Fokus Optimalisasi Pajak

Selasa, 20 Januari 2015 - 12:31 WIB
Fokus Optimalisasi Pajak
Fokus Optimalisasi Pajak
A A A
Proses pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015 yang sedang bergulir di markas wakil rakyat Senayan, kini, dibayangi kekhawatiran akan penurunan penerimaan anggaran menyusul terus melorotnya harga minyak mentah dunia.

Usulan semula asumsi harga minyak mentah dunia sebesar USD105 per barel dikoreksi menjadi sekitar USD70 per barel. Apabila dalam perjalanan tahun anggaran harga minyak mentah dunia makin rendah, dipastikan sangat berisiko terhadap penerimaan anggaran. Mengatasi melorotnya harga minyak mentah dunia memang di luar batas kemampuan pemerintah di satu sisi.

Namun di sisi lain pemerintah tetap bertekad menyiapkan segala pembiayaan bagi seluruh program yang sudah dicanangkan. Selain memaksimalkan dana hasil pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM), pemerintah memfokuskan upaya optimalisasi penerimaan pajak.

Meminjam istilah Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang PS Brodjonegoro untuk menggenjot penerimaan pajak, “pemerintah perlu extra-effort menangani pajak”. Dalam RAPBN 2015 target penerimaan pajak dipatok naik Rp104,6 triliun dari target APBN 2015. Karena itu, Menkeu Bambang PS Brodjonegoro berharap dukungan penuh mengingat penerimaan pajak merupakan sumber pembiayaan terbesar dalam anggaran negara.

“Sudah menjadi komitmen, maka pajak harus dikejar,” tegas Bambang seusai rapat dengan Badan Anggaran DPR RI, kemarin, yang dihadiri enam anggota Kabinet Kerja dan Gubernur Bank Indonesia (BI). Sejumlah senjata untuk memaksimalkan pemungutan pajak telah disiapkan, mulai dari perbaikan birokrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, peningkatan penerapan e-tax invoice dalam mencegah terjadinya kebocoran dan klaim restitusi palsu, hingga meminimalisasi transfer pricing serta mengintensifkan PPh, PPN dan PPnBM.

Kita berharap, senjata yang telah disiapkan pemerintah itu semoga bisa berfungsi efektif. Masalahnya, realisasi penerimaan pajak semakin sulit memenuhi target yang dipatok pemerintah. Tengok saja, realisasi penerimaan pajak pada 2014 mencetak rekor terendah sepanjang 25 tahun belakangan ini.

Dalam APBN-P 2014, pemerintah mematok penerimaan pajak sekitar Rp1.246,1 triliun, tetapi realisasinya hanya sebesar Rp1.143,3 triliun atau 91,75% dari target yang ditetapkan. Ketidakmampuan otoritas pajak mengisi pundi APBN dengan sempurna adalah sebuah indikator adanya persoalan sistem perpajakan yang akut. Mampukah senjata pemerintah berfungsi maksimal dan efektif?

Karena itu, proses pembahasan RAPBN-P 2015 yang sudah bergulir menandai awal pekan ini, hendaknya pihak yang terlibat bisa lebih realistis dalam merumuskan asumsi makroekonomi dan kemampuan penerimaan pajak. Asumsi makro ekonomi yang diusulkan pemerintah meliputi pertumbuhan ekonomi sekitar 5,8%, laju tingkat inflasi sekitar5%,

suku bunga surat perbendaharaan negara (SPN) untuk3bulan sebesar 6,2&, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp12.200 per USD, harga minyak Indonesia (ICP) sekitar USD70 per barel, produksi siap jual (lifting) minyak sebanyak 849.000 barel per hari, lifting gas setara 1,17 barel setara minyak per hari.

Dalam RAPBN-P 2015, pemerintah telah menurunkan target penerimaan anggaran menjadi Rp1.765,6 triliun dari Rp1.793,6 triliun sebagaimana ditetapkan pada APBN 2015 atau terjadi penurunan sekitar 1,5%. Perinciannya terdiri atas pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas (migas) sebesar Rp50,9 triliun, pajak non migas sebesar Rp1.244,7 triliun, kepabeanan dan cukai sekitar Rp188,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp281,1 triliun.

Jadi total anggaran tercatat sebesar Rp1.765,6 triliun. Sementara itu, penetapan angka rasio pajak (tax ratio) mengalami kenaikan sekitar 1,57% dari sebesar 12% pada tahun lalu menjadi sekitar 13,57% pada tahun ini. Kenaikan angka rasio pajak tersebut jujur diakui pemerintah karena faktor perbedaan perhitungan.

Dalam perhitungan rasio pajak yang baru itu telah dimasukkan sejumlah komponen, yakni penerimaan migas dan pertambangan mineral. Jadi, dua komponen baru rasio pajak itu, pemerintah mengklaim sebagai pajak hanya dalam bentuk lain.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3829 seconds (0.1#10.140)