Teknik Memilih Arbitrer Terbaik
A
A
A
FRANS H WINARTA
Ketua ICC Indonesia Bidang Arbitrase dan Arbitrer ICC,
BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan SCIA.
Saat ini pelaku usaha lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis melalui arbitrase daripada litigasi di pengadilan karena arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat win-win solution, confidential, dan putusan yang final and binding.
Karena itu, dengan ada sifat win-win solution dan confidential yang melekat pada arbitrase, pelaku usaha yang bersengketa dapat tetap menjaga hubungan baik dan tidak ada pihak yang dipermalukan dalam sengketa arbitrase tersebut. Selain itu, dengan ada sifat final dan binding pada putusan arbitrase, pelaku usaha juga tidak perlu lagi menunggu proses panjang untuk mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap karena putusan arbitrase tersebut tidak dapat diajukan banding karena putusan arbitrase adalah final, mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 60 UU Arbitrase).
Selain itu, pada arbitrase melekat juga prinsip kebebasan para pihak (party autonomy), di mana berdasarkan kesepakatan para pihak bebas untuk memilih bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase, tempat arbitrase, jumlah arbitrer, jumlah pengajuan saksi dan/atau ahli dan jangka waktu proses arbitrase itu sendiri, asalkan kesepakatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Karena itu, kebebasan para pihak ini menyebabkan arbitrase lebih efisien karena menghemat waktu dalam proses penyelesaian sengketa dan jelas menghemat biaya juga. Kendati begitu, masih terdapat pendapat dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa proses arbitrase memakan waktu dan terlalu mahal.
Ini mungkin saja terjadi jika proses arbitrase tidak dikelola dengan baik oleh majelis arbitrase dan para pihak itu sendiri. Terkadang kebebasan yang dimiliki para pihak dalam arbitrase (party autonomy) mengakibatkan proses arbitrase menjadi lambat. Terlebih, apabila para pihak itu sendiri tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan perkara melalui arbitrase dengan efisien.
Karena itu, proses arbitrase yang cepat dan hemat biaya kemungkinan besar akan sulit untuk dicapai. Di sisi lain, majelis arbitrase adalah orang-orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan proses arbitrase. Jika majelis arbitrase tidak proaktif dan terampil dalam mengelola perkaraarbitrase, prosesarbitrase bisa menjadi panjang dan mahal. Karena itu, majelis arbitrase memiliki peran penting dalam mencapai suatu proses arbitrase yang cepat dan hemat biaya.
Penunjukan Arbitrer
Dalam arbitrase, para pihak bebas memilih arbitrernya berdasarkan integritas, pengetahuan, keahlian, dan reputasinya. Ini berbeda dengan litigasi di pengadilan di mana hakim tidak dapat dipilih oleh para pihak yang beperkara. Namun, arbitrer tidak seperti hakim di pengadilan, arbitrer dapat berasal dari sektor swasta seperti firma hukum (law firm), firma teknik, dan perusahaan.
Hal ini mengakibatkan arbitrer memiliki dua potensi masalah yang mungkin timbul yaitu; (1) konflik kepentingan (conflict of interests) antara arbitrer dan pihak yang bersengketa karena keterlibatan sebelumnya atau saat ini; dan (2) tidak tersedianya waktu yang dimiliki arbitrer untuk melakukan tugasnya dengan benar.
Karena arbitrer berasal dari sektor swasta, ada kemungkinan bahwa arbitrer yang ditunjuk memiliki keterlibatan atau koneksi dengan salah satu pihak baik sebelum atau saat penunjukan. Ini dapat menyebabkan munculnya konflik kepentingan (conflict of interests) karena imparsialitas dan independensi arbitrer menjadi diragukan.
Apabila ada keraguan terhadap imparsialitas dan independensi seorang arbitrer, UU Arbitrase menyediakan mekanisme hukum untuk mengajukan perlawanan (challenge) atau hak ingkar terhadap arbitrer tersebut. Namun, perlu menjadi catatan bahwa sebuah perlawanan (challenge) atau hak ingkar yang diajukan kepada seorang arbitrer bisa menghambat proses pembentukan majelis arbitrase, yang mana hal tersebut dapat menghambat proses penyelesaian sengketa arbitrase itu sendiri.
