Turunnya Harga BBM
A
A
A
Pemerintah akhirnya mengumumkan penurunan harga premium dan minyak solar. Kesannya di masyarakat adalah penurunan harga, tetapi sebenarnya pemerintahan Jokowi-JK sedang memanfaatkan momentum penurunan harga minyak dunia untuk melakukan restrukturisasi kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri yang bergeser dari dominasi pertimbangan sosial politik ke pertimbangan ekonomi.
Sejarah kebijakan harga BBM dalam negeri terus berubah dari waktu ke waktu. Sejak Indonesia menjadi produsen minyak bumi pada akhir dekade 60-an, kebijakan harga seluruh jenis BBM ditetapkan oleh pemerintah dengan melakukan cross subsidy antara jenis BBM yang harganya di atas biaya produksi seperti avgas, avtur, dan gasolin ke jenis BBM yang harganya di bawah biaya produksi yaitu minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar.
Pada masa lalu itu sangatlah kentara dominasi pertimbangan sosial karena besaran harga tiap jenis BBM bersubsidi yang ditetapkan, biaya pokok produksi tiap jenis selalu berbanding terbalik dengan harga jual. Pasalnya, biaya produksi kilang yang paling mahal adalah minyak tanah, sedangkan minyak solar dan premium lebih rendah.
Tetapi, harga BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah justru terbalik, yang paling rendah adalah minyak tanah karena pertimbangan penggunaan luas di rumah tangga untuk memasak dan penerangan. Harga minyak solar lebih murah dari premium karena digunakan untuk transportasi umum dan barang, nelayan, dan pertanian rakyat.
Menjadi lain dengan BBM nonsubsidi karena ditetapkan oleh badan usaha menurut pertimbangan komersial. Sejak diberlakukan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, pada 2006 pasar BBM dalam negeri terbelah, pasar dengan harga BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah dan harga BBM nonsubsidi yang ditetapkan oleh badan usaha.
Kebijakan Harga Bervariasi
Dengan keputusan pemerintah terakhir, kini ada empat kebijakan harga BBM yang bervariasi. Pertama, harga premium turun, tapi tidak disubsidi lagi dan akan dihapus. Kedua, harga minyak solar turun dengan subsidi tetap Rp1.000 per liter sehingga subsidi tahunan bisa dikendalikan. Ketiga, harga minyak tanah tidak berubah untuk menghindari dampak sosial.
Keempat, bahan bakar minyak harga keekonomian diatur harga batas atas dan bawah oleh pemerintah. Kebijakan ini memanfaatkan momentum penurunan harga minyak dunia yang berdampak pada penurunan biaya produksi premium di bawah harga jual Rp8.500 per liter. Maka, terhitung 1 Januari 2015 harga diturunkan menjadi Rp7.600 tanpa subsidi. Harga bisa saja kembali ke harga semula bilamana harga minyak dunia naik kembali.
Kenaikan itu dibiarkan berubah sendiri karena jika pemerintah yang mengubah, kerap menimbulkan kehebohan sosial politik. Selanjutnya minyak solar diberi subsidi tetap, satu gagasan lama yang ditetapkan untuk mengendalikan besaran subsidi yang selalu membengkak dan menjadi keributan setiap tahun. Keputusan pemerintah kali ini juga mengatur harga batas atas bawah dari harga BBM keekonomian.
Mahkamah Konstitusi prinsipnya melarang harga terbentuk dari persaingan pasar. Dengan empat kebijakan tersebut, alhasil pada APBN-P 2015 nilai subsidi menurun drastis, dari Rp200-an triliun sebelumnya, menjadi hanya Rp17 triliun. Pemerintah seperti mendapat durian runtuh, suatu kondisi yang tidak pernah terbayangkan terjadi saat awal pemerintahan Jokowi-JK ini yang justru pusing menghadapi sempitnya ruang fiskal.
Tetapi, di sisi lain harus diingat, dengan kebijakan yang bervariasi itu, dalam jangka panjang akan membentuk pola konsumsi yang berbeda dari tiap jenis BBM yang ujungnya pasti akan berimplikasi pada manajemen rantai pasok (supply chain management ).
Potensi Masalah
Sekalipun demikian, sayangnya kebijakan harga BBM kali ini masih menyisakan potensi masalah ke depan. Harga minyak tanah bersubsidi tidak berubah sekalipun hanya Rp2.500 per liter dengan disparitas harga yang menganga. Minyak tanah masih digunakan di wilayah yang sulit dijangkau LPG 3 KG karena persoalan skala volume dan infrastruktur.
Pertambahan penduduk di daerah pemekaran, tapi terpencil ini pasti akan memicu pertumbuhan konsumsi. Terbukti, konsumsi pada 2014 telah mencapai 1 juta kiloliter, melebihi rencana 900.000 kiloliter. Dengan harga murah, secara potensial konsumsi akan terus tumbuh apalagi sudah digunakan untuk bahan bakar mesin perahu nelayan. Pemerintah tidak boleh diam untuk menyelesaikan sisa masalah ini. Pembengkakan subsidi bisa datang dari sini karena besarnya disparitas harga.
Karena itu, pemerintah hanya punya dua pilihan, menaikkan harga atau memulai inisiatif baru mengembangkan dan menyediakan energi lokal seperti mikrohidro, biogas, dan energi biomassa lain. Sudah barang tentu, tenaga penyuluh energi perlu pula disiapkan untuk mengedukasi masyarakat tentang cara memilih dan menggunakan sumber energi yang tersedia di sekitar mereka.
