Aku Naik Kau Naik, Aku Turun Kau Tak Mau Turun

Senin, 12 Januari 2015 - 10:59 WIB
Aku Naik Kau Naik, Aku Turun Kau Tak Mau Turun
Aku Naik Kau Naik, Aku Turun Kau Tak Mau Turun
A A A
Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta


Saat ini masyarakat Indonesia sudah masuk fase gila automotif. Setiap hari jalan dipadati oleh jutaan kendaraan yang mengakibatkan kemacetan, kepenatan, dan rasa frustrasi yang tiada henti.

Kendaraan yang merupakan alat transportasi untuk mempercepat proses perjalanan mencapai tujuan, kini kadang berubah menjadi sarana untuk mempercepat depresi dan pemborosan. Kendaraan bermotor roda dua yang lazim disebut sepeda motor atau secara umum disebut motor merupakan generasi baru yang kini menjadi kekuatan gelombang monster di jalanan.

Baik perseorangan maupun bergerombol kini kendaraan roda dua tersebut telah menjadi alat transportasi yang murah dan demokratis. Saking demokratisnya, motor kini bisa dipakai siapa saja; tua, muda, ibuibu, bapak-bapak, aki-aki, nini-nini, bahkan anak umur enam tahun sekalipun kini sudah pandai menunggangi kuda mesin tersebut. Jalan kaki sebagai kebiasaan hidup yang sehat kini tinggal kenangan.

Seluruh perjalanan, baik dekat maupun jauh, kini tergantikan oleh kendaraan bermotor. Orang enggan berjalan kaki mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, rasa malas yang ada dalam dirinya. Kedua, ketidaknyamanan ketika berjalan karena trotoarnya penuh dengan kaki lima. Kalau turun ke jalan, disambar oleh mobil atau motor.

Akibat itu, hantaman penyakit terhadap masyarakat kita kini menjadi gelombang yang tidak terhindarkan lagi, dari mulai penurunan daya tahan tubuh, tekanan darah tinggi, kolesterol, jantung, asam urat, asam lambung, dan berbagai penyakit asam lain yang kini menjadi hantu yang menakutkan seperti muka asam dan otak asam.

Muka asam dan otak asam kini dialami oleh para pemilik kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat yang dalam setiap bulan harus menghadapi tagihan dengan bunga leasing yang sangat tinggi. Kalau telat membayar, bersiaplah menghadapi debt collector dengan muka yang garang, badan yang kekar, dan mampu membuat Anda bertambah sakit lagi yaitu serangan jantung.

Debt collector kini menghadapi lawan tanding yaitu ormas sehingga dari urusan tagih menagih dan sita menyita berujunglah pada konflik dan kekerasan yang sering memakan korban jiwa. Yang menjadi pertanyaan, apakah dikenal istilah debt collector dalam undang-undang kita, yang berpatokan pada KUH Perdata? Setahu saya, dalam KUH Perdata apabila salah satu pihak wanprestasi tidak dikenal harus beracara melalui debt collector.

Mungkin bagi para pengusaha, debt collector adalah salah satu pilihan cepat untuk menyelesaikan masalah karena rumit dan panjangnya proses beracara di Indonesia. Kata Mang Udin, tetangga di kampung saya, “Kalau memakai formal beracara ala KUH Perdata lama, waktunya serta mahal biayanya. Bisa-bisa untuk menagih utang ayam harus menjual kerbau.”

Sebagai negara yang tanggap, sudah saatnya masalah sengketa utang piutang yang hubungannya dengan persoalan jual beli dan sejenisnya dibuat peradilan yang cepat dengan hakim-hakim khusus di berbagai daerah, diberi batasan waktu proses peradilannya serta dibatasi untuk tidak banding atau kasasi, sehingga semua berjalan dengan cepat dan tepat waktu.

Akhirnya, para pengusaha tidak mengalami kerugian dan alam demokrasi kita terhindar dari konflik pertikaian dari urusan perdata menjadi pidana. Urusan anjuk menganjuk atau utang piutang bukan lagi dunia baru bagi masyarakat kita. Kalau tidak nganjuk atau mengutang, kita tidak akan punya apa-apa. Kenaikan upah dan gaji pegawai dalam setiap tahun tidak berpengaruh pada kesejahteraan karena sebelum upah diterima tambahan pinjaman sudah lebih dulu ditingkatkan.

Berdasarkan penelitian, para pegawai di Indonesia itu masuk dalam kategori 10 keajaiban dunia. Ajaibnya adalah kerjanya di pemda, SK-nya ada di bank. Setelah itu gajinya dalam setiap bulan ternyata ada yang tinggal Rp200.000, Rp100.000, bahkan ada yang minus sampai Rp500.000. Tapi, jangan salah, merekamasihbisahidup dengan bahagia, bahkan masih sanggup menambah jumlah istrinya. Hebat euy...

*** Urusan kendaraan adalah urusan bahan bakar minyak (BBM). Ini selalu menjadi trending topic dalam pembicaraan para ekonom, ahli pemerintahan, ahli transportasi, pengamat kemiskinan, karena begitu besarnya penggunaan bahan bakar minyak di Indonesia.