Dengan terhambatnya proses penyelesaian sengketa, akan menimbulkan biaya tambahan bagi para pihak. Untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interests), beberapa peraturan dan prosedur dari lembaga arbitrase baik nasional maupun internasional serta hukum nasional dari beberapa negara telah mengatur bahwa sejak awal calon arbitrer harus mengungkapkan (disclosure) fakta atau keadaan yang dapat menimbulkan keraguan mengenai imparsialitas dan independensi dari calon arbitrer tersebut.
Berkaitan dengan fakta atau keadaan tersebut, IBA Guidelines on Conflict of Interest in International Arbitration sebagai pedoman telah menyediakan referensi mengenai keadaankeadaan apa saja yang harus diungkapkan untuk menghindari ada konflik kepentingan (conflict of interests) antara arbitrer dan para pihak. Pedoman ini tentu harus dijadikan acuan oleh para calon arbitrer saat menerima penunjukan.
Selain itu, apabila seorang calon arbitrer melihat ada potensi conflict of interest dengan salah satu pihak, akan lebih bijaksana untuk menolak penunjukan tersebut daripada menerimanya. Namun, terkadang hak ingkar (challenge) sebagai mekanisme untuk menghindari ada conflict of interest justru terkadang dijadikan upaya oleh trouble maker- lawyer yang tidak percaya kepada proses arbitrase perdagangan untuk menghambat proses arbitrase.
Challenge seperti ini harus ditolak demi kepentingan manajemen kasus yang efisien. Poin berikutnya adalah terkait tidak tersedianya waktu arbitrer yang telah ditunjuk untuk menjalankan proses arbitrase. Karena berasal dari sektor swasta, arbitrer mungkin terlibat dalam kasus atau masalah komersial mereka sendiri.
Seorang arbitrer sebaiknya hanya menerima penunjukan arbitrer terhadap suatu proses arbitrase jika dirinya yakin bahwa ia memiliki waktu yang cukup untuk menangani secara menyeluruh semua pekerjaan dan pertemuan yang akan ada dalam proses arbitrase. Dengan kata lain, seorang arbitrer harus mempertimbangkan perhitungan waktu yang realistis dalam menerima penunjukan.
Terkait penolakan penunjukan tersebut, calon arbitrer tidak perlu khawatir mendapatkan reputasi buruk. Dirinya dapat menjelaskan secara profesional alasan penolakan dan menunjukkan bahwa dirinya akan memiliki waktu untuk kasus selanjutnya. Para pihak dalam sengketa harus mempertimbangkan hal ini dalam memilih seorang arbitrer. Selainhaltersebutdiatas, jika calon arbitrer tetap menerima penunjukan, masalah selanjutnya adalah pemilihan arbitrer ketiga atau ketua majelis.
Ketua majelis adalah seorang arbitrer yang akan memimpin majelis arbitrase serta proses (sidang) arbitrase, dan sampai batas tertentu memiliki wewenang penuh dalam membuat keputusan tertentu. Karena itu, pemilihan ketua majelis sangat penting dalam arbitrase. Dalam hal ini, ketua majelis harus memiliki reputasi yang baik, bijak, kooperatif, berpengetahuan luas, berpengalaman puluhan tahun dalam bidang (profesi) tertentu, dan ahli dalam arbitrase.
Jika ketua majelis seperti itu berhasil diangkat oleh para koarbitrer, ada kemungkinan besar bahwa proses arbitrase akan berjalan lancar sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. Sebaliknya, jika ketua majelis yang ditunjuk tidak memiliki ciri-ciri seperti itu, proses arbitrase memiliki risiko terhambat, yang bisa menyebabkan penundaan dan biaya tambahan bagi para pihak.
Memasuki Proses Arbitrase
Salah satu keuntungan dari proses arbitrase dibandingkan dengan litigasi di pengadilan adalah majelis arbitrase dapat membentuk prosedur khusus atas suatu kasus tertentu berupa sebuah kerangka proses arbitrase. Berdasarkan ICC Rules 2012, kerangka proses arbitrase terdiri ataskerangkaacuan, rapat manajemen kasus, dan jadwal prosedural.
Setelah menentukan kerangka prosedur arbitrase, majelisarbitraseselanjutnya dihadapkan dengan proses pelaksanaan arbitrase. Kerangka prosedur arbitrase yang baikakan sangat memudahkan implementasi proses pelaksanaan arbitrase ke depan. Selanjutnya dalam proses arbitrase, sidang juga merupakan bagian yang penting dari proses arbitrase.
