Belajar dari Misi AirAsia
A
A
A
Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengaku ngiler saat mengunjungi daerah operasi pencarian AirAsia QZ8501 (6/1) lalu. Pernyataan tersebut dia sampaikan untuk mengekspresikan kekagumannya atas berbagai alutsista canggih yang dikerahkan negara-negara sahabat yang turut membantu pencarian pesawat nahas tersebut.
Jenderal asal Kabupaten Kediri itu pantas kagum karena memang negara sahabat seperti Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat (AS) mengerahkan kapal SAR dan perang dengan kemampuan sonar locator, pinger locator, serta kemampuan mengangkut helikopter yang canggih. Moeldoko menunjuk helikopter Viper yang dibawa USS Sampson.
Dalam misi pencarian tersebut, kapal destroyer itu menunjukkan kemampuannya dengan berhasil menemukan 12 jenazah dalam satu hari. Kemampuan dalam hal bobot dan kecanggihan teknologi kapal memang sangat menentukan kesuksesan misi SAR. Sebab tim SAR harus berhadapan dengan gelombang yang cukup ekstrem walaupun medan pencarian berada di selat.
Bisa dibayangkan, bagaimana jika tim SAR harus menghadapi misi di Samudra Indonesia ketika cuaca tidak bersahabat? Atau lebih jauh membayangkan bagaimana kapal perang TNI AL harus terlibat pertempuran dengan kapal perang negara lain yang jauh lebih canggih? Misi SAR AirAsia dengan berbagai kompleksitas yang dihadapi harus menjadi momentum bangsa ini untuk meneguhkan kembali pentingnya membangun kekuatan maritim.
Selain berangkat dari realitas bahwa 70% wilayah Indonesia berupa perairan dengan segala potensi di dalamnya, Indonesia juga harus berhadapan dengan dinamika geopolitik. Presiden RI ke-VI, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam sebuah makalah yang dirilis 2014 lalu memetakan tantangan geopolitik dari perspektif kemaritiman.
Bukan hanya datang dari negara di kawasan ASEAN saja, tapi juga kekuatan ekstra kawasan seperti AS, Australia, India, Jepang, dan China yang saling berebut pengaruh. Realitas tersebut tentu harus dijawab dengan peningkatan kekuatan maritim, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Laksamana (Purn) Dr Marsetio yang baru saja melepas jabatannya sebagai kepala staf TNI AL sudah memberikan arah strategis pengembangan kekuatan laut melalui world class navy, yakni menjadi TNI AL yang andal, disegani, dan berkelas dunia. Keberadaan kekuatan AL yang memadai dan proporsional yang mampu melakukan sea control dan sea denial tentu menjadiprasyarat mutlakuntuk mewujudkan visi tersebut.
Langkah konkret membangun kekuatan AL sudah dimulai dengan sejumlah belanja alutsista melalui MEF I periode 2009-2014. Pada periode ini terdapat beberapa belanja yang cukup signifikan seperti kapal cepat rudal (KCR) dan tiga light freegat eks Ragam Kelas milik Brunei Darussalam, salah satunya KRI Bung Tomo yang menjadi tulang punggung tim SAR dalam mencari AirAsia.
Namun, berangkat dari pengalaman misi SAR AirAsia, Indonesia butuh kapal yang lebih besar dari korvet dan fregat, yakni destroyer. Kondisi laut yang melingkupi Tanah Air tidak cukup dilindungi kapal perang berkemampuan litoral combat, tapi yang mempunyai klasifikasi true blue water, ocean going capabilities. Indonesia harus mengantisipasi kemungkinan harus melakukan misi SAR maupun peperangan di Laut China Selatan, Samudra Pasifik, maupun Samudra Indonesia.
Jenderal asal Kabupaten Kediri itu pantas kagum karena memang negara sahabat seperti Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat (AS) mengerahkan kapal SAR dan perang dengan kemampuan sonar locator, pinger locator, serta kemampuan mengangkut helikopter yang canggih. Moeldoko menunjuk helikopter Viper yang dibawa USS Sampson.
Dalam misi pencarian tersebut, kapal destroyer itu menunjukkan kemampuannya dengan berhasil menemukan 12 jenazah dalam satu hari. Kemampuan dalam hal bobot dan kecanggihan teknologi kapal memang sangat menentukan kesuksesan misi SAR. Sebab tim SAR harus berhadapan dengan gelombang yang cukup ekstrem walaupun medan pencarian berada di selat.
Bisa dibayangkan, bagaimana jika tim SAR harus menghadapi misi di Samudra Indonesia ketika cuaca tidak bersahabat? Atau lebih jauh membayangkan bagaimana kapal perang TNI AL harus terlibat pertempuran dengan kapal perang negara lain yang jauh lebih canggih? Misi SAR AirAsia dengan berbagai kompleksitas yang dihadapi harus menjadi momentum bangsa ini untuk meneguhkan kembali pentingnya membangun kekuatan maritim.
Selain berangkat dari realitas bahwa 70% wilayah Indonesia berupa perairan dengan segala potensi di dalamnya, Indonesia juga harus berhadapan dengan dinamika geopolitik. Presiden RI ke-VI, Susilo Bambang Yudhoyono, dalam sebuah makalah yang dirilis 2014 lalu memetakan tantangan geopolitik dari perspektif kemaritiman.
Bukan hanya datang dari negara di kawasan ASEAN saja, tapi juga kekuatan ekstra kawasan seperti AS, Australia, India, Jepang, dan China yang saling berebut pengaruh. Realitas tersebut tentu harus dijawab dengan peningkatan kekuatan maritim, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Laksamana (Purn) Dr Marsetio yang baru saja melepas jabatannya sebagai kepala staf TNI AL sudah memberikan arah strategis pengembangan kekuatan laut melalui world class navy, yakni menjadi TNI AL yang andal, disegani, dan berkelas dunia. Keberadaan kekuatan AL yang memadai dan proporsional yang mampu melakukan sea control dan sea denial tentu menjadiprasyarat mutlakuntuk mewujudkan visi tersebut.
Langkah konkret membangun kekuatan AL sudah dimulai dengan sejumlah belanja alutsista melalui MEF I periode 2009-2014. Pada periode ini terdapat beberapa belanja yang cukup signifikan seperti kapal cepat rudal (KCR) dan tiga light freegat eks Ragam Kelas milik Brunei Darussalam, salah satunya KRI Bung Tomo yang menjadi tulang punggung tim SAR dalam mencari AirAsia.
Namun, berangkat dari pengalaman misi SAR AirAsia, Indonesia butuh kapal yang lebih besar dari korvet dan fregat, yakni destroyer. Kondisi laut yang melingkupi Tanah Air tidak cukup dilindungi kapal perang berkemampuan litoral combat, tapi yang mempunyai klasifikasi true blue water, ocean going capabilities. Indonesia harus mengantisipasi kemungkinan harus melakukan misi SAR maupun peperangan di Laut China Selatan, Samudra Pasifik, maupun Samudra Indonesia.
(bbg)