Kasus BG: Persilangan Hukum Pidana & Tata Negara
A
A
A
GEDE PASEK SUARDIKA SH MH
Anggota DPD RI
Polemik dan tarik-menarik pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai kepala Polri akibat status tersangka yang disematkan KPK menjadi masalah yang pelik.
Pelik karena terjadi persilangan hukum pidana dan hukum tata negara dalam kasus tersebut. Belum lagi ada tambahan bumbu politik, rivalitas antarcalon kepala Polri, dan dugaan ada kekecewaan salah satu komisioner KPK karena gagal menjadi wakil presiden. Untuk bumbu-bumbu itu, tidak perlu dibahas karena lebih banyak rumor daripada faktanya.
Yang menarik justru mendudukkan kembali posisi hukum dari peristiwa tersebut. Membaca kasus ini tidak bisa hanya membaca di hilirnya setelah status tersangka ataupun hanya membaca proses ketatanegaraan soal prosedur pengangkatan kepala Polri di sisi lain. Mereka bersilang bahkan bisa berkonflik dalam dua ranah hukum tersebut. Penetapan tersangka korupsi kepada BG yang disampaikan langsung Ketua KPK Abraham Samad hanya selang sehari jelang fit and proper test.
Soal waktu tentu menjadi perdebatan antara politis dan yuridis murni. Namun, fakta yang terlihat adalah begitu. Apalagi kasus yang disangkakan terjadi 9-11 tahun silam. Uniknya lagi, dua alat bukti yang dikatakan sudah ada itu tanpa didahului dengan pemeriksaan satu orang saksi pun. Secara hukum acara pidana ini janggal.
Dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) saja, KPK selama ini masih melakukan pemeriksaan dulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Keanehan ini membuat dugaan- dugaan politis lebih kuat dari yuridis. Kalau dari sudut kewenangan, sebenarnya kewenanganmemang ada di KPK untuk menjadikansiapapun– terlebihpenegak hukum untuk dijadikan tersangka.
Namun, kewenangan itu tentu tidak berdiri sendiri karena ada kewajiban-kewajiban lain yang mengikutinya. Misalnya dalam proses peningkatan tahapan dalam hukum acara pidana menurut KUHAP, dari penyelidikan ke penyidikan dan dari penyidikan untuk menentukan tersangkanya melalui prosedur dan tahapan yang ketat.
Di sisi lain, KPK juga berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK punya kewenangan untuk melakukan supervisi dan koordinasi untuk penanganan tindak pidana korupsi kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Dengan begitu, tentu ada kewenangan lebih KPK untuk mengambil alih kasus yang dirasa layak diambil alih. Ataupun sebaliknya, menyerahkan kasus yang sekiranya lebih baik ditangani Polri atau Kejaksaan Agung.
Posisi kasus rekening gendut Polri selama ini diserahkan penanganannya ke institusi Polri. Memang terasa kurang pas karena tidak mungkin memproses dirinya sendiri. Apalagi kalau ada jiwa korsa atau hubungan atasan dan bawahan di dalamnya. Sulit mendapatkan objektivitas.
Namun, faktanya itu dibiarkan saja dan tidak ada koordinasi dan supervisi terukur dilakukan KPK selama itu. Padahal sudah ada MoU tentang bagaimana sebuah kasus akan diambil alih KPK atau menyerahkan kePolri dan Kejaksaan Agung. Pertanyaannya, adakah peristiwa koordinasi dan supervisi itu?
Adakah semangat saling hormat-menghormati secara kelembagaan? Di sisi lain, proses penentuan kepala Polri sudah diatur dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Lembaga yang terlibat adalah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), bukan KPK ataupun PPATK. Kemarahan KPK dan PPATK karena tidak dilibatkan sebenarnya tidak etis dalam ketaatan pada undang-undang.
Bukankah hak, kewenangan, tugas, dan kewajiban secara tata negara diatur secara detail dalam setiap UU. Karena itu, terobosan-terobosan pencitraan yang dilakukan secara politik tidak dijadikan instrumen hukum pembenar seakan-akan hak dan kewenangan sudah dimiliki. Posisi KPK dan PPATK adalah pelaksana undang-undang, bukan pembuat undang-undang.