Dalam kasus tertentu, jika tahapan dalam persidangan tidak diatur dengan benar seperti penjadwalan sidang dan waktu membuat pembelaan para pihak, akan mengakibatkan penundaan dan biaya tambahan bagi para pihak. Karena itu, penting untuk melakukan manajemen kasus yang baik untuk mencapai suatu arbitrase yang efisien. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam sidang.
Yang pertama adalah menghindari pernyataan pembuka (opening statement) atau pernyataan penutup (closing statement) dan pembelaan yang panjang dan berbelit-belit. Sebuah pernyataan pembuka adalah kesempatan untuk membuat ringkasan dari sebuah kasus dan dapat membantu pemahaman majelis arbitrase pada isu-isu kunci. Semakin panjang pernyataan tersebut, semakin besar kemungkinan untuk mengadakan sidang lanjutan.
Selanjutnya sehubungan dengan pemeriksaan saksi dan ahli selama persidangan, majelis arbitrase harus mempertimbangkan apa yang terbaik, dalam kasus tertentu, untuk mengungkapkan fakta-fakta yang benar dan penilaian yang paling meyakinkan. Lebih baik mendengar saksi dan ahli yang pernyataan dan laporan tertulisnya telah disampaikan di muka.
Untuk menghindari pengulangan dalam bertanya di persidangan, majelis arbitrase diharapkan telah memeriksa pernyataan dan laporan tertulis saksi dan ahli tersebut sebelum sidang. Majelis arbitrase juga harus merekomendasikan kepada para pihak mengenai pembatasan pemeriksaan lisan terhadap para ahli karena seringkali pendapat hukum tertulis yang diajukan para ahli dapat sangat membantu proses arbitrase.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak mudah memilih arbitrer yang memahami arbitrase secara mendalam. Ketidakmampuan arbitrer terkadang mengakibatkan proses arbitrase menjadi panjang dan memakan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, pemilihan arbitrer menjadi suatu hal yang penting dalam proses arbitrase sehingga menghasilkan putusan yang memuaskan para pihak (win-win solution) dengan proses efektif dan biaya yang tidak mahal.
Ketua ICC Indonesia Bidang Arbitrase dan Arbitrer ICC,
BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan SCIA.
Saat ini pelaku usaha lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa bisnis melalui arbitrase daripada litigasi di pengadilan karena arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat win-win solution, confidential, dan putusan yang final and binding.
Karena itu, dengan ada sifat win-win solution dan confidential yang melekat pada arbitrase, pelaku usaha yang bersengketa dapat tetap menjaga hubungan baik dan tidak ada pihak yang dipermalukan dalam sengketa arbitrase tersebut. Selain itu, dengan ada sifat final dan binding pada putusan arbitrase, pelaku usaha juga tidak perlu lagi menunggu proses panjang untuk mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap karena putusan arbitrase tersebut tidak dapat diajukan banding karena putusan arbitrase adalah final, mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 60 UU Arbitrase).
Selain itu, pada arbitrase melekat juga prinsip kebebasan para pihak (party autonomy), di mana berdasarkan kesepakatan para pihak bebas untuk memilih bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase, tempat arbitrase, jumlah arbitrer, jumlah pengajuan saksi dan/atau ahli dan jangka waktu proses arbitrase itu sendiri, asalkan kesepakatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Karena itu, kebebasan para pihak ini menyebabkan arbitrase lebih efisien karena menghemat waktu dalam proses penyelesaian sengketa dan jelas menghemat biaya juga. Kendati begitu, masih terdapat pendapat dari beberapa pihak yang menyatakan bahwa proses arbitrase memakan waktu dan terlalu mahal.
Ini mungkin saja terjadi jika proses arbitrase tidak dikelola dengan baik oleh majelis arbitrase dan para pihak itu sendiri. Terkadang kebebasan yang dimiliki para pihak dalam arbitrase (party autonomy) mengakibatkan proses arbitrase menjadi lambat. Terlebih, apabila para pihak itu sendiri tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan perkara melalui arbitrase dengan efisien.
