kini di tengah harapan kita, dalam gempita spirit kepemimpinan yang berbasis kerakyatan yang telah mampu menggerakkan histeria akar rumput masyarakat Indonesia, mewujudkan mimpi makmurnya kaum jelata, tak lama berselang kini suasananya kembali berubah.
Orang pintar dilanda kecemasan. Dalam lirih dia berkata, “Masih lebih bagus Pak SBY dalam menghadapi setiap kegentingan.” Padahal pada saat yang lalu seluruh kebijakannya dihujat seolah tak ada benarnya. Inilah tradisi kita, mudah menyela yang lama kadang melupakan seluruh jasa dan kebaikannya, memberi harapan kepada yang baru dengan beban yang berlebihan, lalu menyesali dan kembali berekspektasi ketika menemui kegagalan.
Kemudian bernostalgia bahwa seolah-olah masa lalu lebih baik dibanding hari ini. Untuk mendengarkan rintihan nurani yang sebenarnya, marilah kita bertanya kepada Ma Icih, “Enak mana zaman dulu dengan zaman sekarang, Mak?” Kemudian Ma Icih menjawab dengan tegas tanpa ada keraguan sedikit pun, “Ya jelas masih enak zaman dulu karena zaman dulu nini masih muda, hidup terasa indah. Kalau nangkeup (memeluk) si aki masih terasa gagah.
Zaman sekarang mah tidak enak, makan daging enggak bisa karena nini sudah ompong, ke salon juga buat apa nini sudah tidak menarik, malam-malam nini dilanda kegelisahan karena si aki batuknya suka kambuh. Nonton TV juga nini suka pusing karena lagu keroncong dan film Mak Uwo kegemaran nini sudah tidak ditayangkan lagi.
Apalagi minggu ini, nini semakin bingung karena film cicak dan buaya kok sudah ada jilid yang kedua, padahal jilid pertama saja nini belum pernah nonton, atau mungkin film itu hanya diputar di bioskop yang khusus untuk orang pintar ya sehingga nini yang bodoh belum layak untuk nonton film itu?”
Bupati Purwakarta
Air merupakan sumber inspirasi dari seluruh kehidupan di muka bumi ini. Dengan airlah terciptanya asal mula kehidupan dunia, mulai dari penciptaan bumi dan seluruh isinya termasuk tumbuhan, hewan, dan manusia di dalamnya.
Betapa pentingnya peran air sehingga tidak mungkin berlangsungnya sebuah kehidupan tanpa kehadiran air di dalamnya. Kebutuhan air dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor hujan. Kekuatan hujan itu menjadi penentu bagi keberlangsungan sistem tata kelola pertanian, tata kelola peternakan, tata kelola industri, dan berbagai perangkat kegiatan kehidupan lain.
Kini semua tinggal cerita. Ketika hujan terjatuh ke bumi, air sulit mencari tempat bersemayam karena gunung tak bisa lagi menjadi tempat berteduh, berlari ke sungai telah penuh dengan sampah, di bukit berjejer vila-vila mewah, sehingga air berlarilah ke rawa-rawa. Namun, semua sudah tertimbun menjadi rumah dan apartemen, seluruh tanah sudah berbeton. Air pun berkumpul dan berserikat dalam sebuah ikatan persaudaraan yang bernama “banjir”.
Jakarta salah satu daerah dataran yang satu hamparan dengan laut sehingga banjir menjadi langganan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Ketika air ditanya, “Kenapa kamu datang ke sini?” Air menjawab, “Rumahku telah kau gunduli, tempat bermainku telah kau huni, kini izinkan aku untuk menginap di rumahmu sampai seluruh energiku habis terkuras.” Musim hujan saat ini memang sangat berbeda.
Curahnya kini tak sederas dulu, waktunya pun berubah-ubah, hujannya pun tidak menentu. Entah apa sebabnya, saya tidak bisa menjelaskan secara detail karena tidak punya kapasitas untuk menjelaskan itu. Secara umum orang menyebutnya perubahan iklim dengan berbagai argumentasi teori dari efek rumah kaca, pembakaran gas karbon, penggundulan hutan, dan berbagai teori lain.