Kalau ingin terlibat, perjuangkan untuk revisi UU Kepolisian terlebih dahulu sehingga legalitasnya kuat. Dalam perspektif hukum tata negara, proses tahapan penentuan kepala Polri sudah selayaknya dihormati oleh semua lembaga negara. Dengan selesainya tahapan di DPR, selanjutnya menjadi tahapan di Presiden untuk proses pengeluaran surat keputusan maupun pengangkatannya.
Yang membedakan, posisi surat Presiden pada tahap awal usulan calon kepala Polri dalam perspektif administrasi negara merupakan kewenangan dan hak prerogatif Presiden. Namun, setelah berproses di DPR RI dan telah menyatakan persetujuannya, posisi Presiden tidak lagi menjadi ruang lingkup kewenangan dan hak prerogatif, namun sudah berubah menjadi kewajiban jabatan dan konstitusional untuk melantiknya.
Dilema yang muncul di persimpangan ini, dengan status tersangka dalam ranah hukum pidana dan telah ada persetujuan DPR RI dalam ranah hukum tata negara, Presiden berada dalam posisi antara mau menegakkan hukum tata negara atau harus tunduk pada etika dan fatsun politik. Seorang tersangka harus mundur atau tidak menjabat jabatan publik.
Dalam posisi inilah dilema tersebut terjadi. Kalau BG tidak jadi diangkat sebagai kepala Polri, Presiden telah merendahkan posisi hukum tata negara karena dikalahkan dengan fatsun etika politik yang belum ada payung hukumnya. Apalagi dalam ranah hukum pidana, masih ada ruang asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
Tetapi, kalau diangkat, Presiden juga telah membuat rekor telah mengangkat kepala Polri dalam status sebagai tersangka. Sebuah kesan politik yang tidak nyaman untuk politik yang penuh pencitraan seperti saat ini. Di sisi lain, KPK juga tidak bisa memaksakan semua harus tunduk pada keinginannya dengan alasan untuk pemberantasan korupsi. Yang tidak menurut dengan tafsir KPK adalah prokoruptor. Sebuah stigma yang otoritarian.
Padahal, bertindak melebihi kewenangan merupakan korupsi kewenangan juga. Menggunakan kewenangan dengan sewenang-wenang adalah kejahatan itu sendiri sehingga KPK harus hatihati juga. Publik sekarang sudah melek di balik pujian yang selalu diberikan, KPK juga tetap terikat dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk dalam hukum tata negara.
Dalam hierarki ketatanegaraan, Presiden, Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan lainnya diatur tegas dalam konstitusi negara yaitu UUD NRI 1945 sehingga secara hierarki sebenarnya lebih tinggi. Sementara KPK diatur dalam undang-undang atas amanat undang-undang, bukan amanat konstitusi. Karena itu, sebagai lembaga penegak hukum, sudah seharusnya fokus saja pada proses penegakan hukum.
Toh, juga dalam ranah hukum pidana berlaku aturan equality before the law. Semua orang sama di depan hukum, baik itu kepala Polri, Presiden, komisioner KPK, maupun petani, pedagang, mahasiswa, dan lainnya, semua sama di depan hukum. Bila sudah yakin dengan dua alat bukti yang dimiliki, KPK tidak perlu lagi banyak melakukan manuver-manuver politik.
Silakan jalankan hukum acara pidana untuk pengumpulan alat bukti sehingga segera bisa dibawa ke pengadilan. Tidak perlu lagi lakukan tekanan-tekanan politik kepada berbagai pihak hanya agar keinginannya dikabulkan. Dalam sejarah KPK juga pernah memiliki komisioner berstatus tersangka yaitu Bibit dan Chandra dan saat itu tetap menjadi komisioner meski undang-undang dengan tegas mengatur kewajiban untuk mundur.
Namun, kasusnya tidak sampai ke pengadilan, tetapi dihentikan dengan upaya di luar peradilan yaitu deponeering oleh Jaksa Agung. Salah atau tidak yang bersangkutan tidak diketahui sampai saat ini sebab berhenti di status tersangka, tidak sampai menjadi terdakwa atau terpidana.