Karena itu, proses arbitrase yang cepat dan hemat biaya kemungkinan besar akan sulit untuk dicapai. Di sisi lain, majelis arbitrase adalah orang-orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan proses arbitrase. Jika majelis arbitrase tidak proaktif dan terampil dalam mengelola perkaraarbitrase, prosesarbitrase bisa menjadi panjang dan mahal. Karena itu, majelis arbitrase memiliki peran penting dalam mencapai suatu proses arbitrase yang cepat dan hemat biaya.
Penunjukan Arbitrer
Dalam arbitrase, para pihak bebas memilih arbitrernya berdasarkan integritas, pengetahuan, keahlian, dan reputasinya. Ini berbeda dengan litigasi di pengadilan di mana hakim tidak dapat dipilih oleh para pihak yang beperkara. Namun, arbitrer tidak seperti hakim di pengadilan, arbitrer dapat berasal dari sektor swasta seperti firma hukum (law firm), firma teknik, dan perusahaan.
Hal ini mengakibatkan arbitrer memiliki dua potensi masalah yang mungkin timbul yaitu; (1) konflik kepentingan (conflict of interests) antara arbitrer dan pihak yang bersengketa karena keterlibatan sebelumnya atau saat ini; dan (2) tidak tersedianya waktu yang dimiliki arbitrer untuk melakukan tugasnya dengan benar.
Karena arbitrer berasal dari sektor swasta, ada kemungkinan bahwa arbitrer yang ditunjuk memiliki keterlibatan atau koneksi dengan salah satu pihak baik sebelum atau saat penunjukan. Ini dapat menyebabkan munculnya konflik kepentingan (conflict of interests) karena imparsialitas dan independensi arbitrer menjadi diragukan.
Apabila ada keraguan terhadap imparsialitas dan independensi seorang arbitrer, UU Arbitrase menyediakan mekanisme hukum untuk mengajukan perlawanan (challenge) atau hak ingkar terhadap arbitrer tersebut. Namun, perlu menjadi catatan bahwa sebuah perlawanan (challenge) atau hak ingkar yang diajukan kepada seorang arbitrer bisa menghambat proses pembentukan majelis arbitrase, yang mana hal tersebut dapat menghambat proses penyelesaian sengketa arbitrase itu sendiri.
Dengan terhambatnya proses penyelesaian sengketa, akan menimbulkan biaya tambahan bagi para pihak. Untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interests), beberapa peraturan dan prosedur dari lembaga arbitrase baik nasional maupun internasional serta hukum nasional dari beberapa negara telah mengatur bahwa sejak awal calon arbitrer harus mengungkapkan (disclosure) fakta atau keadaan yang dapat menimbulkan keraguan mengenai imparsialitas dan independensi dari calon arbitrer tersebut.
Berkaitan dengan fakta atau keadaan tersebut, IBA Guidelines on Conflict of Interest in International Arbitration sebagai pedoman telah menyediakan referensi mengenai keadaankeadaan apa saja yang harus diungkapkan untuk menghindari ada konflik kepentingan (conflict of interests) antara arbitrer dan para pihak. Pedoman ini tentu harus dijadikan acuan oleh para calon arbitrer saat menerima penunjukan.
Selain itu, apabila seorang calon arbitrer melihat ada potensi conflict of interest dengan salah satu pihak, akan lebih bijaksana untuk menolak penunjukan tersebut daripada menerimanya. Namun, terkadang hak ingkar (challenge) sebagai mekanisme untuk menghindari ada conflict of interest justru terkadang dijadikan upaya oleh trouble maker- lawyer yang tidak percaya kepada proses arbitrase perdagangan untuk menghambat proses arbitrase.
Challenge seperti ini harus ditolak demi kepentingan manajemen kasus yang efisien. Poin berikutnya adalah terkait tidak tersedianya waktu arbitrer yang telah ditunjuk untuk menjalankan proses arbitrase. Karena berasal dari sektor swasta, arbitrer mungkin terlibat dalam kasus atau masalah komersial mereka sendiri.
Seorang arbitrer sebaiknya hanya menerima penunjukan arbitrer terhadap suatu proses arbitrase jika dirinya yakin bahwa ia memiliki waktu yang cukup untuk menangani secara menyeluruh semua pekerjaan dan pertemuan yang akan ada dalam proses arbitrase. Dengan kata lain, seorang arbitrer harus mempertimbangkan perhitungan waktu yang realistis dalam menerima penunjukan.
