KPK Menantang Presiden!

Rabu, 14 Januari 2015 - 11:10 WIB
KPK Menantang Presiden!
KPK Menantang Presiden!
A A A
Tjipta Lesmana
Pengamat Politik, Mantan Anggota Komisi Konstitusi, MPR

Ketika menyampaikan nama-nama calon menteri yang diduga ”bermasalah hukum”, Ketua KPK Abraham Samad bertemu empat mata dengan Presiden di Istana.

Sengaja Abraham minta pertemuan berlangsung tertutup, karena sifat top secret dari permasalahan yang hendak dibahasnya dengan Presiden. Namun, di Indonesia mana ada informasi yang tidak bocor kepada pers, serahasia apa pun informasi tersebut? Maka bocorlah nama-nama calon menteri yang kabarnya ditandai tinta merah atau tinta kuning oleh KPK.

Salah satunya, menurut berita yang dilansir luas oleh media massa, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, salah satu calon menteri yang disodorkan oleh Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP. Inisiatif ”screening ” namanama calon menteri ke KPK dan PPATK kabarnya datang dari Rini Soemarno. Maka Bu Mega marah besar kepada Rini, juga kesal terhadap Jokowi.

Namun, tindakan Presiden Jokowi minta bantuan KPK dan PPATK sebenarnya konsisten dengan janjinya yang berulangulang dikemukakan dalam kampanye pemilu yang lalu. Menurut Jokowi, menterimenterinya harus memenuhi tiga kriteria, yaitu integritas (bersih, tidak terlibat korupsi, bermoral baik), ideologi (mendukung ajaran Trisakti Bung Karno), dan kompetensi (berpengalaman di bidangnya).

*** Sayang, Presiden tidak konsisten dengan ucapan dan sikapnya soal kriteria ”integritas”. Yunus Husein, mantan ketua PPATK, jelas-jelas sudah mengatakan kepada publik– lewat Twitter-nya Minggu 12 Januari yang lalu–bahwa ”calon kapolri sekarang (baca: Komjen Polisi Budi Gunawan), pernah diusulkan menjadi menteri, tetapi pada waktu pengecekan info di PPATK dan KPK yang bersangkutan mendapat rapor merah/ tidak lulus.” Apa artinya mendapat rapor merah?

Salah satu Pimpinan KPK, Adnan Pandu Praja, waktu itu menjelaskan silakan saja Presiden mengangkat calon menteri yang sudah ditandai tinta merah oleh KPK. ”Asal mereka nanti siap-siap berurusan dengan KPK, siap bolak-balik ke KPK!” kata Pandu. Tapi anjing menggonggong, kafilah berlalu. Presiden ”nekat” mengajukan Budi Gunawan sebagai calon kapolri ke DPR, bahkan calon tunggal, karena kabarnya Budi diusulkan langsung oleh Bu Mega.

Menurut Presiden, pihaknya sudah menempuh prosedur yang benar. Ia sudah menerima lima calon usulan Kompolnas. Dari ke- 5 calon, lalu memilih Budi Gunawan. Ditanya soal dugaan keterlibatan Budi Gunawan dalam kasus ”rekening gendut”, Jokowi menjawab: Presiden kan punya hak prerogatif! Rupanya pimpinan KPK, terutama Abraham Samad, kecewa dan kesal melihat sikap Presiden Jokowi.

Seolah Presiden menantang KPK. Maka tindakan KPK yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, menurut hemat saya, tindakan balasan KPK terhadap Presiden. KPK siap duel melawan Presiden, kira-kira begitu!

*** Presiden memang punya hak prerogatif untuk mengangkat kapolri. Tapi hak itu tidak mutlak. Pasal 11 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan ”Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyatakan ”Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.” Di luar prediksi– dan suatu kejutan– mayoritas fraksi di DPR, ternyata mendukung Budi Gunawan. Hanya G e r i n d r a dan Demokrat yang tidak mendukung. Golkar, PAN, bahkan PKS ikut mendukung.

Bagi saya, ini fenomena yang mencengangkan. Apakah pasca-2014 sebagai ”tahun panas”, rekonsiliasi akbar sudah tercapai di DPR? Apakah wakil-wakil rakyat di Dewan sudah tidak memiliki sensitivitas mengenai masalah korupsi? Kita tidak menuding Budi Gunawan terlibat dalam kasus korupsi.