Setiap hari sibuk berseminar, berpidato tentang problem bahan bakar dan transportasi yang sudah mendekati titik kulminasi kecemasan, tetapi setiap hari juga jutaan kendaraan diproduksi dan masuk ke seluruh jaringan rumah tangga Indonesia. Di kampung sudah hampir tak terdengar suara kerbau, kambing, dan domba, yang ada raungan kendaraan bermotor. Akibat itu, kita harus impor daging sapi dari Australia dengan jumlah yang sangat besar.

Triliunan rupiah dihabiskan untuk memberikan subsidi bagi raungan seluruh kuda besi tersebut yang penggunaannya kini sudah bertentangan dengan tujuan berkendara, hanya untuk balapan, hanya untuk pamer kekayaan, dan hanya untuk ekspresi kekecewaan. Di negara yang menghasilkan produk kendaraan dan menikmati pendapatan yang tinggi dari seluruh produksi yang dijualnya, keadaannya justru terbalik.

Jalan rayanya sangat tertata, penggunaan kendaraan bermotor dibatasi, alat transportasi umum menjadi pilar utama mobilisasi masyarakat. Anak-anak muda menggunakan sepeda di pusat-pusat perbelanjaan, pusatpusat pendidikan dengan fasilitas jalan yang sangat nyaman dan terlindungi.

Di pedesaan tumbuh kekuatan peternakan dengan pengelolaan yang sangat sempurna serta perlindungan negara yang sangat tinggi sehingga kita mengenal wagyu dari Jepang, tenderloin dan sirloin steak dari Australia atau Amerika. Maka muncullah pertanyaan, lebih maju mana mereka dengan kita? Lebih kaya mana mereka dengan kita? Jangan-jangan rakyat kita, anak-anak muda kita, sebenarnya miskin, tapi sombong.

*** Kenaikan harga BBM sebagai solusi untuk mengurangi subsidi dan mendorong masyarakat untuk efisien ternyata menimbulkan dampak yang cukup luas. Kenaikan harga barang yang tanpa menunggu pengumuman serta ongkos berkendaraan umum yang dengan cepat ditetapkan oleh para supir tanpa harus menunggu surat keputusan, memberikan dampak yang cukup besar bagi beban hidup masyarakat.

Industri mengalami dilema psikologis yang sangat berat antara kenaikan komponen produksi dari mulai bahan baku sampai upah buruh, tetapi harga barang yang dijual yang berorientasi ekspor belum tentu mengalami kenaikan atau yang berorientasi domestik pun mengalami depresi pasar karena menurunnya daya beli masyarakat.

Waduuh, jadi serius begini nih.. Kata Ma Icih, tetangga sebelah rumah saya, masih mending pegawai naik gajinya, buruh naik gajinya, sanajan berat masih keneh bisa meuli sabab boga penghasilan (meskipun berat masih bisa membeli karena punya penghasilan). Bagaimana nasib emak yang tidak punya suami, tidak punya pekerjaan dan penghasilan, sedangkan semua yang dibeli serbamahal, harus bagaimana ujang?

Tapi, emak punya usul, bagaimana kalau untuk mengentaskan kemiskinan atas nama undang- undang, walaupun emak sudah dapat Rp200.000, tapi kan emak ingin sejahtera. Caranya adalah instruksikan kepada seluruh orang kaya untuk bertambah istri pada orang yang seusia emak sehingga emak tidak menjadi beban negara.

Atau dibuat program Ibu Angkat, kan Jang Dedi sudah tidak punya ibu, gajinya besar, emak aja jadikan ibunya Jang Dedi sehingga sayangnya Jang Dedi pada Ibunda Almarhum bisa diwujudkan dengan menyayangi emak sepenuh hati. Di tengah-tengah kegentingan masalah bahan bakar, rupanya Tuhan masih menyayangi kita.

Ternyata harga minyak dunia terus mengalami penurunan sehingga harga bahan bakar kita kembali menurun, tuh... memang kalau waktu turun, tidak ada yang demo. Jalanan jadi sepi dari antrean kendaraan di SPBU, negeri ini menjadi seperti sangat tenteram dan damai. Namun, ada yang menarik yaitu harga.

Kalau waktu harga BBM naik, harga-harga cepat naik, bahkan sebelum diumumkan sudah naik. Nah, giliran BBM turun, harga kebutuhan kita dan tarif angkutan sulit sekali turun. Para supir tidak sesigap waktu BBM naik untuk menaikkan tarif. Mukanya memang tidak segarang dan secekatan waktu BBM naik.

Tidak ada kalimat, “Nih BBM turun, ongkosnya dengan penuh sukacita saya turunkan.” Di pasar tidak terdengar ucapan para pedagang seperti dulu, “Bu mohon maaf, BBM naik sehingga harga cabai harus naik.” Kini suara mereka tidak nyaring lagi, tidak ada ucapan, “Nih BBM turun, dengan sepenuh hati aku turunkan harga jengkol.” Oh, betapa harum mulutku kalau itu engkau lakukan.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6114 seconds (0.1#10.140)