Indonesia Move On
A
A
A
ACHMAD M AKUNG
Dosen Fakultas Psikologi,
Universitas Diponegoro Semarang
Sekitar seratus hari hampir tertempuhi oleh presiden terpilih untuk mengemban amanah konstitusi. Meski mungkin masih terlalu dini, perlahan rakyat telah bisa menilai kinerja presiden beserta kabinet kerjanya.
Rakyat mulai bisa menimbang, apakah harapan pada presiden yang konon merakyat itu bisa terwujud, atau sekadar eikasia berujung hampa. Sekadar berkilas balik, pemilu tempo hari adalah pemilu paling pelik sepanjang sejarah Indonesia. Tidak sekadar soal teknisnya yang rumit, berliku, dan tidak sederhana, tapi juga perseteruan antar pendukung yang mengharu biru jagat psikososio politik masyarakat kita.
Baru sekali dalam sejarah Indonesia, pemenang pemilu ditetapkan oleh MK tersebab gugatan kecurangan pemilu secara terstruktur, masif, dan sistematis. Meski akhirnya MK menolak gugatan tersebut, kuatnya indikasi atas dugaan kecurangan, serta tipisnya selisih suara, menyimpan bara yang sewaktu-waktu berpotensi menaikkan tensi politik masyarakat.
Kategorisasi
Pemilu yang hanya diikuti oleh dua calon memang memolarisasikan masyarakat menjadi dua kutub pendukung capres. Polarisasi itu mengotakkan masyarakat kita dalam dua kategorisasi besar, pendukung Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta, KIH atau KMP. Jika bukan kelompok kami (ingroup), berarti kelompok mereka (outgroup ). Masing-masing kategori kelompok ini memiliki apa disebut Henry Tajfel (1972) sebagai identitas sosial (social identity ).
Mereka terikat dalam sebuah ikatan emosional ke-kita-an (we-nes s) dengan standar nilai dan norma kelompok. Masing-masing pribadi meyakini, memikirkan, merasakan, dan berperilaku sebagaimana nilai kolektif yang dipegang dalam kelompok sosial rujukannya tersebut. Asyiknya, ke dua kutub besar ini meyakini bahwa kelompok dan jagoan yang mereka dukung adalah yang terbaik dan paling benar.
Lantas, berlakulah kecenderungan psikologis untuk melakukan ingroup favoritism danout group derogation. Mengagungkan kelompoknya sendiri dan merendahkan kelompok outgroup-nya. Dalam konteks inilah, kita bisa memahami ketegangan yang tempo hari kita saksikan selama proses pemilu. Saling bully, caci, maki antarpendukung capres menjadi lumrah terjadi di tengah masyarakat kita.
Mulai warung kopi, pasar, terminal, hingga di obrolan sehari-hari. Yang paling parah terjadi perang siber di lini masa dunia maya, termasuk di media sosial. Pemilu memang telah berlalu, namun ternyata ”perseteruan” di tengah masyarakat kita belum juga usai. Namun, kali ini sedikit mengalami pergeseran. Seusai presiden baru dilantik, sebagian pendukung presiden yang kalah bergerak menjadi ”oposan” yang begitu rajin mencari celah, mengkritisi kebijakan presiden terpilih.
Berbekal ketidak percayaan, kelompok ini sangat kritis menagih realisasi janji kampanye yang berjibun itu. Janji kebijakan pembentukan kabinet yang ramping, politik bebas balas jasa dan utang budi, mempertahankan subsidi dan tidak menaikkan harga BBM, sungguh ditunggu realisasinya. Ketika kebijakan yang diambil ternyata meleset, bagi sebagian kalangan, situasi ini menjadi semacam amunisi untuk mengkritisi dan menyerang pemerintah.
Dunia maya menjadi salah satu kanal untuk menyalurkan kegundahan mereka. Di pihak lain, loyalis presiden terpilih, sembari harapharap cemas, selalu habis-habisan membela kebijakan yang diambil pemerintah, mencari dalil pembenar dan rasionalisasi bagi kebijakan idolanya.