Anggota DPD RI
Polemik dan tarik-menarik pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai kepala Polri akibat status tersangka yang disematkan KPK menjadi masalah yang pelik.
Pelik karena terjadi persilangan hukum pidana dan hukum tata negara dalam kasus tersebut. Belum lagi ada tambahan bumbu politik, rivalitas antarcalon kepala Polri, dan dugaan ada kekecewaan salah satu komisioner KPK karena gagal menjadi wakil presiden. Untuk bumbu-bumbu itu, tidak perlu dibahas karena lebih banyak rumor daripada faktanya.
Yang menarik justru mendudukkan kembali posisi hukum dari peristiwa tersebut. Membaca kasus ini tidak bisa hanya membaca di hilirnya setelah status tersangka ataupun hanya membaca proses ketatanegaraan soal prosedur pengangkatan kepala Polri di sisi lain. Mereka bersilang bahkan bisa berkonflik dalam dua ranah hukum tersebut. Penetapan tersangka korupsi kepada BG yang disampaikan langsung Ketua KPK Abraham Samad hanya selang sehari jelang fit and proper test.
Soal waktu tentu menjadi perdebatan antara politis dan yuridis murni. Namun, fakta yang terlihat adalah begitu. Apalagi kasus yang disangkakan terjadi 9-11 tahun silam. Uniknya lagi, dua alat bukti yang dikatakan sudah ada itu tanpa didahului dengan pemeriksaan satu orang saksi pun. Secara hukum acara pidana ini janggal.
Dalam kasus operasi tangkap tangan (OTT) saja, KPK selama ini masih melakukan pemeriksaan dulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Keanehan ini membuat dugaan- dugaan politis lebih kuat dari yuridis. Kalau dari sudut kewenangan, sebenarnya kewenanganmemang ada di KPK untuk menjadikansiapapun– terlebihpenegak hukum untuk dijadikan tersangka.
Namun, kewenangan itu tentu tidak berdiri sendiri karena ada kewajiban-kewajiban lain yang mengikutinya. Misalnya dalam proses peningkatan tahapan dalam hukum acara pidana menurut KUHAP, dari penyelidikan ke penyidikan dan dari penyidikan untuk menentukan tersangkanya melalui prosedur dan tahapan yang ketat.
Di sisi lain, KPK juga berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK punya kewenangan untuk melakukan supervisi dan koordinasi untuk penanganan tindak pidana korupsi kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Dengan begitu, tentu ada kewenangan lebih KPK untuk mengambil alih kasus yang dirasa layak diambil alih. Ataupun sebaliknya, menyerahkan kasus yang sekiranya lebih baik ditangani Polri atau Kejaksaan Agung.
Posisi kasus rekening gendut Polri selama ini diserahkan penanganannya ke institusi Polri. Memang terasa kurang pas karena tidak mungkin memproses dirinya sendiri. Apalagi kalau ada jiwa korsa atau hubungan atasan dan bawahan di dalamnya. Sulit mendapatkan objektivitas.
Namun, faktanya itu dibiarkan saja dan tidak ada koordinasi dan supervisi terukur dilakukan KPK selama itu. Padahal sudah ada MoU tentang bagaimana sebuah kasus akan diambil alih KPK atau menyerahkan kePolri dan Kejaksaan Agung. Pertanyaannya, adakah peristiwa koordinasi dan supervisi itu?
Adakah semangat saling hormat-menghormati secara kelembagaan? Di sisi lain, proses penentuan kepala Polri sudah diatur dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Lembaga yang terlibat adalah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), bukan KPK ataupun PPATK. Kemarahan KPK dan PPATK karena tidak dilibatkan sebenarnya tidak etis dalam ketaatan pada undang-undang.
Bukankah hak, kewenangan, tugas, dan kewajiban secara tata negara diatur secara detail dalam setiap UU. Karena itu, terobosan-terobosan pencitraan yang dilakukan secara politik tidak dijadikan instrumen hukum pembenar seakan-akan hak dan kewenangan sudah dimiliki. Posisi KPK dan PPATK adalah pelaksana undang-undang, bukan pembuat undang-undang.