Kegalauan ini kini melanda saudarasaudara kita di DPRD yang sangat terkejut dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Keluaran karena hari ini yang biasa dapat lebih dari perjalanan luar kota kini ongkosnya pas-pasan, ditambah dengan semakin ketatnya pertanggungjawaban administrasi keuangannya.
Duh , jangankan dapat untung, untuk balik modal saja sudah susah, tambah lagi konstituen yang terus-menerus menagih, “Mana janjimu”. Mau dikasih bansos, kini sudah dilarang. Kata teman saya, nyesel deh jadi anggota DPRD. Sudah jual sawah, jual mobil, tapi penghasilannya tak sesuai impian. Tahu begini, dulu enggak akan nyalon anggota DPRD, lebih baik menjadi calo anggota DPRD, tanpa modal hasilnya lumayan.
Kegalauan kini juga melanda masyarakat yang bermimpi ke luar negeri atau liburan dalam setiap minggu dengan menggunakan pesawat karena fasilitas naik pesawat murah tidak akan lagi bisa dijumpai. Jalan-jalan ke Singapura, Malaysia, Bali, Yogyakarta, dan berbagai tempat lain kini akan sepi karena masyarakat kelas bawah tak akan mampu lagi membeli tiket pesawat.
Kata Ma Icih, tetangga di kampung saya, “Duh, enggak jadi deh nini pergi ke Singapura untuk melihat Orchard Road sama Marina Bay Sands Sky Park. Sekarang mah ninipergikeSingaparnasaja, pulangnya mampir di Rajapolah beli boboko, hihid sama aseupan , biar cucu nini yang perempuan bisa belajar masak seperti nini waktu muda. Cucu nini sekarang memang aneh, pengen makanan enak, tapi tidak bisa memasak.
Kalau ngomong, selalu patriotisme dan nasionalisme serta semangat kebangsaan, tapi sangu akeul dan pergulatan pangarih di dulang saja tidak tahu. Untuk ngakeul , pangarih, dan dulang , nini menyampaikan permohonan maaf karena saking orisinalnya tak bisa nini terjemahkan dalam Bahasa Indonesia.”
*** Ketika kemarau datang, Indonesia kerontang. Air menjadi kekuatan yang paling dicari, asap pekat karena pembakaran gambut dan ilalang menghiasi wajah Indonesia. Riau, Singapura, sebagian Malaysia, dan Kalimantan merupakan daerah-daerah langganan kabut asap.
Citra negara Indonesia seringkali tercoreng dan menjadi bulan-bulanan dalam media diplomasi internasional karena dianggap tidak mampu menyelesaikan kebakaran dan pembakaran hutan di Indonesia. Negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk mengumpulkan awan, membuat hujan buatan. Ketegangan terjadi di manamana, panas yang menyengat, air yang sulit dicari, berebutlah seluruh masyarakat yang seringkali berdampak pada konflik sosial yang terjadi secara terbuka.
Berebut air untuk minum, untuk mandi, untuk ternak, untuk persawahan adalah pemandangan yang umum kita jumpai ketika kemarau tiba. Air dikejar ke manamana, menjadi sosok makhluk yang sangat dibutuhkan. Gemuruh doa diucapkan, menghiasi langitlangit spiritualitas manusia yang meminta kepada Tuhan untuk menurunkan air dalam bentuk hujan.
Pada saat seperti ini air bicara, “Kenapa ketika aku datang menyapa, kau sia-siakan aku, kau benci aku, kau campakkan aku, kau khianati aku? Ketika aku pergi, kau kejar aku, kau berusaha untuk menangkapku.” Wajah itulah wajah politik kita. Ketika seorang pemimpin membutuhkan dukungan, dia begitu penyayang dan memperlakukan masyarakat penuh kelembutan.