Terkait penolakan penunjukan tersebut, calon arbitrer tidak perlu khawatir mendapatkan reputasi buruk. Dirinya dapat menjelaskan secara profesional alasan penolakan dan menunjukkan bahwa dirinya akan memiliki waktu untuk kasus selanjutnya. Para pihak dalam sengketa harus mempertimbangkan hal ini dalam memilih seorang arbitrer. Selainhaltersebutdiatas, jika calon arbitrer tetap menerima penunjukan, masalah selanjutnya adalah pemilihan arbitrer ketiga atau ketua majelis.
Ketua majelis adalah seorang arbitrer yang akan memimpin majelis arbitrase serta proses (sidang) arbitrase, dan sampai batas tertentu memiliki wewenang penuh dalam membuat keputusan tertentu. Karena itu, pemilihan ketua majelis sangat penting dalam arbitrase. Dalam hal ini, ketua majelis harus memiliki reputasi yang baik, bijak, kooperatif, berpengetahuan luas, berpengalaman puluhan tahun dalam bidang (profesi) tertentu, dan ahli dalam arbitrase.
Jika ketua majelis seperti itu berhasil diangkat oleh para koarbitrer, ada kemungkinan besar bahwa proses arbitrase akan berjalan lancar sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. Sebaliknya, jika ketua majelis yang ditunjuk tidak memiliki ciri-ciri seperti itu, proses arbitrase memiliki risiko terhambat, yang bisa menyebabkan penundaan dan biaya tambahan bagi para pihak.
Memasuki Proses Arbitrase
Salah satu keuntungan dari proses arbitrase dibandingkan dengan litigasi di pengadilan adalah majelis arbitrase dapat membentuk prosedur khusus atas suatu kasus tertentu berupa sebuah kerangka proses arbitrase. Berdasarkan ICC Rules 2012, kerangka proses arbitrase terdiri ataskerangkaacuan, rapat manajemen kasus, dan jadwal prosedural.
Setelah menentukan kerangka prosedur arbitrase, majelisarbitraseselanjutnya dihadapkan dengan proses pelaksanaan arbitrase. Kerangka prosedur arbitrase yang baikakan sangat memudahkan implementasi proses pelaksanaan arbitrase ke depan. Selanjutnya dalam proses arbitrase, sidang juga merupakan bagian yang penting dari proses arbitrase.
Dalam kasus tertentu, jika tahapan dalam persidangan tidak diatur dengan benar seperti penjadwalan sidang dan waktu membuat pembelaan para pihak, akan mengakibatkan penundaan dan biaya tambahan bagi para pihak. Karena itu, penting untuk melakukan manajemen kasus yang baik untuk mencapai suatu arbitrase yang efisien. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam sidang.
Yang pertama adalah menghindari pernyataan pembuka (opening statement) atau pernyataan penutup (closing statement) dan pembelaan yang panjang dan berbelit-belit. Sebuah pernyataan pembuka adalah kesempatan untuk membuat ringkasan dari sebuah kasus dan dapat membantu pemahaman majelis arbitrase pada isu-isu kunci. Semakin panjang pernyataan tersebut, semakin besar kemungkinan untuk mengadakan sidang lanjutan.
Selanjutnya sehubungan dengan pemeriksaan saksi dan ahli selama persidangan, majelis arbitrase harus mempertimbangkan apa yang terbaik, dalam kasus tertentu, untuk mengungkapkan fakta-fakta yang benar dan penilaian yang paling meyakinkan. Lebih baik mendengar saksi dan ahli yang pernyataan dan laporan tertulisnya telah disampaikan di muka.
Untuk menghindari pengulangan dalam bertanya di persidangan, majelis arbitrase diharapkan telah memeriksa pernyataan dan laporan tertulis saksi dan ahli tersebut sebelum sidang. Majelis arbitrase juga harus merekomendasikan kepada para pihak mengenai pembatasan pemeriksaan lisan terhadap para ahli karena seringkali pendapat hukum tertulis yang diajukan para ahli dapat sangat membantu proses arbitrase.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak mudah memilih arbitrer yang memahami arbitrase secara mendalam. Ketidakmampuan arbitrer terkadang mengakibatkan proses arbitrase menjadi panjang dan memakan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, pemilihan arbitrer menjadi suatu hal yang penting dalam proses arbitrase sehingga menghasilkan putusan yang memuaskan para pihak (win-win solution) dengan proses efektif dan biaya yang tidak mahal.
(bbg)