Tren kurusetra politik dunia maya nampaknya memang mulai berubah. Para pendukung presiden terpilih, terlihat lebih banyak tiarap, tidak seintens dahulu seperti ketika masa-masa kampanye pemilu yang begitu agresif, masif, dan sistematis. Tampaknya mereka mulai keteteran, speechless , ketika janjijanji kampanye ternyata tak kunjung direalisasikan, bahkan dikhianati oleh pemerintah yang mereka pilih.
Saatnya Move On
Apabila kita berkenan jujur memaknai, sesungguhnya segenap realitas perseteruan ini sangat melelahkan. Padahal, bangsa ini harus selalu memperkuat diri melawan ”perang asimetris” yang dilancarkan kapitalis asing. Sungguh, tidak ada jalan lain melainkan kita harus merapatkan barisan, bersinergi dan membisik bangun kekuatan, untuk mempertahankan eksistensi bangsa ini.
Kita mesti bergegas dan bersegera move on, beranjak dari situasi fatigue-anomik, dengan mengusaikan segenap perseteruan yang melelahkan ini. Jika kita terus berseteru, kita akan terpecah, lalu lemah sehingga mudah untuk kalah dan dijajah. Tidak lagi dengan kekuatan senjata, namun dengan strategi perang asimetris yang terkadang halus dan melenakan.
Para psikolog sosial mencoba menawarkan beberapa formula untuk membantu kita mengakhiri konflik tersebab terbelahnya masyarakat. Beberapa hal terpenting yang dapat kita dilakukan adalah melakukan dekategorisasi, melepaskan sekat kategoris dan melakukan rekategorisasi atau membuat kategorisasi baru.
Muaranya adalah terciptanya identitas sosial baru yang kukuh, yang dapat melampaui identitas kelompok, agar tercipta identitas sosial yang lebih inklusif . Sekat kategoris bahwa kita adalah pendukung Jokowi atau Prabowo, KIH atau KMP, sudah saatnya kita lepaskan, kita ganti dengan kategorisasi baru bernama rakyat Indonesia.
Hilangnya sekat kategori ini diharapkan akan menanggalkan rintangan psikologis untuk mengkritisi kebijakan pemerintah terpilih jika menyimpang dari jalan kebenaran berbangsa dan bernegara. Tentu saja dibutuhkan kebesaran jiwa, karena biasanya terdapat kendala psikologis bernama gengsi, kebanggaan sebagai pengikut, terkadang juga muncul rasa malu, gengsi, dan harga diri yang terusik tersebab rasa khilaf dalam melangkah, atau salah dalam memilih.
Kerelaan hati untuk kembali dalam identitas kekitaan (we-ness ) di rumah besar bernama Indonesia, adalah jawaban untuk mereduksi konflik dan mengokohkan jati diri bangsa. Pendukung Jokowi yang telah ikhlas, move on , justru akan keluar dari lingkar kekuasaan yang melenakan.
Mereka memilih memasang jarak dan berdiri tegak terhormat menjadi kelompok yang paling awal, paling kritis, dan paling keras menegur idolanya, jika kebijakan yang diambil mengkhianati rakyat. Bukan sebaliknya, nunut mulyo, mendompleng menikmati kekuasaan. Membabi buta, mematikan nalar, menumpulkan nurani, membela, mendewakan, dan menganggap pemimpin pujaannya tidak pernah berbuat salah (can do no wrong).
Sikap yang menunjukkan kejumudan berpikir dan kekonyolan politik ini hanya akan membidani kelahiran tirani kuasa absolut tanpa kontrol, yang gemar melakukan represi dan kedustaan terhadap rakyatnya sendiri. Sebaliknya, pendukung Prabowo yang telah move on , pantang mencari-cari kesalahan pemerintah jika memang tidak sesat langkah.