Tidak! Tapi jika Presiden Jokowi benar-benar bertekad memberantas korupsi sebagaimana yang sering dicanangkan dalam kampanye-kampanye politiknya, seyogianya ia minta ”clearance ” dulu kepada KPK dan PPATK sebelum mencalonkan Budi Gunawan. Benar, pada tahun 2010 pimpinan Polri, berdasarkan penyelidikan Bareskrim, menyatakan penyelidikan kasus ”rekening gendut” sudah tuntas.

Dugaan korupsi itu tidak benar, kata Jenderal Bambang Hendarso Danuri, kapolri waktu itu. Maka oleh Markas Besar Kepolisian RI, masalah ”rekening gendut” dinyatakansudahselesai, thecaseis closed . Tapi oleh kalangan LSM, terutamaICW, dansejumlahmedia, the case is till on .

Mereka menuntut agar tudingan miring ini benar-benar diselidiki oleh instansi penegak hukum yang independen. Masa polisi memeriksa anggotanya sendiri. KPK sudah beberapa kali didesak untuk ”terjun”, tapi sejauh ini KPK tutup mulut. Sebetulnya KPK tidak diam. KPK, saya yakin, diam-diam melakukan penyelidikan . Cuma, untuk tidak merepotkan Presiden Jokowi, KPK menahan diri untuk tidak mengomentarinya.

Bahwa KPK diam-diam aktif menyelidiki dugaan ”rekening gendut” sejumlah jenderal polisi, terbukti, ketika Presiden Jokowi menyodorkan namanama calon menteri kepada KPK dan PPATK untuk dilacak ”kebersihannya”. Ternyata ada 10 nama yang diberikan tanda merah dan kuning oleh KPK sebagaimana dikatakan sendiri oleh Presiden ketika itu. Delapan di antaranya kemudian dicoret Presiden.

Maka batallah mereka jadi menteri. Ketika bulan lalu saya bertemu dan berdiskusi dengan Abraham Samad di kantornya, saya sempat tanya soal menterimenteri yang kini sudah duduk di kabinet. ”Apa masih ada menteri yang merah, Pak Ketua?” tanya saya. Abraham tidak bersedia menjawab, tetapi ia tersenyum sambil mengetuk-ngetuk dua jari tangan kanannya di meja.

Segera saya bisa menangkap meta-meaning di balik ketukketuk dua jarinya diiringi senyum lebar. Palu godam kini sudah diketuk oleh Ketua KPK, bahwa Komjen Pol Budi Gunawan dinyatakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi.

*** Yang unik, DPR kelihatannya mau maju terus dengan menggelar fit and proper test . Semalam, Tim, Kecil Komisi III sudah mengunjungi rumah kediaman Budi Gunawan, sebuah tradisi yang dilakukan komisi tiap kali hendak fit and proper test calon kapolri. Menurut Syarifudin Suding dari Partai Hanura, masalah ”rekening gendut” adalah masalah hukum; sedangkan uji kelayakan dan kepatutan DPR merupakan masalah politik.

Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, pengangkatan Kapolri Komjen Pol Chaeruddin Ismail menimbulkan gaduh besar di DPR yang berujung pada impeachment dan kejatuhan Presiden Gus Dur pada pertengahan 2002. Presiden Wahid berkilah bahwa dia sudah menelepon Ketua DPR Akbar Tandjung. Dalam percakapan per telepon itu, kata Gus Dur, Akbar sudah menyetujui keinginannya untuk mengganti kapolri.

Akbar membantah keras pernyataan Presiden. Lagi pula, Akbar tidak bisa begitu saja bertindak ”mewakili” DPR, meski ia berkedudukan sebagai ketua. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) mensyaratkan ”dengan persetujuan DPR”, bukan ”dengan persetujuan Ketua DPR”. Hanya dalam tempo 24 jam setelah Chaeruddin Ismail dilantik sebagai kapolri baru, DPR melayangkan surat kepada MPR, meminta MPR segera menggelar Sidang Istimewa untuk memakzulkan Presiden.

Tentu, situasi politik sekarang berbeda. Jika pada 2002 DPR memang sedang konfrontasi melawan Presiden, dan sampai akhir 2014 pun konfrontasi DPR versus pemerintah Jokowi lebih panas lagi. Tapi memasuki 2005, tampaknya DPR kita mulai jinak dengan pemerintah Jokowi.

Nah, kita tidak tahu bagaimana ending konfrontasi antara KPK melawan Presiden Jokowi terkait pengangkatan Komjen Pol Budi Gunawan. Yang jelas, penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka merupakan tamparan dahsyat bagi Megawati Soekarnoputri dan Presiden Jokowi.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5607 seconds (0.1#10.140)