Kalau ingin terlibat, perjuangkan untuk revisi UU Kepolisian terlebih dahulu sehingga legalitasnya kuat. Dalam perspektif hukum tata negara, proses tahapan penentuan kepala Polri sudah selayaknya dihormati oleh semua lembaga negara. Dengan selesainya tahapan di DPR, selanjutnya menjadi tahapan di Presiden untuk proses pengeluaran surat keputusan maupun pengangkatannya.
Yang membedakan, posisi surat Presiden pada tahap awal usulan calon kepala Polri dalam perspektif administrasi negara merupakan kewenangan dan hak prerogatif Presiden. Namun, setelah berproses di DPR RI dan telah menyatakan persetujuannya, posisi Presiden tidak lagi menjadi ruang lingkup kewenangan dan hak prerogatif, namun sudah berubah menjadi kewajiban jabatan dan konstitusional untuk melantiknya.
Dilema yang muncul di persimpangan ini, dengan status tersangka dalam ranah hukum pidana dan telah ada persetujuan DPR RI dalam ranah hukum tata negara, Presiden berada dalam posisi antara mau menegakkan hukum tata negara atau harus tunduk pada etika dan fatsun politik. Seorang tersangka harus mundur atau tidak menjabat jabatan publik.
Dalam posisi inilah dilema tersebut terjadi. Kalau BG tidak jadi diangkat sebagai kepala Polri, Presiden telah merendahkan posisi hukum tata negara karena dikalahkan dengan fatsun etika politik yang belum ada payung hukumnya. Apalagi dalam ranah hukum pidana, masih ada ruang asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).
Tetapi, kalau diangkat, Presiden juga telah membuat rekor telah mengangkat kepala Polri dalam status sebagai tersangka. Sebuah kesan politik yang tidak nyaman untuk politik yang penuh pencitraan seperti saat ini. Di sisi lain, KPK juga tidak bisa memaksakan semua harus tunduk pada keinginannya dengan alasan untuk pemberantasan korupsi. Yang tidak menurut dengan tafsir KPK adalah prokoruptor. Sebuah stigma yang otoritarian.
Padahal, bertindak melebihi kewenangan merupakan korupsi kewenangan juga. Menggunakan kewenangan dengan sewenang-wenang adalah kejahatan itu sendiri sehingga KPK harus hatihati juga. Publik sekarang sudah melek di balik pujian yang selalu diberikan, KPK juga tetap terikat dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk dalam hukum tata negara.
Dalam hierarki ketatanegaraan, Presiden, Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan lainnya diatur tegas dalam konstitusi negara yaitu UUD NRI 1945 sehingga secara hierarki sebenarnya lebih tinggi. Sementara KPK diatur dalam undang-undang atas amanat undang-undang, bukan amanat konstitusi. Karena itu, sebagai lembaga penegak hukum, sudah seharusnya fokus saja pada proses penegakan hukum.
Toh, juga dalam ranah hukum pidana berlaku aturan equality before the law. Semua orang sama di depan hukum, baik itu kepala Polri, Presiden, komisioner KPK, maupun petani, pedagang, mahasiswa, dan lainnya, semua sama di depan hukum. Bila sudah yakin dengan dua alat bukti yang dimiliki, KPK tidak perlu lagi banyak melakukan manuver-manuver politik.
Silakan jalankan hukum acara pidana untuk pengumpulan alat bukti sehingga segera bisa dibawa ke pengadilan. Tidak perlu lagi lakukan tekanan-tekanan politik kepada berbagai pihak hanya agar keinginannya dikabulkan. Dalam sejarah KPK juga pernah memiliki komisioner berstatus tersangka yaitu Bibit dan Chandra dan saat itu tetap menjadi komisioner meski undang-undang dengan tegas mengatur kewajiban untuk mundur.
Namun, kasusnya tidak sampai ke pengadilan, tetapi dihentikan dengan upaya di luar peradilan yaitu deponeering oleh Jaksa Agung. Salah atau tidak yang bersangkutan tidak diketahui sampai saat ini sebab berhenti di status tersangka, tidak sampai menjadi terdakwa atau terpidana.
(bbg)