Mereka semestinya justru berada di garda terdepan dalam mendukung dan membela setiap kebijakan yang memenangkan rakyat. Jikapun tersalah, mereka akan menegur dengan mesra, menyentil dengan cinta, mengingatkan tentang konstitusi, serta mendoakan agar amanah agar kebaikan tercurah untuk semua. Bersikap kritis bukan karena benci Jokowi, melainkan karena peduli, tersebab rasa cintanya yang tulus pada negeri ini.
Pun demikian halnya dengan pemerintah. Saatnya pemerintah move on , beranjak dari euforia kemenangan pemilu yang telah lalu itu. Saatnya membuktikan janji mengayomi, ”momong” dan melayani hampir setengah miliar penduduk Indonesia. Bukan sekadar pendukungnya semata, namun juga pendukung mantan capres yang lain, bahkan termasuk mereka yang dalam pemilu tempo hari memilih untuk tidak memilih.
Kebijakan yang diambil harus menyejahterakan seluruh rakyat, bukan sekadar membalas budi partai pendukung, relawan, media propaganda, maupun konsorsium investor politik penyandang dana pemenangan pemilu. Namun jika pemerintah memilih untuk mengalahkan rakyat, mengkhianati janji politik semasa kampanye, dan membangun tradisi politik purba di atas kebohongan yang dusta, sesungguhnya kekuasaan itu adalah fana.
Puja-puji bisa saja berubah menjadi caci maki, sanjungan bisa berbuah hujatan, trust bisa bergeser menjadi distrust, suka bisa menjadi duka, cinta bisa berujung benci. Terlebih ketika ekspektasi setinggi langit itu terempas di cadas realitas kehidupan yang kian berat disangga rakyat. Senyampang masih pagi, saatnya segenap anak bangsa, move on dari masa lalu, bersinergi, membisik bangun kekuatan yang memenangkan rakyat, untuk bersama menjaga negeri indah bernama Indonesia ini. Indonesia, mari kita move on. Waalahualam.
Dosen Fakultas Psikologi,
Universitas Diponegoro Semarang
Sekitar seratus hari hampir tertempuhi oleh presiden terpilih untuk mengemban amanah konstitusi. Meski mungkin masih terlalu dini, perlahan rakyat telah bisa menilai kinerja presiden beserta kabinet kerjanya.
Rakyat mulai bisa menimbang, apakah harapan pada presiden yang konon merakyat itu bisa terwujud, atau sekadar eikasia berujung hampa. Sekadar berkilas balik, pemilu tempo hari adalah pemilu paling pelik sepanjang sejarah Indonesia. Tidak sekadar soal teknisnya yang rumit, berliku, dan tidak sederhana, tapi juga perseteruan antar pendukung yang mengharu biru jagat psikososio politik masyarakat kita.
Baru sekali dalam sejarah Indonesia, pemenang pemilu ditetapkan oleh MK tersebab gugatan kecurangan pemilu secara terstruktur, masif, dan sistematis. Meski akhirnya MK menolak gugatan tersebut, kuatnya indikasi atas dugaan kecurangan, serta tipisnya selisih suara, menyimpan bara yang sewaktu-waktu berpotensi menaikkan tensi politik masyarakat.
Kategorisasi
Pemilu yang hanya diikuti oleh dua calon memang memolarisasikan masyarakat menjadi dua kutub pendukung capres. Polarisasi itu mengotakkan masyarakat kita dalam dua kategorisasi besar, pendukung Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta, KIH atau KMP. Jika bukan kelompok kami (ingroup), berarti kelompok mereka (outgroup ). Masing-masing kategori kelompok ini memiliki apa disebut Henry Tajfel (1972) sebagai identitas sosial (social identity ).