Senyum, sapa, cinta mengalir jernih dengan wajah tanpa kaca. Bergemuruhlah gairah demokrasi dalam cinta dan kehangatan, berjanji saling menyayangi, saling mengasihi untuk mengantar ke taman kemakmuran. Namun, kadang seluruh gairah itu sirna ketika seluruh hasrat bertepuk sebelah tangan. Cinta berubah menjadi petaka, sanjungan berubah menjadi kebencian.
Seringkali dalam menjalani mahligai hidup bernegara, diakhiri dengan histeria kaum kritis yang kecewa dengan berbagai cacian, makian, hujatan, bahkan kadang melampaui batas-batas garis etika dan nalar intelektual. Sejumlah tokoh ternama yang penuh dengan karisma terjatuh dari pelaminan kekuasaan dalam gemuruh sorak-sorai kegembiraan. Bung Karno, Pak Harto, Gus Dur, adalah tokoh kharismatik yang begitu memiliki komitmen kebangsaan yang kuat.
Tapi, semua tak mampu menahan arus gempita histeria politik yang tak menyukainya lagi. Ujung dari kisah dramatik yang sering terlontar adalah sebuah penyesalan ketika menghadapi era baru yang tidak sesuai harapan. Dalam setiap obrolan kecil seringkali ada kata terucap, memuja pemimpin yang dulu pernah dilupakan.
“Mending keneh zaman Bung Karno nya ?” Itulah yang terucap saat OrdeBaru.“Piyekabare? Enakzamanku, toh ?” Itulah seloroh yang diucapkan pada Era Reformasi. Ketika terjadi ketegangan politik karena persoalan pemahaman pluralisme, muncullah ucapan, “Gitu aja kok repot”, dan terbayanglah sosok Gus Dur yang pluralis.
Ketika kita mendengar pidato Pak SBY yang sering bercerita tentang keluh kesah, kita membanggakan Ibu Mega yang banyak memendam kata dalam setiap menghadapi problem negara sehingga ada idiom yang sering diucapkan bahwa diam itu emas. Kini di tengah harapan kita, dalam gempita spirit kepemimpinan yang berbasis kerakyatan yang telah mampu menggerakkan histeria akar rumput masyarakat Indonesia, mewujudkan mimpi makmurnya kaum jelata, tak lama berselang kini suasananya kembali berubah.
Orang pintar dilanda kecemasan. Dalam lirih dia berkata, “Masih lebih bagus Pak SBY dalam menghadapi setiap kegentingan.” Padahal pada saat yang lalu seluruh kebijakannya dihujat seolah tak ada benarnya. Inilah tradisi kita, mudah menyela yang lama kadang melupakan seluruh jasa dan kebaikannya, memberi harapan kepada yang baru dengan beban yang berlebihan, lalu menyesali dan kembali berekspektasi ketika menemui kegagalan.
Kemudian bernostalgia bahwa seolah-olah masa lalu lebih baik dibanding hari ini. Untuk mendengarkan rintihan nurani yang sebenarnya, marilah kita bertanya kepada Ma Icih, “Enak mana zaman dulu dengan zaman sekarang, Mak?” Kemudian Ma Icih menjawab dengan tegas tanpa ada keraguan sedikit pun, “Ya jelas masih enak zaman dulu karena zaman dulu nini masih muda, hidup terasa indah. Kalau nangkeup (memeluk) si aki masih terasa gagah.
Zaman sekarang mah tidak enak, makan daging enggak bisa karena nini sudah ompong, ke salon juga buat apa nini sudah tidak menarik, malam-malam nini dilanda kegelisahan karena si aki batuknya suka kambuh. Nonton TV juga nini suka pusing karena lagu keroncong dan film Mak Uwo kegemaran nini sudah tidak ditayangkan lagi.
Apalagi minggu ini, nini semakin bingung karena film cicak dan buaya kok sudah ada jilid yang kedua, padahal jilid pertama saja nini belum pernah nonton, atau mungkin film itu hanya diputar di bioskop yang khusus untuk orang pintar ya sehingga nini yang bodoh belum layak untuk nonton film itu?”
(ars)