Sejarah kebijakan harga BBM dalam negeri terus berubah dari waktu ke waktu. Sejak Indonesia menjadi produsen minyak bumi pada akhir dekade 60-an, kebijakan harga seluruh jenis BBM ditetapkan oleh pemerintah dengan melakukan cross subsidy antara jenis BBM yang harganya di atas biaya produksi seperti avgas, avtur, dan gasolin ke jenis BBM yang harganya di bawah biaya produksi yaitu minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar.
Pada masa lalu itu sangatlah kentara dominasi pertimbangan sosial karena besaran harga tiap jenis BBM bersubsidi yang ditetapkan, biaya pokok produksi tiap jenis selalu berbanding terbalik dengan harga jual. Pasalnya, biaya produksi kilang yang paling mahal adalah minyak tanah, sedangkan minyak solar dan premium lebih rendah.
Tetapi, harga BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah justru terbalik, yang paling rendah adalah minyak tanah karena pertimbangan penggunaan luas di rumah tangga untuk memasak dan penerangan. Harga minyak solar lebih murah dari premium karena digunakan untuk transportasi umum dan barang, nelayan, dan pertanian rakyat.
Menjadi lain dengan BBM nonsubsidi karena ditetapkan oleh badan usaha menurut pertimbangan komersial. Sejak diberlakukan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, pada 2006 pasar BBM dalam negeri terbelah, pasar dengan harga BBM bersubsidi yang ditetapkan pemerintah dan harga BBM nonsubsidi yang ditetapkan oleh badan usaha.
Kebijakan Harga Bervariasi
Dengan keputusan pemerintah terakhir, kini ada empat kebijakan harga BBM yang bervariasi. Pertama, harga premium turun, tapi tidak disubsidi lagi dan akan dihapus. Kedua, harga minyak solar turun dengan subsidi tetap Rp1.000 per liter sehingga subsidi tahunan bisa dikendalikan. Ketiga, harga minyak tanah tidak berubah untuk menghindari dampak sosial.
Keempat, bahan bakar minyak harga keekonomian diatur harga batas atas dan bawah oleh pemerintah. Kebijakan ini memanfaatkan momentum penurunan harga minyak dunia yang berdampak pada penurunan biaya produksi premium di bawah harga jual Rp8.500 per liter. Maka, terhitung 1 Januari 2015 harga diturunkan menjadi Rp7.600 tanpa subsidi. Harga bisa saja kembali ke harga semula bilamana harga minyak dunia naik kembali.
Kenaikan itu dibiarkan berubah sendiri karena jika pemerintah yang mengubah, kerap menimbulkan kehebohan sosial politik. Selanjutnya minyak solar diberi subsidi tetap, satu gagasan lama yang ditetapkan untuk mengendalikan besaran subsidi yang selalu membengkak dan menjadi keributan setiap tahun. Keputusan pemerintah kali ini juga mengatur harga batas atas bawah dari harga BBM keekonomian.
Mahkamah Konstitusi prinsipnya melarang harga terbentuk dari persaingan pasar. Dengan empat kebijakan tersebut, alhasil pada APBN-P 2015 nilai subsidi menurun drastis, dari Rp200-an triliun sebelumnya, menjadi hanya Rp17 triliun. Pemerintah seperti mendapat durian runtuh, suatu kondisi yang tidak pernah terbayangkan terjadi saat awal pemerintahan Jokowi-JK ini yang justru pusing menghadapi sempitnya ruang fiskal.
Tetapi, di sisi lain harus diingat, dengan kebijakan yang bervariasi itu, dalam jangka panjang akan membentuk pola konsumsi yang berbeda dari tiap jenis BBM yang ujungnya pasti akan berimplikasi pada manajemen rantai pasok (supply chain management ).
Potensi Masalah
Sekalipun demikian, sayangnya kebijakan harga BBM kali ini masih menyisakan potensi masalah ke depan. Harga minyak tanah bersubsidi tidak berubah sekalipun hanya Rp2.500 per liter dengan disparitas harga yang menganga. Minyak tanah masih digunakan di wilayah yang sulit dijangkau LPG 3 KG karena persoalan skala volume dan infrastruktur.
Pertambahan penduduk di daerah pemekaran, tapi terpencil ini pasti akan memicu pertumbuhan konsumsi. Terbukti, konsumsi pada 2014 telah mencapai 1 juta kiloliter, melebihi rencana 900.000 kiloliter. Dengan harga murah, secara potensial konsumsi akan terus tumbuh apalagi sudah digunakan untuk bahan bakar mesin perahu nelayan. Pemerintah tidak boleh diam untuk menyelesaikan sisa masalah ini. Pembengkakan subsidi bisa datang dari sini karena besarnya disparitas harga.
Karena itu, pemerintah hanya punya dua pilihan, menaikkan harga atau memulai inisiatif baru mengembangkan dan menyediakan energi lokal seperti mikrohidro, biogas, dan energi biomassa lain. Sudah barang tentu, tenaga penyuluh energi perlu pula disiapkan untuk mengedukasi masyarakat tentang cara memilih dan menggunakan sumber energi yang tersedia di sekitar mereka.
(bbg)