Mereka terikat dalam sebuah ikatan emosional ke-kita-an (we-nes s) dengan standar nilai dan norma kelompok. Masing-masing pribadi meyakini, memikirkan, merasakan, dan berperilaku sebagaimana nilai kolektif yang dipegang dalam kelompok sosial rujukannya tersebut. Asyiknya, ke dua kutub besar ini meyakini bahwa kelompok dan jagoan yang mereka dukung adalah yang terbaik dan paling benar.
Lantas, berlakulah kecenderungan psikologis untuk melakukan ingroup favoritism danout group derogation. Mengagungkan kelompoknya sendiri dan merendahkan kelompok outgroup-nya. Dalam konteks inilah, kita bisa memahami ketegangan yang tempo hari kita saksikan selama proses pemilu. Saling bully, caci, maki antarpendukung capres menjadi lumrah terjadi di tengah masyarakat kita.
Mulai warung kopi, pasar, terminal, hingga di obrolan sehari-hari. Yang paling parah terjadi perang siber di lini masa dunia maya, termasuk di media sosial. Pemilu memang telah berlalu, namun ternyata ”perseteruan” di tengah masyarakat kita belum juga usai. Namun, kali ini sedikit mengalami pergeseran. Seusai presiden baru dilantik, sebagian pendukung presiden yang kalah bergerak menjadi ”oposan” yang begitu rajin mencari celah, mengkritisi kebijakan presiden terpilih.
Berbekal ketidak percayaan, kelompok ini sangat kritis menagih realisasi janji kampanye yang berjibun itu. Janji kebijakan pembentukan kabinet yang ramping, politik bebas balas jasa dan utang budi, mempertahankan subsidi dan tidak menaikkan harga BBM, sungguh ditunggu realisasinya. Ketika kebijakan yang diambil ternyata meleset, bagi sebagian kalangan, situasi ini menjadi semacam amunisi untuk mengkritisi dan menyerang pemerintah.
Dunia maya menjadi salah satu kanal untuk menyalurkan kegundahan mereka. Di pihak lain, loyalis presiden terpilih, sembari harapharap cemas, selalu habis-habisan membela kebijakan yang diambil pemerintah, mencari dalil pembenar dan rasionalisasi bagi kebijakan idolanya.
Tren kurusetra politik dunia maya nampaknya memang mulai berubah. Para pendukung presiden terpilih, terlihat lebih banyak tiarap, tidak seintens dahulu seperti ketika masa-masa kampanye pemilu yang begitu agresif, masif, dan sistematis. Tampaknya mereka mulai keteteran, speechless , ketika janjijanji kampanye ternyata tak kunjung direalisasikan, bahkan dikhianati oleh pemerintah yang mereka pilih.
Saatnya Move On
Apabila kita berkenan jujur memaknai, sesungguhnya segenap realitas perseteruan ini sangat melelahkan. Padahal, bangsa ini harus selalu memperkuat diri melawan ”perang asimetris” yang dilancarkan kapitalis asing. Sungguh, tidak ada jalan lain melainkan kita harus merapatkan barisan, bersinergi dan membisik bangun kekuatan, untuk mempertahankan eksistensi bangsa ini.
Kita mesti bergegas dan bersegera move on, beranjak dari situasi fatigue-anomik, dengan mengusaikan segenap perseteruan yang melelahkan ini. Jika kita terus berseteru, kita akan terpecah, lalu lemah sehingga mudah untuk kalah dan dijajah. Tidak lagi dengan kekuatan senjata, namun dengan strategi perang asimetris yang terkadang halus dan melenakan.
Para psikolog sosial mencoba menawarkan beberapa formula untuk membantu kita mengakhiri konflik tersebab terbelahnya masyarakat. Beberapa hal terpenting yang dapat kita dilakukan adalah melakukan dekategorisasi, melepaskan sekat kategoris dan melakukan rekategorisasi atau membuat kategorisasi baru.
Muaranya adalah terciptanya identitas sosial baru yang kukuh, yang dapat melampaui identitas kelompok, agar tercipta identitas sosial yang lebih inklusif . Sekat kategoris bahwa kita adalah pendukung Jokowi atau Prabowo, KIH atau KMP, sudah saatnya kita lepaskan, kita ganti dengan kategorisasi baru bernama rakyat Indonesia.
Hilangnya sekat kategori ini diharapkan akan menanggalkan rintangan psikologis untuk mengkritisi kebijakan pemerintah terpilih jika menyimpang dari jalan kebenaran berbangsa dan bernegara. Tentu saja dibutuhkan kebesaran jiwa, karena biasanya terdapat kendala psikologis bernama gengsi, kebanggaan sebagai pengikut, terkadang juga muncul rasa malu, gengsi, dan harga diri yang terusik tersebab rasa khilaf dalam melangkah, atau salah dalam memilih.
Kerelaan hati untuk kembali dalam identitas kekitaan (we-ness ) di rumah besar bernama Indonesia, adalah jawaban untuk mereduksi konflik dan mengokohkan jati diri bangsa. Pendukung Jokowi yang telah ikhlas, move on , justru akan keluar dari lingkar kekuasaan yang melenakan.
Mereka memilih memasang jarak dan berdiri tegak terhormat menjadi kelompok yang paling awal, paling kritis, dan paling keras menegur idolanya, jika kebijakan yang diambil mengkhianati rakyat. Bukan sebaliknya, nunut mulyo, mendompleng menikmati kekuasaan. Membabi buta, mematikan nalar, menumpulkan nurani, membela, mendewakan, dan menganggap pemimpin pujaannya tidak pernah berbuat salah (can do no wrong).
Sikap yang menunjukkan kejumudan berpikir dan kekonyolan politik ini hanya akan membidani kelahiran tirani kuasa absolut tanpa kontrol, yang gemar melakukan represi dan kedustaan terhadap rakyatnya sendiri. Sebaliknya, pendukung Prabowo yang telah move on , pantang mencari-cari kesalahan pemerintah jika memang tidak sesat langkah.
Mereka semestinya justru berada di garda terdepan dalam mendukung dan membela setiap kebijakan yang memenangkan rakyat. Jikapun tersalah, mereka akan menegur dengan mesra, menyentil dengan cinta, mengingatkan tentang konstitusi, serta mendoakan agar amanah agar kebaikan tercurah untuk semua. Bersikap kritis bukan karena benci Jokowi, melainkan karena peduli, tersebab rasa cintanya yang tulus pada negeri ini.
Pun demikian halnya dengan pemerintah. Saatnya pemerintah move on , beranjak dari euforia kemenangan pemilu yang telah lalu itu. Saatnya membuktikan janji mengayomi, ”momong” dan melayani hampir setengah miliar penduduk Indonesia. Bukan sekadar pendukungnya semata, namun juga pendukung mantan capres yang lain, bahkan termasuk mereka yang dalam pemilu tempo hari memilih untuk tidak memilih.
Kebijakan yang diambil harus menyejahterakan seluruh rakyat, bukan sekadar membalas budi partai pendukung, relawan, media propaganda, maupun konsorsium investor politik penyandang dana pemenangan pemilu. Namun jika pemerintah memilih untuk mengalahkan rakyat, mengkhianati janji politik semasa kampanye, dan membangun tradisi politik purba di atas kebohongan yang dusta, sesungguhnya kekuasaan itu adalah fana.
Puja-puji bisa saja berubah menjadi caci maki, sanjungan bisa berbuah hujatan, trust bisa bergeser menjadi distrust, suka bisa menjadi duka, cinta bisa berujung benci. Terlebih ketika ekspektasi setinggi langit itu terempas di cadas realitas kehidupan yang kian berat disangga rakyat. Senyampang masih pagi, saatnya segenap anak bangsa, move on dari masa lalu, bersinergi, membisik bangun kekuatan yang memenangkan rakyat, untuk bersama menjaga negeri indah bernama Indonesia ini. Indonesia, mari kita move on. Waalahualam.
(bbg)